Selasa, 03 Februari 2009

Fikih tentang Merokok



  • Oleh Ahmad Buchori Masruri

ADA pihak yang meminta agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan rokok; sekali lagi,”agar MUI mengharamkan rokok”. Apabila diperhatikan, permintaan tersebut menimbulkan dua kesan yang tidak sedap; yaitu, seolah-olah MUI memiliki wewenang untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu.

Padahal hanya Allah dan Rasul-Nya-lah yang berwenang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Seolah-olah hukum halal dan haram dapat dipesan dari MUI. Padahal sepengetahuan saya selama ini MUI tidak pernah memberi fatwa halal atau haram berdasarkan pesanan.

Berbeda halnya kalau permintaan tersebut bersifat istifta atau minta fatwa, yang apabila diwujudkan dengan kalimat tanya akan berbunyi:”Bagaimana hukum merokok?”, maka permintaan seperti itu tidak akan menimbulkan kesan yang tidak sedap.

Terlepas dari ada atau tidak adanya pertanyaan tersebut, masalah rokok memang fenomenal, menarik untuk dibicarakan karena ada kontroversi. Ada yang menghendaki agar rokok dilarang, karena mengganggu kesehatan, menyebabkan beberapa penyakit, seperti penyakit jantung, kanker, gangguan pernapasan, dan gangguan kehamilan.

Ada yang mempertahankan agar rokok tidak dilarang, karena menyangkut lapangan kerja sebagai sumber rezeki bagi jutaan orang, mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, pekerja dan karyawan pabrik rokok, sampai para pedagang dan pengecer yang kebanyakan tergolong ekonomi lemah. Bahkan rokok merupakan salah satu sumber pendapatan pemerintah (cukai) yang setiap tahunnya mencapai puluhan triliun rupiah.

Sementara itu para fuqaha (ulama ahli hukum agama Islam) berbeda pendapat; ada yang berpendapat merokok hukumnya haram (kalau dikerjakan dosa dan akan disiksa, kalau ditinggalkan mendapat pahala); ada yang menyatakan mubah (dikerjakan atau ditinggalkan sama saja; tidak ada dosa dan tidak ada pahala); dan ada pula yang berpendapat makruh (artinya tidak disukai, maka kalau ditinggalkan mendapat pahala, tetapi kalau dikerjakan tidak berdosa).

Melalui tulisan ini saya mengajak para pembaca untuk memahami beberapa pendapat tentang hukum merokok dengan alasannya masing-masing; kemudian memilih di antaranya apa yang paling objektif untuk dijadikan pedoman.

Hukum Merokok

Rokok belum dikenal di jazirah Arab, khususnya di kalangan umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW, zaman sahabat, zaman tabi’in bahkan sampai pada zaman ulama mujtahidin. Oleh karenanya, maka tidak aneh kalau di dalam Alquran, hadis dan kitab-kitab fikih kuno tidak ditemukan naskah yang secara eksplisit membahas hukum merokok.

Rokok baru dikenal di dunia Arab atau di dunia Islam kira-kira pada 1000 Hijriyah, yang datang dari Eropa melalui Maroko atau Maghribi. Sebagaimana biasa di dalam pembahasan hukum fikih, manakala tidak ada nash Alquran dan hadis yang secara eksplisit menerangkan hukum sesuatu, maka para fuqaha berusaha sungguh-sungguh (berijtihad) mengidentifikasi hukum dengan berpedoman pada dalil-dalil umum. Sebagaimana biasa pula di dalam membahas hukum sesuatu yang bersifat ijthadiyyah, hampir selalu terjadi perbedaan pendapat di antara para fuqaha.

Demikian juga halnya di dalam membahas hukum merokok, para fuqaha berbeda pendapat menjadi tiga pendapat; yaitu merokok hukumnya haram, mubah, dan makruh.

Merokok hukumnya haram; pendapat itu antara lain dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah dan Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dengan alasan rokok termasuk barang yang keji, membahayakan kesehatan, dan bisa menimbulkan penyakit saluran pernapasan, penyakit jantung, kanker, stroke, dll.

Merokok adalah pemborosan (menyia-nyiakan harta). Dasar hukum yang dijadikan landasan ialah firman Allah dalam surat Al A’raf 157, QS Al Baqarah 195, Al Isra’a 26/27, dll.

Merokok hukumnya mubah; di antara yang berpendapat (tidak ada pahala dan tidak ada dosa bagi yang merokok) ialah Syeh Imam Aly al-ajhury al-Maliky dan Syeh Imam Abdul Ghony al-Nablsy (pengarang kitab Al-Shulhu bainal Ikhwan fi Ibahati Syurbi al-Dukhon) dan Syeh Imam Mar’iy bin Yusuf al-Karmy al-Maqdisy (pengarang kitab Ghoyah al-Muntaha).

Alasannya, yang berwenang menetapkan halal atau haram segala sesuatu adalah Allah SWT dan Rasul-Nya, padahal tidak ada nash Alquran dan hadis yang secara jelas menerangkan hukum merokok. Maka, hukum merokok dikembalikan kepada hukum asal. Rokok tidak memabukkan dan tidak melemaskan (tidak muskir dan tidak muftir), bahkan sebagian orang ada yang menjadi lebih bersemangat setelah merokok.

Bahaya merokok bersifat nisbi, yakni jika ada orang yang menerima bahaya yang dipastikan karena merokok, maka haram baginya merokok, akan tetapi hukum haram itu tidak berlaku bagi semua orang, sebab ternyata tidak semua orang yang merokok mendapat bahaya, bahkan ada orang yang mendapat manfaat dari rokok.

Sebagaimana halnya madu yang menurut Alquran dan hadis merupakan obat (syifa), namun bagi orang yang berpenyakit diabet parah madu itu berbahaya, maka bagi dia madu itu haram. Akan tetapi hukum haram tersebut tidak berlaku bagi semua orang.

Merokok hukumnya makruh; kebanyakan ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan bahwa merokok hukumnya makruh, dengan alasan seperti yang dikemukakan oleh yang menyatakan mubah; ditambah dengan alasan kemakruhan, yaitu merokok menyebabkan bau tidak sedap; hal itu diidentikkan dengan makruhnya bau tidak sedap karena makan bawang, hal yang tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW.

Pertimbangan

Pendapat yang menyatakan merokok hukumnya haram, dengan alasan bahwa merokok berbahaya karena bisa menyebabkan berbagai penyakit seperti penyakit jantung, penyakit kanker, dan stroke, menurut saya sangat berlebihan. Sebab, walaupun terbukti bahwa banyak perokok yang mengidap penyakit jantung, terbukti pula bahwa lebih banyak perokok yang tidak terkena penyakit jantung. Walaupun terbukti banyak perokok yang mengidap kanker paru-paru, terbukti pula jauh lebih banyak perokok yang tidak terkena penyakit kanker paru-paru.

Kalau diperhatikan, ternyata ada perokok yang terkena penyakit (akibat rokok) tetapi perokok yang lain tidak apa-apa. Mengapa? Dan kalau diperhatikan lebih lanjut, ternyata penyakit yang diderita karena merokok tidak semuanya sama; ada yang terkena sakit jantung, ada yang sakit kanker paru-paru, ada yang stroke, dll. Mengapa?

Kenyataan tersebut membuktikan bahwa yang menjadi penyebab sakit bukan semata-mata merokok, melainkan ada faktor lain yang memengaruhinya, sehingga penyakit yang ditimbulkan pun berbeda-beda sesuai dengan perbedaan faktor yang memengaruhinya.

Kalau dirumuskan, kira-kira gambarannya sbb: merokok plus faktor X = menyebabkan penyakit A; merokok plus faktor XX = menyebabkan penyakit B; merokok plus faktor XXX = menyebabkan penyakit C; merokok tanpa faktor lain = menyebabkan apa?

Dalam suatu majelis taklim yang saya asuh di Semarang, ada yang bertanya sbb: Ada data yang menunjukkan bahwa 70% dari pengidap penyakit kanker paru-paru di Indonesia adalah perokok berat. Apakah tidak cukup representatif untuk diambil simpulan bahwa merokok menyebabkan penyakit kanker paru-paru dan harus dilarang?

Saya jawab: Tidak cukup representatif. Kalau mau mengambil simpulan, seharusnya dibandingkan antara perokok di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 50 juta orang dengan jumlah pengidap penyakit kanker paru-paru yang disebabkan oleh rokok, yang menurut dugaan saya tidak ada satu juta orang. Kalau dugaan saya itu benar, berarti orang yang terkena penyakit kanker paru-paru yang disebabkan oleh rokok tidak ada dua persen, maka tidak representatif untuk dijadikan dasar simpulan bahwa merokok semata (tanpa faktor lain) pasti menyebabkan penyakit kanker paru-paru.

Selain faktor-faktor X yang memengaruhi terjadinya penyakit bagi perokok, ternyata faktor jangka waktu pengisapan rokok juga sangat memengaruhi terjadinya penyakit bagi perokok. Bila seseorang merokok, ditambah faktor X, maka untuk terkena penyakit A diperlukan jangka waktu penhisapan yang cukup lama, sampai puluhan tahun. Demikian juga apabila seseorang merokok plus faktor XX, maka untuk terkena penyakit B diperlukan jangka waktu pengisapan puluhan tahun.

Kalau rokok yang dalam menimbulkan suatu penyakit memerlukan faktor lain dan jangka waktu pengisapan yang cukup lama sampai puluhan tahun dinyatakan haram, maka akan sangat banyak komoditas lainnya yang juga harus dinyatakan haram, seperti bumbu penyedap masakan dan bahan pengawet makanan, yang bisa menimbulkan penyakit kanker. Bahkan air minum di Kabupaten Grobogan, dan sekitarnya juga harus dinyatakan haram, karena kandungan kalsiumnya yang tinggi menyebabkan banyak penduduk di daerah tersebut mengidap penyakit batu ginjal atau batu kandung kemih (kencing batu).

Sekali lagi, saya menilai keputusan yang menyatakan ”merokok hukumnya haram” karena berbahaya dan bisa menimbulkan berbagai penyakit, adalah keputusan yang berlebihan, sebab untuk timbulnya bahaya tersebut diperlukan adanya faktor lain dan jangka waktu lama sampai puluhan tahun. Berbeda dari minum racun, yang begitu diminum langsung menyebabkan kematian, tanpa memerlukan faktor lain atau jangka waktu lama. Maka wajarlah, kalau minum racun dinyatakan haram karena berbahaya.

Pendapat yang menyatakan merokok hukumnya mubah (tidak makruh), karena tidak ada dalil Alquran atau hadis yang menerangkan hukumnya, maka hukum merokok dikembalikan kepada hukum asal, yaitu bahwa yang asal segala sesuatu hukumnya mubah, dan bahwa rokok itu netral; bisa berbahaya dan bisa bermanfaat, maka merokok bisa haram (kalau pasti membahayakan) dan bisa wajib (kalau seseorang tidak bisa melaksanakan kewajiban tanpa merokok).

Menurut saya, pendapat tersebut menutup mata dari fakta bahwa merokok menimbulkan bau yang tidak sedap di mulut, hidung, dan jari tangan, bahkan di pakaian si perokok. Kalau dibandingkan dengan bau bawang merah yang tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW, bau merokok lebih tidak sedap.

Maka dengan tiga pertimbangan tersebut, saya menilai bahwa pendapat yang paling objektif ialah pendapat yang menyatakan bahwa merokok hukumnya makruh. Dalam hal itu, saya sependapat dengan Syeh Abdurrahman Qoro’ah (seorang mufti Al Azhar Mesir) yang ketika ditanya oleh Raja Ibnu Sa’ud (pada 1926) tentang hukum merokok, menjawab bahwa tentang merokok para ulama berbeda-beda pendapat: ada yang menyatakan haram, ada yang menyatakan makruh, ada yang menyatakan mubah. Yang paling adil ialah pendapat yang menyatakan bahwa merokok hukumnya makruh.(68)

–– Drs H Ahmad Buchori Masruri, mantan ketua PWNU Jawa Tengah, pengasuh kajian tafsir tematik di Masjid Agung Kauman Semarang.

Tidak ada komentar: