EPA/WAEL HAMZEH Warga Lebanon yang melakukan protes di Beirut, Lebanon, 14 Februari lalu, saat memperingati empat tahun pembunuhan mantan PM Rafik Hariri tidak hanya membawa poster raksasa Hariri (kiri), tetapi juga poster Raja Abdullah Bin Abdul Aziz dari Arab Saudi. Raja Abdullah disanjung luas di Lebanon karena merupakan "Pria terhormat, Pelindung Nasionalisme Arab dan Islam". |
Musthafa Abdul Rahman
Keputusan Raja Arab Saudi Abdullah Bin Abdul Aziz menunjuk seorang perempuan, Noura Al Faez, sebagai deputi menteri pendidikan urusan perempuan, Sabtu (14/2), memberi pesan bahwa roda reformasi di negara itu berjalan sesuai dengan rencana yang telah digariskan.
Penunjukan tersebut mengantarkan Noura Al Faez sebagai perempuan pertama yang menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan di negara yang dikenal sebagai penganut aliran konservatif dan puritan. Hal itu tentu merupakan dobrakan baru dalam tradisi sosial dan politik di Arab Saudi.
Tampilnya Noura Al Faez sesungguhnya bukan kebetulan, tetapi terkait dengan geliat reformasi di Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya, yang bergerak berkat tumbuhnya kaum neoreformis di negara-negara Arab kaya minyak itu sejak awal tahun 1990-an.
Kaum neoreformis terdiri atas kaum intelektual, profesional, pengusaha, dan ulama yang tercerahkan. Sebagian besar dari mereka telah mengenyam pendidikan di AS dan Eropa berkat fasilitas beasiswa yang diberikan pemerintah. Sepulang dari studi di luar negeri, mereka melakukan pendekatan yang persuasif kepada pemerintah agar bersedia melakukan reformasi. Pemerintah Arab Saudi mendengar dan menerima saran dan pandangan mereka karena mereka dianggap kader kerajaan. Mereka itulah yang mampu meluluhkan hati keluarga kerajaan yang berkuasa di Arab Saudi untuk melakukan reformasi di negara itu.
Jadi, geliat reformasi di Arab Saudi bukan karena tuntutan rakyat bawah seperti di banyak negara lain, tetapi lebih merupakan hasil pendekatan kaum cerdik pandai terhadap keluarga kerajaan yang berkuasa.
Sejak awal tahun 1990-an, Arab Saudi menghadapi tuntutan perubahan ke arah yang lebih demokratis dan adanya partisipasi politik dari rakyat.
November 1990, sekelompok pengusaha Arab Saudi bersurat kepada pemerintah. Mereka meminta diakhirinya monopoli fatwa agama oleh sekelompok ulama yang diangkat pemerintah. Mereka juga meminta sistem politik dan pemerintahan dievaluasi, membentuk dewan syura yang mewakili semua wilayah, melakukan pengawasan terhadap eksekutif, memberi otoritas yang lebih besar kepada pemerintah lokal. Mereka menuntut reformasi atas lembaga yudikatif sehingga lebih terjamin efektivitas dan independensinya, persamaan antara warga tanpa memandang turunan, kabilah, mazhab, dan status sosial, serta kebebasan pers, memberi peran yang lebih besar kepada perempuan serta reformasi mendasar atas sistem pendidikan.
Tuntutan reformasi datang dari 453 delegasi pada Mei 1991. Terdiri atas ulama, hakim, dan dosen, mereka memohon Raja Fahd Bin Abdul Aziz agar melakukan reformasi mendasar atas sistem politik di negara itu.
Pada Januari 2003, sebanyak 104 cendekiawan Arab Saudi menghadap putra mahkota saat itu, Pangeran Abdullah Bin Abdul Aziz, menyampaikan piagam pembaruan dengan judul Pandangan Terhadap Tanah Air, Hari Ini dan Mendatang. Dalam piagam tersebut ditulis permintaan kaum cendekiawan agar diterapkan sistem monarki konstitusional di Arab Saudi.
Dalam piagam itu ditegaskan, sistem monarki konstitusional tidak mendepak keluarga raja dari kekuasaan, melainkan ingin menerapkan pola ”sebagai raja, tetapi tidak memerintah”, seperti di Inggris, Jordania tahun 1989, dan Bahrain tahun 2003.
Namun, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi Pangeran Naif Bin Abdul Aziz menolak penerapan sistem monarki konstitusional itu di negaranya.
Faktor-faktor
Munculnya kaum neoreformis di Arab Saudi dan di negara Arab Teluk lainnya disebabkan faktor dalam negeri, regional, serta internasional.
Faktor internal di antaranya karena adanya kebebasan pers, khususnya jaringan internet dan pengaruh televisi satelit, seperti Aljazeera, MBC, ART, Orbit, dan Al Arabiya. Fenomena munculnya forum budaya di berbagai kota di Arab Saudi juga ikut berpengaruh. Dalam forum tersebut, sering digelar dialog yang melibatkan dosen, wartawan, sastrawan, dan pengusaha.
Misalnya, wacana pembaruan dan perubahan di Arab Saudi ditulis di berbagai media serta dibahas dalam forum dialog akademik dan budaya.
Forum dialog paling terkenal di Arab Saudi adalah yang selalu dihadiri Raja Abdullah Bin Abdul Aziz. Forum tersebut diberi nama ”Pusat Raja Abdul Aziz untuk Dialog Nasional” yang didirikan pada 3 Agustus 2003.
Faktor lain adalah berdirinya universitas swasta, baik universitas asing maupun nasional. Universitas swasta itu biasanya memberi mata kuliah yang berbeda dari universitas negeri.
Turut andil pula adalah pengiriman mahasiswa Arab Saudi belajar di berbagai perguruan tinggi di Eropa dan AS. Sepulang dari studi, mereka tidak hanya mengamalkan ilmu di bidangnya, melainkan juga menyerukan pembaruan dan perubahan seperti yang dialami dan dilihat di tempat mereka belajar.
Berdirinya lembaga-lembaga penelitian, seperti Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Riyadh, juga turut berperan.
Adapun faktor regional dan internasional adalah Perang Teluk II tahun 1990 yang menciptakan situasi baru di Arab Saudi dan kawasan Teluk. Perang Teluk II itu memberi dalih yang kuat kepada kelompok elite di kawasan itu untuk menuntut perubahan dan pembaruan.
Dalam konteks internasional, angin demokrasi yang bertiup di Eropa Timur dan Asia sejak awal tahun 1990-an turut berpengaruh kepada Arab Saudi.
Tata internasional saat ini yang memberi perhatian besar kepada isu demokrasi, multipartai, hak asasi manusia, masyarakat madani, dan pemberdayaan kaum wanita memberi dampak positif terhadap Arab Saudi.
Misi reformasi
Misi reformasi di Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk bertumpu pada beberapa hal, antara lain reformasi bertujuan tidak mendongkel kekuasaan raja, tetapi justru mempertahankan sistem monarki. Kaum neoreformis itu mendeklarasikan bahwa rezim monarki yang berkuasa adalah rezim yang legitimatif. Mereka tak berniat menggulingkan rezim monarki. Misi kaum neoreformis hanya berusaha lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan dalam konteks rezim yang ada.
Reformasi yang diharapkan adalah berbentuk perubahan sosial yang terencana dan berproses, bukan perubahan revolusioner. Reformasi juga bukan karena tekanan asing, tetapi semata memenuhi aspirasi dalam negeri. Faktor aspirasi dalam negeri adalah dasar karena sistem politik bukan komoditas yang bisa diekspor atau diimpor. Kemunculan fenomena neoreformis bukan pengaruh asing.
Reformasi juga tidak mengusung pikiran radikal yang ingin perubahan secara spontanitas. Reformasi butuh waktu dan dilakukan secara gradual. Kaum neoreformis tidak menganut paham revolusioner, tetapi perubahan yang terkontrol.
Reformasi butuh amandemen terhadap semua atau sebagian undang-undang serta mereformasi institusi lama. Proses reformasi tak bisa parsial atau setengah hati, tetapi komprehensif dan tuntas. Reformasi mencari kebersamaan antara elemen masyarakat dalam membangun negara dan mengambil keputusan.
Dengan misi reformasi persuasif dan tetap mendukung rezim monarki di Arab Saudi dan negara Arab Teluk, aspirasi kaum neoreformis secara gradual bisa diakomodasi. Hasilnya antara lain ditunjuknya Noura Al Faez sebagai pejabat tinggi di Arab Saudi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar