Rabu, 18 Februari 2009

Renungan Gaza



Oleh Zaim Uchrowi

'Korban tewas 1.000 orang.' Itu yang menjadi berita utama koran kemarin. Besok, lusa, minggu depan, bulan depan korban itu bisa menjadi 2.000, 10.000, dan seterusnya. Apa jaminannya itu tidak terjadi ketika Israel masih menguasai dunia dengan menguasai Amerika; ketika negara-negara Arab masih menjadi "milik pribadi" para penguasanya masing-masing dan belum menjadi negara-negara merdeka milik rakyat; ketika umat yang sehati dengan Palestina masih menjadi umat yang secara sosial, ekonomi, dan politik sangat lemah di kancah dunia; juga ketika PBB masih sebatas jadi pentas drama dunia yang memanggungkan lakon 'Perdamaian' yang tak berhubungan dengan terciptanya perdamaian secara nyata.

Angka 1.000 itu seperti sekadar sebuah statistik yang tak memberi guncangan apa pun pada nurani kita. Tapi, tidakkah kita sempat menyimak berita sebelahnya. Kisah tentang Shahd, bocah perempuan menggemaskan berusia 4 tahun yang menjadi santapan peluru tentara Israel saat ia bermain di pekarangan belakang rumahnya. Orang tuanya hanya bisa termangu menyaksikan tragedi itu, dan segera disambut dengan salakan senapan saat mencoba mengambil jasad malang itu. Tubuh kecil bersimbah darah itu lalu disantap anjing-anjing pelacak yang dibawa tentara Israel saat memasuki Gaza. Suatu keadaan yang mengundang pertanyaan: Sengajakah sang bocah ditembak hanya buat memberi makan anjing-anjing itu?

Shahd tentu tak sempat menangis. Juga tak akan merasakan sakit. Tapi, kebiadaban tentara terhadapnya akan selalu membuat kemanusiaan setiap orang bernurani menangis dan merasakan sakit yang menusuk-nusuk. Holocaust atau pembasmian Yahudi oleh rezim Hitler menjadi peristiwa menyakitkan yang akan selalu dikenang dunia. Tidakkah tragedi di Gaza itu sama menyakitkannya dengan holocaust itu? "Berabad-abad kita menjadi korban kekejaman. Mengapa kita melakukan (kekejaman) serupa?" teriak seorang Yahudi yang menggunakan nurani. "Yahudi terus-menerus dijahati Eropa, mengapa kita membalasnya pada yang lain?"

Dokumen lama itu seolah tidak lagi ada dalam benak para penguasa Israel. Sejak lebih dari 2.000 tahun silam, Eropa telah menghancurkan Yahudi. Penjajahan oleh Romawi Timur (Yunani) dari masa sebelum Isa lahir telah membuat kaum Yahudi berserak ke berbagai penjuru sebagai pengungsi paria. Masuknya Islam ke Yerusalem di masa Umar bin Khattab beberapa tahun setelah wafat Rasulullah SAW, telah memberikan kebebasan kembali pada Yahudi yang tersisa di sana. Tapi, tidak demikian nasib Yahudi di Eropa. Mereka terus dinistakan dari masa-ke masa. Masa keemasan Yahudi di Eropa terjadi saat Islam membangun peradaban Andalusia, dan mereka diberi kesempatan buat mengisi pos-pos penting negara. Masa itu berakhir ketika Ferdinand-Isabel melakukan "Pembersihan" Spanyol dengan membantai Muslim dan Yahudi. Kaum Yahudi pun diselamatkan dan dilindungi Kesultanan Turki Usmani.

Di Gaza hari-hari ini, sejarah penting itu disobek-sobek sampai lumat. Yang dipertontonkan di Abad ke-21 ini justru naluri kebinatangan manusia paling primitif: Yang kuat berhak melakukan apa pun pada yang lemah. Sebuah kenyataan yang mengajarkan bahwa "baik saja tidak cukup, melainkan juga harus kuat". Maka, selain berdoa agar Allah menghentikan kekejian itu, mari menelusur diri. Mari cari bagaimana membuat diri sendiri, keluarga, masyarakat, serta bangsa-umat menjadi kuat hingga tak dapat menjadi bulan-bulanan kaum biadab dunia.

Tidak ada komentar: