Oleh: Dody Riyadi HS
(Dosen Sosiologi STAI Binamadani Tangerang)
Sidang Ijtima Ulama Fatwa III di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada 24-26 Januari 2009, melahirkan polemik tak berkesudahan. Energi dihabiskan untuk mempermasalahkan lima hal yang lebih dialamatkan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai komunitas terorganisasi ahli agama ketimbang kepada fatwa yang ditetapkannya. Pertama, otonomi institusi. Karena terbentuk oleh otoriterisme Orde Baru pada 1975, otonomi MUI hingga 11 tahun reformasi, tetap diragukan.
Dana operasional dari pemerintah dan biaya proses sertifikasi dari pemesan fatwa dipersepsi masyarakat bernilai politis dan ekonomi.Kedua, status organisasi. Kepengurusan MUI didominasi elite Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Karena itu, status MUI sebagai poros tengah kedua ormas terbesar yang berpusat di Pulau Jawa itu tidak memiliki basis massa secara langsung. Fatwa MUI merupakan kinerja lembaga kajian keagamaan, tidak mengikat secara sosiokultural warga kedua organisasi itu. Dalam masalah keharaman golongan putih dan khususnya rokok, bukan dukungan implementasi yang diberikan NU dan Muhammadiyah, melainkan justru kontroversi.
Ketiga, kapasitas intelektual. Dalam konsepsi mayoritas masyarakat, MUI diartikan sebagai komunitas pakar dalam agama Islam atau ulama fikih. Gelar KH adalah fakta konsepsi itu. Kendati di dalam MUI terdapat tokoh atau pakar dalam beragam bidang ilmu, tetapi masyarakat melihat ulama fikih dominan dalam struktur organisasi. Karena itu, tema yang begitu luas semisal bunga bank konvensional, Hak Atas Kekayaan Intelektual, sekularisme, pluralisme, liberalisme agama, yoga, rokok, dan golput dianggap di luar kapasitas keilmuan MUI.
Keempat, target parsial. Dalam masalah rokok, hukum haramnya dibatasi hanya untuk wanita hamil, anak-anak, di tempat umum dan internal MUI. Akomodasi atas kecanduan umat pada rokok dan ketergantungan pemerintah serta warga Jatim dan Jateng pada rantai ekonomi rokok membuat MUI dinilai tidak konsisten. Kelima, substansi fatwa. Sifat fatwa hanyalah moral, tidak mengikat umat secara legal. Posisi fatwa sebatas respons intelektual atas persoalan krusial masyarakat sekaligus rekomendasi institusional untuk lembaga sosial, politik, dan ekonomi.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi dengan ulama? Mengapa umat tak taat kepada ulama? Apa sebenarnya definisi dan kriteria ulama? Sebagai pewaris para nabi (al-ulama waratsat al-anbiya), para ulama dituntut punya peran sosioreligius atas pelbagai problem kehidupan. Tidak taatnya umat kepada ulama mengindikasikan tidak paralelnya konsepsi masyarakat dan realitas ulama kini dengan teladan para nabi, khususnya Nabi Muhammad dan para ulama klasik.
Uswah para nabi
Para nabi tidak diutus tanpa rekam jejak. Pertama, lahir di tengah masyarakat yang kemudian menjadi audiens dakwah. Yusuf dan Ismail bukan penduduk asli Mesir dan Mekah, tetapi lama tinggal dan konsisten menunjukkan integritas moral (shidq). Kedua, berani, jujur, dan bertanggung jawab menyerukan kebenaran kepada penguasa otoriter agama, politik, dan ekonomi, sekalipun kepada keluarga sendiri (tabligh). Ibrahim kepada Namrud dan Azar serta Musa kepada Firaun dan Qarun menegaskan hal itu. Ketiga, strategi intelektual (fathanah) berperan dominan dalam menghadapi super power. Ibrahim terhadap Namrud dan Firaun, Daud terhadap Jalut, Sulaiman terhadap Bilqis membuktikan itu.
Kekuasaan para nabi, baik politik, ekonomi, maupun intelektual, adalah kekuasaan bermaslahat. Mereka tak menggunakan kekuasaan untuk memberdayakan diri sendiri, keluarga, atau kolega (manah). Para nabi menghidupi diri dan keluarga secara mandiri, tak bergantung pada umat atau pada kekuasaan yanga mereka pegang. Daud, Sulaiman, dan Yusuf menjadikan kekuasaan politik, ekonomi, dan intelektual sebagai fasilitas publik untuk memulihkan hak politik rakyat, mereformasi birokrasi dari pejabat korup, dan menyejahterakan rakyat melalui swasembada pangan.
Para nabi penguasa politik tak tinggal diam di singgasana menunggu laporan bawahan. Mereka berkomunikasi secara langsung, mendengar dan membahas masalah bersama masyarakat. Sulaiman terbiasa berdialog dan Yusuf berpartisipasi mendistribusikan pangan. Kesadaran kapasitas diri dan rendah hati amat menonjol dalam memecahkan permasalahan atau dalam menghadapi kekuasaan. Harun diminta Musa menjadi juru bicara kenabian karena kompetensi komunikasinya. Bahkan, seekor Hudhud dijadikan Sulaiman sebagai pengamat kekuasaan Bilqis.
Nabi Muhammad, uswah terbesar Islam, telah menunjukkan integritas sosial, moral, dan intelektual, jauh sebelum kenabiannya. Kejujuran berdagang, keaktifan berorganisasi, seperti pada Hilf al-Fudhul dan kebijaksanaan mendamaikan konflik Hajar Aswad hanya sebagian kecil track record Al-Amin yang tanpa polemik diamanahkan kepadanya. Kualitas sosioreligius Al-Amin membuat wahyu Allah pada hakikatnya tidak diragukan kelas sosial mana pun, termasuk elite Quraisy. Kekuasaan sosial, agama, ekonomi, dan politik menutupi iman Quraisy kepadanya.
Ulama dalam Alquran
Ulama, secara spiritual, adalah orang yang takut kepada Allah. Secara intelektual, ulama adalah orang yang memahami secara mendalam pengetahuan agama Islam. Ulama dengan kapasitas demikian mendominasi masyarakat. Mereka menguasai masjid, lembaga pendidikan, organisasi sosial dan keagamaan, bahkan partai politik. Apakah realitas itu paralel dengan konsep ideal ulama dalam Alquran? Surah Faathir ayat 27-28 menggambarkan secara jelas siapa yang disebut ulama, apa objek ulama, dan bagaimana ulama melihat objek itu.
''Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka jenisnya. Dan, di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka warnanya dan ada pula yang hitam pekat. Dan, demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warna dan jenisnya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.''
Terhadap alam, seorang alim tak seperti kebanyakan orang yang melihatnya dengan penglihatan biasa. Seorang alim memanfaatkan penglihatan mendalam untuk secara objektif mendapatkan informasi, data, dan bukti atau fakta sejelas-jelasnya suatu fenomena. Kata alim yang seakar dengan kata alam berarti mengetahui sesuatu secara jelas (Shihab, 1996). Seorang alim atau yang oleh masyarakat disebut orang berilmu, pertama, orang yang mengetahui secara jelas atau mendalam alam ciptaan Allah melalui metode ilmiah, kedua, kebalikannya, orang yang menggunakan metode ilmiah untuk mengetahui secara jelas atau mendalam alam ciptaan Allah.
Penglihatan mendalam identik dengan pengamatan atau observasi. Dalam Surah Faathir disebut tara, dari kata ra'a-yara yang konteksnya adalah alam raya yang realistis: langit (al-sama), hujan atau air (ma), buah-buahan (al-tsamarat), gunung (al-jibal), manusia (an-nas), binatang melata (al-dawwab), binatang ternak (al-an'am). Alim adalah orang berilmu tentang satu atau beberapa fenomena alam (natural scientist) dan fenomena sosial (social and behavioral scientist). Dan, dengan ilmunya itu ia kagum kepada ciptaan-Nya sekaligus takut (khasyyah) kepada ketidaksempurnaan takwanya. Belum disebut alim, ilmuan, saintis, pakar, intelektual, cendekiawan, tanpa takwa. Belum sebenar takwa bila takut kepada Allah tanpa ilmu.
Dalam sejarah keilmuan Islam, ulama ternyata tidak hanya berarti hamba-hamba Allah yang berilmu sekaligus bertakwa. Tetapi, ulama juga bermakna mempunyai ragam ilmu yang dikuasai seorang alim. Misalnya, Imam Al-Ghazali (1058-1111) yang masyhur karena kitab-kitab yang ditulisnya. Tiga kitabnya, sebagai contoh, Ihya Ulum al-Din, al-Munqidz min al-Dhalal, dan Tahafut al-Falasifah membuktikan kealimannya dalam fikih sama alimnya dalam kalam, filsafat, dan tasawuf. Ibnu Rusyd (1126-1197) yang masyhur karena Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid tak hanya alim dalam fikih, tapi juga alim dalam kedokteran dan filsafat.
Makin banyak peng-alam-an dan beragam ilmu seorang alim kian fenomenal ke-ulama-annya. Ke mana pun Ibnu Khaldun (1332-1406) pergi untuk tujuan politik, agama, atau ilmu, para penguasa dan ulama menawarkan jabatan politik, agama, dan ilmu sebagai diplomat, hakim, atau profesor. Muqaddimah yang membuktikan klaim Ibnu Khaldun sebagai pencipta ilmu sejarah tak hanya menjadi kebanggaan umat Islam, tetapi teori-teori sosial (ekonomi, sosiologi, politik) dalam kitab itu diakui orisinalitas dan kontribusinya oleh ilmuwan Barat hingga kini.
Siapa pun ulama klasik yang disebut, yang pasti adalah, pertama, kealiman terhadap Alquran dan sunah Nabi mengawali keulamaan mereka dalam begitu banyak ilmu. Kedua, ketakwaan dan kealiman mereka dalam agama sekaligus alim dalam natural (al-sama, ma, al-tsamarat, al-jibal, al-dawwab, al-an'am) dan sosial humaniora (an-nas) sebagaimana secara implisit diklasifikasi Surah Faathir, menempatkan derajat umat Islam jauh lebih mulia di antara umat-umat lain. Apakah ulama dalam organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, lembaga pendidikan, politik, dan pemerintahan, pertama, mengamalkan shidq, tabligh, fathanah, dan amanah para nabi dalam politik, ekonomi, dan intelektual. Kedua, alim dalam agama sekaligus alim dalam natural dan sosial humaniora?
Jumat, 27 Februari 2009
Meredefinisi Ulama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar