Kamis, 05 Februari 2009

Ulama dan Fungsi Intelektual Organik

Akh Muzakki
(Dosen IAIN Sunan Ampel, kandidat PhD di The University of Queensland, Australia)


Saat dipenjarakan oleh Mussolini pada dekade 1930-an, Antonio Gramsci menuliskan gagasan-gagasan cemerlangnya. Gagasan-gagasan itu pada beberapa kurun berikutnya muncul dalam karyanya berjudul, Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (1971).

Salah satu gagasan cemerlangnya adalah diskursus yang dikembangkannya mengenai konsep intelektual (1971: 5-16). Gramsci membagi intelektual ke dalam dua kategori: tradisional dan organik. Menurutnya, intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan kongsi dan aliansi dengan kaum penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial. Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya muncul secara alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat, bukan dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya. Atau, dalam bahasa Gramsci, muncul dari kelompok pekerja (the working class). Karena itu, mereka cenderung revolusioner dan tidak konservatif.

Memang, perlu menjadi catatan bahwa diskursus intelektual tradisional dan organik yang telah disebutkan tadi dikembangkan oleh Gramsci dalam konteks perjuangan kelas sosial, antara kelas pekerja dan kelas borjuasi. Namun demikian, semangat akademik dari pemaknaan kategorikal atas konsep intelektual ala Gramsci ini, menurut hemat saya, perlu kita refleksikan untuk melihat perkembangan terbaru pergerakan kaum ulama di Indonesia.

Kasus terbaru dari pergerakan ulama dimaksud adalah berkumpulnya sekitar 700 ulama dan cendekiawan yang berada dalam wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam forum Sidang Ulama Fatwa III MUI yang diselenggarakan 24-26 Januari di Padang Panjang, Sumatra Barat.
Dalam sidang itu, akhirnya diputuskan fatwa haram merokok bagi wanita hamil dan anak-anak serta merokok di tempat umum. Di luar tiga kategori itu, hukum merokok jatuh pada makruh (Republika, 27/01/2009).

Berbagai pro dan kontra kontan menyeruak ke permukaan sebagai reaksi atas keputusan MUI tersebut. Namun, alih-alih turut terlibat dalam tarik-menarik kekuatan argumentatif menyangkut fatwa MUI ini, tulisan ini lebih tertarik untuk mendiskusikan fungsionalisasi dari peran intelektual organik yang dimainkan oleh para ulama di balik pro dan kontra dimaksud.

Argumen Pro-kontra
Keputusan yang dihasilkan dalam forum Sidang Ulama Fatwa III MUI tersebut memang lahir sebagai jalan tengah atas perdebatan panjang dan kontroversi menyangkut keharaman rokok. Menurut Prof Amin Suma, selaku wakil ketua Komisi B-1 yang membidangi persidangan masalah rokok, seperti diberitkan sejumlah media, alasan mendasar atas munculnya fatwa haram rokok adalah banyaknya mudarat (bahaya) daripada manfaat yang datang dari praktik merokok.

Analoginya diambilkan dari kasus minuman keras yang diharamkan karena mendatangkan banyak mudarat daripada manfaat. Karena itu, rokok diharamkan bagi kelompok-kelompok sosial yang berkaitan erat dengan masa depan bangsa (yakni wanita hamil dan anak-anak) serta yang berhubungan dengan kepentingan publik, yakni merokok di tempat umum.

Pada sisi lain, hukum makruh dijatuhkan oleh MUI dengan dua pertimbangan utama. ''Selain karena masih banyak yang merokok, warga Indonesia masih menggantungkan ekonominya pada produksi rokok," kata Amin Suma seusai sidang Komisi B-1 di aula Perguruan Diniyyah Puteri, Jalan Abdul Hamid Hakim, Padang Panjang, seperti diberitakan oleh sejumlah media.

Fatwa MUI dengan segala pertimbangannya tersebut tidak secara bulat diamini oleh para ulama lainnya. Ketua MUI Jawa Timur, KH Abdusshomad Bukhari, misalnya, menilai fatwa haram rokok justru lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya. Salah satunya adalah akan membengkaknya jumlah angka pengangguran menyusul ribuan anggota masyarakat yang bekerja pada sektor yang terkait dengan industri rokok, seperti di Jawa Timur. Bahkan, Abdusshomad Bukhari berujar, "Saya tidak mau bertanggung jawab kalau fatwa tersebut dikeluarkan. Karena, akan banyak masyarakat Jatim yang menganggur." Respons senada datang dari KH Hasyim Muzadi, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Dia tidak sepakat dengan fatwa haram rokok bagi orang-orang dengan kriteria tertentu yang dikeluarkan oleh MUI itu.
Menurutnya, PBNU berketetapan merokok hanya diberi fatwa makruh. Yakni, dianjurkan untuk dihindari. Lebih lanjut Hasyim mengatakan, bahaya rokok relatif dan tidak bisa dibandingkan dengan minuman keras.

Fatwa dan agamawan organik
Kalau dicermati secara saksama, pertimbangan mereka yang sepakat dengan fatwa haram rokok dan mereka yang tidak sependapat bermuara pada satu kepentingan dasar. Yakni, menjaga kepentingan dan kebajikan umat secara kebanyakan. Tentu saja, kaidah-kaidah fiqhiyah yang masing-masing terapkan bisa saja sama. Semisal, kaidah daf'ul mafasid muqaddam `ala jalbil masolih (menjauhkan kerusakan lebih didahulukan daripada merengkuh kemaslahatan). Juga kaidah lainnya, akhaffudl dlororoin (mendahulukan kepentingan yang risiko kemudaratannya paling rendah).

Tapi, fakta membuktikan bahwa pertimbangan yang dipakai dalam melihat kasus rokok berbeda antara yang pro dan kontra. Bagi pihak yang pro, fatwa haram rokok atas wanita hamil, anak-anak, dan merokok di tempat umum, kepentingan jauh ke depan bagi sebuah bangsa menjadi pertimbangan utama.

Bagi yang kontra, kepentingan jangka panjang tidak seharusnya mengenyahkan kepentingan kekinian dari kehidupan publik. Karena, faktanya, jumlah anggota masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor industri rokok jumlahnya sangat gemuk. Dan, fakta ini harus menjadi pertimbangan mendasar bagi penjatuhan ketentuan hukum. Bila tidak, keterpurukan hidup akan secara kuat mengitari publik.

Menunjuk pada fakta dan semangat pertimbangan berhukum atas soal rokok itu, sulit rasanya menutup mata atas peran ulama dalam menjamin kepentingan publik secara kebanyakan. Fakta atas fatwa rokok memang tidak tunggal. Pro dan kontra sangat jelas terbaca. Tapi, pertimbangan dasar atas sikap yang dijatuhkan pada masalah rokok memiliki titik persinggungan yang dekat terkait dengan kepentingan dan kebaikan publik. Muslim Abdurrahman (lihat bukunya, Islam sebagai Kritik Sosial, 2003:69) pernah merangkai anggitan ulama sebagai agamawan organik. Anggitan ini diberlakukan dalam konteks keterlibatan kepemimpinan yang transformatif untuk mengantarkan umat, bukan sekadar menjadi individu yang saleh (good person), tapi juga warga negara yang baik (good citizen). Dan, pergerakan ulama dalam kasus fatwa atas rokok di atas menjadi awal yang baik bagi peneguhan anggitan agamawan organik dimaksud.

Saat menjelaskan kategorinya atas konsep intelektual, Gramsci menyatakan: "All men are intellectuals, but not all men have in society the function of intellectuals."

Menurutnya, banyak orang yang bisa menjadi intelektual, tetapi tidak semuanya di masyarakat itu yang bisa memainkan fungsi sebagai intelektual.

Dalam kasus fatwa rokok, dan mungkin yang lainnya, tampak bahwa ulama memiliki fungsi sebagai intelektual organik. Pasalnya, pertimbangan mereka adalah demi kebajikan dan kebaikan bersama elemen bangsa ini.

Fatwa sudah dijatuhkan. Pro dan kontra lahir pula atasnya. Sekarang, tergantung pada nurani kita bersama. Hanya nurani publiklah yang bisa mengukur fatwa mana yang hendak diikuti. Karena itu, bertanyalah kepada hati nurani.

Tidak ada komentar: