Setiap kali melihat tank-tank Israel menggempur kota Gaza dan isinya, entah mengapa di telinga saya bergaung kalimat-kalimat perintah ini: 'Kami mengarahkan perhatian anda khusus kepada pulau-pulau di mana bertumbuh cengkeh dan pala dan kami memerintahkan anda untuk memenangkan (menundukkan - pen) pulau-pulau itu untuk Kompeni yaitu VOC baik dengan cara perundingan maupun dengan kekerasan.'
Perintah itu dikeluarkan pada tahun 1608 oleh para direktur VOC yang terkenal dengan sebutan Tuan-tuan Tujuh Belas atau Heeren XVII. Yang mendapat perintah adalah Laksamana Pieterszoon Verhoeven, sedangkan yang dimaksud dengan pulau-pulau adalah kepulauan Maluku.
Apa hubungan perintah dari VOC yang sudah berusia tepat empat abad itu dengan keganasan Israel saat ini? Pertama adalah kata 'kekerasan'. Tak mungkin diragukan lagi bahwa sejak awal orang Barat datang ke mana-mana, ke Benua Amerika, Asia, Afrika adalah untuk menguasai dengan segala cara termasuk kekerasan dan perang.
Laksamana Pietterszoon terhadap orang Indonesia, Jenderal Cluster terhadap orang Indian, Kapten Cook terhadap bangsa Aborigin, dan masih banyak lagi, adalah pelaku-pelaku kekerasan yang mewakili 'peradaban' Barat dan melakukan kekerasan di mana-mana pada awal masa kolonial.
Kekerasan yang dilakukan oleh orang Barat itu terbukti telah menyengsarakan dua pertiga pnduduk bumi hingga saat ini. Karena, motivasi semua kekerasan yang mereka lakukan dulu masih utuh hingga sekarang yakni serakah dan keserakahan.
Pada abad-abad yang lalu keserakahan Barat muncul dengan kasar berupa kolonialisme dan kapitalisme klasik. Keduanya tampil ke permukaan dalam ujud perbudakan, monopoli dan tanam paksa yang semuanya ditamengi dengan meriam, pedang dan senapan. Ironisnya kekerasan yang membungkus keserakahan itu mereka carikan legitimasinya pada agama. Maka simbol-simbol agama tampak jelas pada layar kapal, gagang kelewang, juga tanda-tanda kepangkatan mereka. Dan sambil membantai suku-suku Indian misalnya, anak buah Jenderal Cluster menyanyikan lagu-lagu prajurit ketuhanan.
Hari ini keserakahan Barat bukan berkurang melainkan bertambah-tambah. Namun keserakahan itu telah dikemas dengan sangat halus dan rapi. Kolonialisme alias penjajahan klasik telah bermetamorfosis menjadi sistem ekonomi dan keuangan dengan nama-nama mentereng. Kapitalisme yang tetap digerakkan oleh nafsu serakah telah diberi badan yang namanya enak didengar; IMF, Bank Dunia, WTO, bahkan PBB. Kata 'kapittalis' yang telah tercitra buruk kini diganti menjadi 'investor'.
Tidak seperti tahun 1608 ketika Heeren XVII mengirim Pieterszoon dengan 14 kapal bermeriam untuk menguasai pulau-pulau rempah, kapitalis modern datang ke Indonesia dengan senyum dan penawaran bantuan keuangan yang menggiurkan. Peran laksamana sudah diganti oleh para fund manager yang punya kekuatan menaklukan lebih hebat. Salah seorang di antaranya bernama Comdessus dari IMF yang dulu menundukkan Presiden Suharto di depan jutaan orang ketika dia memaksa presiden RI itu teken surat pengakuan utang.
Meriam juga sudah diganti dengan kecanggihan sistem informasi dan komunikasi yang nyaris seratus persen mereka kuasai. Maka penaklukan terhadap bangsa ini berlangsung tanpa letusan meriam, malah terjadi dalam suasana meriah di hotel-hotel mewah. Namun di balik itu semua ada malapetaka yang harus disandang oleh setiap manusia Indonesia. Bahkan bayi yang baru lahir pun sudah menyandang utang puluhan juta kepada penguasa keuangan dunia.
Dan tank serta pesawat tempur Israel masih terus menghamburkan kehancuran dan kematian di Palestina. Ah, saya teringat kembali perintah kepada Pieterrzoon untuk menaklukan Maluku dengan kekuatan meriam 400 tahun yang lalu. Saya juga teringat bagaimana Comdessus menaklukan Suharto dengan kekuatan uang. Mengapa? Karena jenderal-jenderal Israel, Heeren XVII, dan bossnya Comdessus berasal dari kaum yang sama, kaum yang paling serakah di dunia.
Rabu, 18 Februari 2009
Kaum yang Paling Serakah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar