Jumat, 27 Maret 2009

Walisongo dan Teori keturunan Tionghoa



Raden Patah ( Tan Jin Bun )


Mungkin saja benar kalau umat Muslim merasa gerah, apabila mendengar bahwa delapan dari Sunan Walisongo itu adalah orang Tionghoa. Walau Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda “Tuntutlah ilmu walau sampai negeri Cina” (Al Hadits), nah pada saat itu orang Tionghoanya sendirilah yg datang ke Indonesia, sehingga kita tidak perlu repot2 harus pergi belajar ke Tiongkok untuk menuntut ilmu disana.

Prof Slamet Mulyana pernah berusaha untuk mengungkapkan hal tersebut diatas dalam bukunya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”, tetapi pada th 1968, bukunya dilarang beredar, karena masalah ini sangat peka dan menyangkut masalah SARA. Kenapa demikian?

Bayangkan saja yang mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, bahkan Sultannya yg pertama pun adalah orang Tionghoa: Chen Jinwen alias Raden Patah alias Panembahan Tan Jin Bun.
ilustrasi RADEN PATAH

** Raden Patah adalah pendiri dan sultan pertama Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1475-1518. Pada masanya Masjid Demak didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di sana.

** Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.

** Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, nama asli Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Cina.


Orang Portugis menyebut Raden Patah “Pate Rodin Sr.” sebagai “persona de grande syso” (orang yg sangat bijaksana) atau “cavaleiro” (bangsawan yg mulia),

walaupun demikian orang Belanda sendiri tidak percaya masak sih sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Oleh sebab itulah Residen Poortman 1928 mendapat tugas dari pemerintah Belanda untuk menyelidikinya; apakah Raden Patah itu benar2 orang Tionghoa tulen?

Poortman diperintahkan untuk menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berbahasa Tionghoa, dimana sebagian sudah berusia 400 tahun sebanyak tiga cikar/pedati. Arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial Tuanku Rao, dan Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini.

Pernyataan Raden Patah adalah seorang Tionghoa ini, juga tercantum dalam Serat Kanda, Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun, dan dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai Senopati Jimbun. Kata Jin Bun (Jinwen) dalam dialek Hokkian berarti “orang kuat”.

Cucunya dari Raden Patah, Sunan Prawata atau Chen Muming/Tan Muk Ming adalah Sultan terakhir dari Kerajaan Demak, berambisi untuk meng-Islamkan seluruh Jawa, sehingga apabila ia berhasil maka ia bisa menjadi “segundo Turco” (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya.


Walisongo


Walisongo atau Walisanga yg berarti sembilan (songo) Wali, tetapi ada juga yg berpendapat bahwa perkataan songo ini berasal dari kata “tsana” yg berarti mulia dalam bahasa Arab sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata “sana” dalam bahasa Jawa yang berarti “tempat”.

Para wali tersebut mendapatkan gelar Sunan, yang berarti guru agama atau ustadz, namum perkataan Sunan itu sebenarnya diambil dari perkataan “Suhu/Saihu” yg berarti guru dalam bahasa dialek Hokkian, sebab para wali itu adalah guru2 Pesantren Hanafiyah, dari mazhab (sekte) Hanafi. “Su” singkatan dari kata “Suhu” dan “Nan” berarti selatan, sebab para penganut sekte Hanafi ini berasal dari selatan Tiongkok.
ilustrasi SUNAN AMPEL
ilustrasi SUNAN KALIJAGA
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim

2. *Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. *Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4. *Sunan Drajat atau Raden Qasim
5. *Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
6. *Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. *Sunan Kalijaga atau Raden Said
8. *Sunan Muria atau Raden Umar Said
9. *Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.


** Sunan Ampel alias Raden Rahmat lahir pada th 1401 di Champa (Kamboja), ia tiba di Jawa pada th 1443. Pada saat itu di Champa banyak sekali orang Tionghoa penganut agama Muslim yg bermukim disana.

** Pada th 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Demak. Ia juga perencana kerajaan Islam pertama di Jawa yang ber-ibu kota di Bintoro Demak, dengan mengangkat Raden Patah alias Chen Jinwen - Tan Jin Bun sebagai Sultan yang pertama.


* Delapan dari Sunan Walisongo itu adalah orang Tionghoa (?)

MAULID NABI


Silaturahim Jangan Putus
Jumat, 27 Maret 2009 | 04:18 WIB

Jakarta, kompas - Apa pun hasil pemilihan umum dan sekeras apa pun kompetisi politik yang mungkin bisa terjadi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap tali silaturahim di antara seluruh rakyat Indonesia tidak terputus.

”Meski kompetisi bisa keras, jangan memutus tali silaturahim. Jangan hanya gara-gara pemilu, putus silaturahim, persatuan, dan kesatuan. Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan persaudaraan,” kata Yudhoyono pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan Majelis Taklim Al-Habib Ali Al Habsyi di Jalan Kramat II, Jakarta Pusat, Kamis (26/3).

Presiden mengharapkan umat Islam mencontoh kepribadian, kepemimpinan, dan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi berbagai tantangan, ujian, dan cobaan.

Seperti yang pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW, bangsa Indonesia kini juga tengah melakukan perubahan besar. Setelah krisis ekonomi mendera 11 tahun lalu, cobaan demi cobaan beruntun menerpa bangsa Indonesia. ”Kita belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan, penderitaan, dan risiko yang dihadapi Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, jangan cepat menyerah, jangan cengeng, dan jangan belum-belum merasa masa depan gelap. Kalau merasa gelap, kita kalah sekarang. Kalau kalah, kita tidak akan pernah menang,” kata Yudhoyono.

Sementara itu, dalam peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Gerakan Pemuda Ansor di Jalan Kramat Raya, Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj menyerukan agar umat Islam menguasai ilmu pengetahuan. Hadir dalam acara ini antara lain Ketua Umum GP Ansor Saifullah Yusuf serta Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh. (LUK/OSD)

Melirik Indonesia sebagai Model Kerukunan

Jumat, 27 Maret 2009 | 02:40 WIB



Oleh PAULINUS YAN OLLA

Sebuah seminar yang menampilkan Indonesia sebagai model kehidupan bersama dalam kerukunan sekalipun berbeda-beda, unità nella diversità, baru saja diadakan di Roma (Antara, 4/3).

Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini dalam sambutannya pada awal seminar jelas-jelas ”meminang” Indonesia menjadi pelaku perdamaian. Tawaran serupa telah diutarakan pula Perdana Menteri Australia (The Jakarta Post, 26/2) dan beberapa negara lain yang ingin melamar Indonesia sebagai mitra dalam percaturan relasi internasional (Kompas, 27/2).

Mengapa kerukunan Indonesia ingin dijadikan model oleh berbagai pihak di ranah internasional? Apa yang menarik dan karenanya sangat diharapkan dari Indonesia dalam pergaulan internasional?

Seminar di Roma membidik salah satu unsur sentral kearifan budaya (cultural wisdom) Nusantara yang kini mempunyai nilai pikat dan relevansi sangat tinggi, yakni kemampuan hidup bersama secara rukun dalam perbedaan. Sering terjadi pergesekan dalam relasi, tetapi keharmonisan telah menyejarah dan menjadi pengalaman dominan dalam hidup bersama di Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika menjadi daya pikat ketika di berbagai belahan Bumi terjadi konflik dan ketakutan akan terjadinya benturan antarbudaya. Ketakutan itu terlihat, misalnya, dari sikap panik negara-negara Eropa yang kehilangan akal menghadapi imigrannya yang berbudaya dan berkeyakinan lain. Kemampuan Indonesia untuk meramu perbedaan ratusan suku, bahasa, etnisitas, atau perbedaan agama menjadi sebuah harmoni tidak dapat diabaikan ketika dunia seakan disekap ketakutan terhadap orang asing (xenofobia) dan kebingungan dihadapkan pada pembauran manusia dalam keberagamannya di era globalisasi.

Pernyataan Menteri Dalam Negeri Italia Roberto Maroni, dobbiamo essere cattivi (kita harusnya jahat) terhadap orang asing, menjadi contoh lain kepanikan dan ketakutan menghadapi serbuan pendatang dengan keragaman agama, budaya, dan nilai hidup yang menyertainya (Corriere della Sera, 9/2).

Unsur Islam dan keharmonisan relasi antaragama di Indonesia menjadi daya pikat lain yang menaikkan pamor Indonesia pascaperistiwa serangan teroris, 11 September 2001. Islam Indonesia menampilkan wajah yang ramah dan moderat yang mampu hidup damai bersama agama-agama lain. Italia, seperti diungkapkan Franco Frattini, menginginkan Indonesia sebagai jembatan antara Barat dan Timur Tengah.

Politik identitas

Jonathan Sacks dalam usahanya mencari jalan untuk menghindari terjadinya benturan antarbudaya (the clash of civilizations) memperlihatkan adanya sebuah transformasi dari abad ke-20 ke abad ke-21, yakni perubahan dari politik ideologis ke politik identitas. Agama dalam politik identitas berperan sangat penting karena menjadi sumber jawaban atas identitas. Namun, pada saat yang sama, ia menjadi sumber perbedaan yang bisa melahirkan konflik (Jonathan Sacks, The Dignity of Difference: 10-11). Indonesia dapat disodorkan sebagai model kerukunan karena tampaknya berhasil menjawab kekhawatiran banyak orang yang mencurigai agama-agama sebagai sumber konflik.

Apakah berbagai tawaran menjadi model perdamaian dan kesempatan menjadi duta perdamaian itu akan dimanfaatkan Indonesia? Tantangan utama bagi Indonesia adalah agar mampu menjadi jembatan/perantara yang dapat dipercaya.

Sebuah jembatan hanya berfungsi ketika bisa menghubungkan dua sisi. Indonesia akan lebih mapan posisinya sebagai mediator bila meninjau kembali sikapnya terhadap negara-negara yang dianggap sebagai ”musuh”. Mediasi memerlukan kekokohan sikap, tetapi itu tidak berarti tidak mengajak yang dianggap musuh untuk duduk di meja perundingan.

Tantangan lain adalah apakah Indonesia sendiri menyadari kekayaan serta keberagamannya sebagai sesuatu yang berharga? Ketika memasuki pertarungan kekuasaan dalam pemilu mendatang, ada partai politik yang mengusung isu pluralitas sebagai janji (The Jakarta Post, 1/3). Hal itu patut dikritisi karena pluralitas Indonesia bukanlah sebuah pengalaman yang bisa diklaim seakan buatan atau hadiah partai tertentu. Ia menyentuh dasar keberadaan bersama sebagai bangsa dan karenanya siapa pun yang berkuasa sebagai pemimpin wajib memeliharanya.

Praktik kerukunan hidup bersama di Indonesia di ranah internasional tampaknya dimaknai sebagai pembalikan dan jawaban atas tesis the clash of civilizations. Agama-agama di Indonesia ternyata mampu menjadi sumber identitas yang meneguhkan dalam globalisasi yang membuat manusia kehilangan orientasi. Mereka dapat pula merajut perdamaian dan merekat kesatuan dalam perbedaan.

Semoga kerukunan Indonesia yang dilirik bangsa lain dapat dimanfaatkan dan bukannya dirusak oleh bangsa sendiri!

Paulinus Yan Olla Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma; Bekerja di Roma, Italia

Selasa, 24 Maret 2009

Perlu Formulasi Tepat Soal Zakat dan Pajak'



JAKARTA-- Wacana zakat bisa mengurangi besaran pajak yang harus dibayar seorang muzaki (wajib zakat) mendapat dukungan dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan, perlu formulasi yang tepat terkait masalah itu.

''Kan ada dua ranah yang berbeda, yaitu pajak dan zakat. Memang arahnya harus dikonversi ke arah itu sehingga orang yang membayar zakat bisa berkurang kewajiban pajaknya,'' ungkap Haedar di Jakarta, Senin (23/3). Menurut dia, perlu ada formulasi yang memungkinkan seseorang membayar zakat, termasuk di dalamnya pajak.

Haedar menambahkan, formulasi yang tepat dalam menggabungkan zakat dan pajak bisa diperoleh dengan berdialog melibatkan berbagai kalangan. ''Negara ini kan mayoritas penduduknya Muslim. Sehingga, jangan sampai warga negara itu punya dua beban yang berlebih di luar kapasitas yang mereka miliki,'' katanya.

Wacana zakat dapat mengurangi besaran pajak merupakan usulan Menteri Agama, Maftuh Basyuni, yang akan dimasukkan dalam revisi Undang-Undang No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Usulan itu juga mendapat dukungan dari Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), KH Didin Hafidhuddin.

"Saya sangat mendukung usulan ini. Hal ini perlu diupayakan. Untuk itu, anggota DPR harus melihat wacana ini secara jeli," ujar Kiai Didin kepada Republika, beberapa waktu lalu. Menurut dia, wacana zakat dapat mengurangi besaran pajak seorang muzaki dapat mendorong umat Islam membayar zakat sekaligus pajak. Pihaknya menilai aturan seperti itu tak akan mengurangi turunnya pendapatan pajak. Malaysia sejak 2001 telah menerapkan aturan itu.

Sebelumnya, Sekjen Departemen Keuangan, Mulya P Nasution, menegaskan, sudah saatnya zakat dan pajak menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam membangun bangsa dan negara. Menurut dia, pajak harus dikelola secara terbuka begitu pula dengan zakat.

Menanggapi usulan sanksi bagi muzaki yang tidak berzakat, ketua PP Muhammadiyah meminta agar pembahasan hal itu tak dilakukan tergesa-gesa, karena menyangkut masalah keagamaan. ''Persoalan keagamaan itu tidak bisa dipaksa-paksa. Itu kan urusan seseorang dengan Tuhannya,'' kata Haedar.

Menurut dia, setiap sanksi itu bisa menimbulkan dampak positif dan negatif. ''Saat ini, yang perlu dilakukan adalah gerakan kesadaran untuk berzakat. Jadi, bangkitkan kesadaran dari dalam diri sendiri. Ini lebih awet dibandingkan ikatan-ikatan yang sifatnya formal,'' papar Haedar. Muhammadiyah, kata dia, dalam waktu dekat akan memberi masukan terkait rencana revisi UU Zakat. osa

(-)

Human Capital Rendah, Dunia Islam Tertinggal



Negara-negara Muslim memiliki kewajiban untuk menampilkan kompetensi dan kesiapannya untuk menjadi bagian dari proses globalisasi dan modernisasi.


KUWAIT CITY-- Negara-negara Islam harus membangun dan memperbaiki human capital-nya. Ketertinggalan, kemiskinan, serta kebodohan yang dialami negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim terjadi akibat minimnya pembangunan human capital.

Penegasan itu diungkapkan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, seusai bertemu Perdana Menteri Kuwait, Syeikh Nasser Mohammed Al-Ahmed Al-Jaber Al-Sabah, di Kuwait City, Senin (23/3). Kedua negara Muslim itu bersepakat menggulirkan program guna membantu negara-negara Muslim yang tertinggal dalam pembangunan human capital.

Menurut Abdullah, pembangunan human capital sangat penting jika negara-negara Muslim ingin meraih kemajuan. "Malaysia dan Kuwait perlu memikirkan cara untuk membantu negara-negara Muslim tertinggal untuk bangkit dan maju, melalui program-program pelatihan bagi kalangan generasi muda,'' ungkap Abdullah seperti dikutip The Stars.

Abdullah juga sempat menyoroti kompleksnya isu-isu di dunia Muslim. Menurut Abdullah, begitu beragamnya pendapat dan perbedaan dalam mengadopsi solusi yang tepat, telah membuat dunia Islam sulit bersatu.

Ketidakmampuan untuk bersatu itu telah membuat umat Muslim tak mampu merespons secara tepat tantangan globalisasi dunia di bidang ekonomi, politik, serta sosial. Abdullah memaparkan, masalah yang dihadapi Irak, Afghanistan, serta Palestina terjadi akibat dunia Islam terpecah.

Sesungguhnya, tegas dia, negara-negara Muslim memiliki kewajiban untuk menampilkan kompetensi dan kesiapannya untuk menjadi bagian dari proses globalisasi dan modernisasi. Untuk mencapai itu, masyarakat Muslim perlu mereformasi dan memperbarui pemikirannya, terutama dalam proses pemerintahan. ''Untuk itu, kita perlu memprioritaskan pembangunan human capita, melalui pendidikan dan pengembangan riset bagi umat.''

Dalam lawatannya ke kawasan Teluk itu, Abdullah serta perdana menteri Kuwait juga membahas situasi dan kehancuran yang menimpa Gaza, Palestina. ''Sungguh sebuah situasi yang sangat menyedihkan,'' katanya. Abdullah mendesak agar Organisasi Konferensi Islam (OKI) membantu rakyat Palestina di Gaza. Abdullah menyerukan agar penderitaan rakyat Gaza harus segera diakhiri.


Dunia Islam harus bersatu
Sebelumnya, Ketua Majelis Pakar Ulama Iran, Ayatollah Akbar Hashemi Rafsanjani, menyerukan agar dunia Islam bersatu. Menurut dia, musuh-musuh Islam telah sukses memecah belah Muslim. Hal itu, kata Rafsanjani, dibuktikan dengan tindakan semena-mena dan dikuasainya dunia Islam oleh mereka.

Rafsanjani menuturkan, perbedaan aliran dan pendapat dalam ajaran Islam telah mendorong musuh untuk terus memecah belah kekuatan negara-negara Muslim. Akibatnya, dunia Islam menjadi lemah dan musuh Islam mampu mengusai dunia dengan arogan. ''Senjata utama untuk menghancurkan konspirasi musuh adalah persatuan umat,'' paparnya dalam Konferensi Internasional Persatuan Umat ke-22, pekan lalu.

Menurut Rafsanjani, Islam memiliki banyak aturan terkait hak asasi manusia (HAM), hak wanita, dan hak kebebasan berbicara dan berekspresi. Ajaran Islam itu, kata dia, lebih progresif dibandingkan aturan yang dimiliki dunia Internasional, yang sesungguhnya juga mengadopsi dari sumber-sumber Islam.

Kata dia, musuh-musuh Islam selalu berupaya memecah belah dunia Islam dengan menggunakan aturan dan ambiguitas. Konferensi Internasional Persatuan Islam itu dihadiri 200 perwakilan dari 45 negara. Konferensi itu dihadiri sejumlah pemikir dari negara-negara Islam, seperti Iran, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Arab saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Oman, Sudan, Kuwait, Maroko, Indonesia, Uzbekistan, Yaman, serta negara Muslim lainnya. hri

(-)

Senin, 23 Maret 2009

Perlakuan Pajak Syariah



Chandra Budi
(Staf Dirjen Pajak Departemen Keuangan)

Saat ini, perbankan syariah mengalami pertumbuhan 35 persen. Di lain pihak, perbankan konvensional justru mengalami kemunduran. Satu hal yang membuat perbankan syariah tumbuh pesat adalah produk yang ditawarkan bebas terhadap tindakan spekulatif. Demikian juga, produk-produk yang ditawarkan mampu bersaing dengan produk-produk perbankan konvensional. Tidak dapat dimungkiri lagi, kita akan semakin akrab dengan istilah mudharabah (bagi hasil), murabahah (jual beli), ijarah (sewa-menyewa), dan qardh (pinjam-meminjam). Pun, usaha berbasis syariah mulai tumbuh, seperti asuransi syariah, jasa keuangan syariah, dan pegadaian syariah. Bagaimana perlakuan pajak atas usaha berbasis syariah ini?

Pajak ganda
Bulan November 2008 lalu, sejumlah otoritas pajak negara-negara Islam (ATAIC) berkumpul di Bali untuk membahas perlakuan pajak atas usaha berbasis syariah ini. Tujuan utamanya adalah menyamakan persepsi mengenai pajak syariah ini. Khusus Indonesia, karena saat itu sedang menyiapkan aturan tentang pajak syariah ini, know how lesson dari negara-negara Islam lain seharusnya dapat memberikan masukan yang berarti dalam menyusun peraturan tentang pajak atas usaha syariah ini.

Bagi praktisi usaha berbasis syariah, yang dikeluhkan selama ini adalah pengenaan pajak berganda atas transaksi produknya. Nyata terlihat adalah dalam transaksi murabahah (jual beli). Sebagai contoh, ketika seseorang mau membeli kendaraan melalui perbankan dengan cara mencicil (kredit), kalau dilakukan pada perbankan syariah dengan prinsip jual beli tadi, seakan-akan terjadi dua kali proses pengalihan (jual beli). Yang pertama adalah dari dealer dan perbankan syariah, kemudian yang kedua dari perbankan syariah kepada kreditor. Otomatis, sesuai dengan prinsip Pajak Pertambahan Nilai (PPN), semua transaksi tersebut wajib dikenakan PPN. Dibandingkan dengan jika si kreditor tersebut melakukan transaksi dengan perusahan leasing, sebenarnya pihak leasing meminjamkan sejumlah uang kepada kreditor dan pembelian kepada dealer tersebut langsung atas nama kreditor. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)-nya akan dikenakan sekali saja.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa, dan Perumahan Lainnya yang Atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan PPN telah mengakomodasi jenis transaksi murabahah (syariah), yaitu pada Pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pembebasan tersebut berlaku juga bagi pembiayaan yang berprinsip syariah. Tetapi, apabila diteliti lebih mendalam aturan ini, sebenarnya bertujuan untuk memberikan insentif bagi pembeli menengah ke bawah (nilai transaksi maksimal Rp 49 juta) dan tentunya pengembang perumahan (developer) sehingga diharapkan pemenuhan kebutuhan perumahan dapat terwujud.

Aturan pajak syariah
Menurut saya, karena pengertian dan konsep antara pajak dan dharibah istilah pajak dalam Islam sangat berbeda, penerapan atau perlakuan pajak atas kegiatan ekonomi yang berdasarkan aturan Islam (dikenal dengan syariah) tidak akan berhasil. Perbedaan nyata terletak dari sifat pajak yang dapat dipaksakan, sedangkan dharibah bersifat tidak memaksa, berlaku hanya pada keadaan darurat (temporer), dan sesuai kebutuhan (tidak ada istilah lebih). Maka, sebenarnya, perlakuan pajak syariah ini lebih tepatnya merupakan penerapan aturan perpajakan atas transaksi yang bersifat khusus. Analoginya sama persis ketika pemerintah menerapkan aturan pajak untuk migas dan batu bara, misalnya.

Untuk Pajak Penghasilan (PPh), pemerintah telah mengakomodasi aturan pajak syariah ini dalam UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitu pada Pasal 31D yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batu bara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah (PP). Pada 3 Maret 2009 lalu, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Isi dari PP ini telah membedakan jenis usaha syariah, perlakuan pajak penghasilan yang meliputi keuntungan (margin) serta biaya dan pemotongan dan pemungutan pajaknya. Tentunya, detailnya akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Per Dirjen Pajak), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE Dirjen Pajak) yang diharapkan keluar secepatnya. Karena dasar syariah yang digunakan sebenarnya hanya istilah khusus saja, penerapan aturan perpajakan secara umum sebenarnya tidak akan mendapatkan masalah berarti. Walaupun harus diakui bahwa keluarnya PP tersebut akan menangkap sejumah objek pajak yang secara khusus tidak diatur dalam UU Pajak Penghasilan.

Yang patut mendapatkan catatan di sini adalah keluarnya PP tersebut belum menjawab permasalahan yang dihadapi oleh praktisi kegiatan usaha syariah, yaitu PPN berganda. Pemerintah saat ini dalam proses penyelesaian amandemen UU PPN dan saya yakin aturan mengenai PPN syariah merupakan klausul penting untuk dibahas. Tapi, di satu sisi, ada rasa pesimistis amandemen UU PPN tersebut dapat diselesaikan segera mengingat saat ini konsentrasi dan tenaga para wakil rakyat akan lebih banyak fokus kepada Pemilu 2009. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dapat mengusulkan beberapa aturan terkait PPN ganda transaksi syariah ini. Berkaca pada PMK Nomor 36/PMK.03/2007 di mana aturan transaksi syariah disisipkan, menteri keuangan pun dapat mengeluarkan aturan khusus lainnya mengenai pemberlakuan PPN atas transaksi yang berdasarkan prinsip syariah. Khusus produk murabahah (jual beli), menteri keuangan dapat saja mengeluarkan PMK tentang perlakuan khusus pengenaan PPN atas transaksi yang berdasarkan prinsip syariah dengan cara mengamandemen PP Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN. Ini tidak akan terlalu sulit karena Presiden SBY telah menyatakan political will-nya untuk mendukung equal treatment atas perbankan syariah nasional.

Kamis, 19 Maret 2009

Gerakan Islam Demokratis Sempat Terhenti

Jakarta, Kompas - Gerakan Islam demokratis yang selama ini berjalan cukup baik sempat terhenti ketika Amerika Serikat melakukan politik perang melawan terorisme. Pasalnya, di Indonesia kelompok gerakan Islam yang prodemokrasi dianggap sebagai bagian dari pendukung AS yang merugikan posisi Islam.

”Kondisi ini sangat disayangkan, kebijakan perang melawan teror yang dilancarkan AS di Indonesia justru menghentikan gerakan Islam demokratis,” ujar Direktur The Asia Foundation Robin L Bush dalam peluncuran buku Ragam Ekspresi Islam Nusantara dan diskusi ”Islam Indonesia, Pemilu dan Perubahan” di Jakarta, Selasa (17/3).

Robin menilai gerakan Islam dan demokrasi di Indonesia sebetulnya cukup berkembang. Gerakan itu tetap mempunyai pendukung yang diharapkan dapat memberikan kehidupan demokrasi yang sesungguhnya.

”Sejarah civil society Islam di Indonesia sudah lama berpikir tentang Islam dan demokrasi. Hal ini sebetulnya bisa menjadi modal,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat politik, Yudi Latif, mengatakan, masyarakat Indonesia memang berpeluang mewujudkan masyarakat demokrasi terbesar di dunia. Potensi itu ada dan makin berpeluang besar jika Indonesia mampu melewati pemilu yang demokratis

”Meskipun, masih dengan catatan, demokrasi yang berjalan saat ini perlu dikembangkan secara lebih substansial,” ujarnya.

Apalagi, menurut Yudi, partai politik peserta pemilu saat ini tidak mempunyai perbedaan identitas yang mendasar. Pasalnya, semua partai politik menyebut dirinya sebagai partai terbuka. Kondisi ini sebetulnya merupakan kesempatan untuk memerhatikan dan memperbaiki politik agar memerhatikan hal-hal yang lebih substansial.

“Namun, sayangnya, dalam praktik pemilu, kita melihat kelembagaan pemilu yang seharusnya bisa bekerja imparsial, malah terkesan parsial dan memihak. Kondisi ini tentu sangat merugikan dan demokrasi mengalami delegitimasi,” ujarnya.

Sementara itu, mantan Presiden Abdurrahman Wahid menilai dunia sebetulnya tidak mempunyai alasan untuk berburuk sangka terhadap Islam. Meskipun ada yang memperlihatkan ekspresi yang menakut-nakuti, jumlah yang lebih besar lagi memperlihatkan wajah yang ramah dan memperkenalkan ajaran pemikiran Islam yang baik.

”Begitu juga kalangan Islam, yang juga sebetulnya tidak ada alasan untuk berburuk sangka dengan yang lain. Kalau sabar dan baik saja, Islam pasti akan maju. Islam bisa maju karena adanya pendekatan multikultural,” ujarnya. (MAM)

Selasa, 10 Maret 2009

Teladan Akhlak Mulia Rasulullah


Sayangnya, dari empat sifat Nabi Muhammad,
baru dua saja yang mampu diterapkan umat saat ini.


Umat Muslim di seluruh dunia bersiap menyambut momen yang amat mulia, tepatnya bulan Rabiul Awal ini. Berbagai kegiatanpun dirancang jauh-jauh hari, mulai pengajian, tabligh akbar, bakti sosial, diskusi hingga pagelaran Shalawat Barzanji, untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 9 Maret mendatang.

Baik di kota hingga ke desa, warga Muslim dengan penuh suka cita mengenang kembali perjalanan hidup sekaligus merenungkan tuntunan Rasul. Ini merupakan saat tepat untuk berintrospeksi dan menilai diri apakah perbuatan dan tindak tanduk selama ini sudah sesuai akhlak mulia beliau. Ya, itulah keberkahan serta kemuliaan bulan Rabiul Awwal.

Setidaknya demikian yang diungkapkan Dr Said Ramadlan dalam Kitab Fiqh al-Sirah al-Nabawiyaah, bahwa tujuan dari peringatan Maulid Nabi jangan hanya sekadar mengetahui perjalanan nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar umat melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Rasulullah.

Bahkan, menurut Prof Dr KH Said Agil Siraj, salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), umat Islam berkewajiban mengikuti akhlak mulia Rasulullah. ‘’Kita wajib mengikuti akhlak Rasulullah dengan seluruhnya, bukan hanya sepotong-sepotong,’‘ tegasnya.

Oleh karena itu, yang paling penting dalam kaitan ini adalah transformasi nilai-nilai Islam yang dibawa Rasulullah untuk diamalkan serta difahami. ‘’Jangan hanya doktrin. Akhlak itu tidak bisa dengan doktrin,’‘ tandas Kiai Agil.

Dia pun mencontohkan masalah kenakalan remaja. Hal itu tidak bisa diatasi dengan tindakan polisi, atau dengan kekerasan, melainkan melalui penanaman nilai-nilai.

‘’Kalau penanganannya dengan kekerasan, besok malah muncul lagi. Begitu juga di tengah-tengah masyarakat kita, yang namanya kejujuran, keadilan, kebersamaan, harus menggunakan transformasi nilai, tidak bisa dengan doktrin haram atau wajib,’‘ Kiai Agil menegaskan.

Lebih jauh, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan tiga hal penting dalam meneladani akhlak Rasul. Pertama, qaulan (perkataan), fi’lan (tindakan) serta taqriran (keputusan).

Ketika ditanyakan bagaimana agar akhlak mulia itu benar-benar bisa diteladani umat Islam kini, doktor dari Universitas Islam Madinah Saudi Arabia ini menjawab, salah satu kiatnya yakni dengan memperbanyak ta bligh dan dakwah yang disampaikan para ustadz serta dai.

‘’Ini harus terus menerus diingatkan ke umat, harapannya adalah agar apa yang disampaikan tadi benar-benar mengena untuk selanjutnya teraplikasi dalam perbuatan sehari-hari,’‘ katanya.

Pentingnya meneladani akhlak Rasulullah juga disuarakan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub. Menurut Kiai Ali Mustafa, Rasulullah terlahir dari jenis manusia, dan bukan malaikat.

Karena itulah, maka apa yang dilakukan Rasulullah sangat mungkin untuk bisa diteladani oleh umat Islam. ‘’Kalau pun kita tidak mampu menelandani Rasulullah SAW hingga 100 per sen, paling tidak kita mampu meneladani akhlaknya 90 persen atau minimal 80 persen.’‘

Ujian
Sayangnya, kata Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, dari empat sifat Nabi Muhammad, fathanah (cerdas), tabligh (dakwah), amanah dan sidiq (jujur), baru dua sifat yang banyak diteladani umat, yakni fathanah dan tabligh.

‘’Adapun dua sifat lainnya, amanah dan sidiq, masih sangat sulit dilakukan umat, termasuk para pemimpin kita. Maka, tidak heran tindakan korupsi masih terus tinggi di negeri ini karena kejujuran belum diamalkan dengan baik,’‘ paparnya.

Bukan hanya kurang meneladani akhlak Rasul dalam hal kejujuran dan amanah, menurut Kiai Ali Mustafa, umat juga kurang mampu meneladani akhlak Rasul ketika menghadapi kesulitan. Padahal, kepedihan yang dialami Nabi Muhammad, dua kali lebih pedih dari yang dirasakan umat manusia lainnya.

Ini bisa disimak dari hadis yang diriwayatkan Sa’ad bin Abi Waqqash ketika ia bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘’Mana orang yang paling pedih ujiannya di dunia? Rasulullah menjawab, ‘Ujian yang dialami para rasul, begitu juga para ulama memiliki tingkat kepedihan yang paling tinggi.’‘

Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah mampu melewati setiap ujian dan tantangan dengan ikhlas, serta meraih keberhasilan. Itulah sosok pribadi utama dan mulia, seperti disebutkan dalam Alquran surat Al Qalam [68] ayat 4, ‘’Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.’‘ dam

Teladan Akhlak Mulia Rasulullah

Sayangnya, dari empat sifat Nabi Muhammad, baru dua saja yang mampu diterapkan umat saat ini.

Umat Muslim di seluruh dunia bersiap menyambut momen yang amat mulia, tepatnya bulan Rabiul Awal ini. Berbagai kegiatanpun dirancang jauh-jauh hari, mulai pengajian, tabligh akbar, bakti sosial, diskusi hingga pagelaran Shalawat Barzanji, untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 9 Maret mendatang.

Baik di kota hingga ke desa, warga Muslim dengan penuh suka cita mengenang kembali perjalanan hidup sekaligus merenungkan tuntunan Rasul. Ini merupakan saat tepat untuk berintrospeksi dan menilai diri apakah perbuatan dan tindak tanduk selama ini sudah sesuai akhlak mulia beliau. Ya, itulah keberkahan serta kemuliaan bulan Rabiul Awwal.

Setidaknya demikian yang diungkapkan Dr Said Ramadlan dalam Kitab Fiqh al-Sirah al-Nabawiyaah, bahwa tujuan dari peringatan Maulid Nabi jangan hanya sekadar mengetahui perjalanan nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar umat melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Rasulullah.

Bahkan, menurut Prof Dr KH Said Agil Siraj, salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), umat Islam berkewajiban mengikuti akhlak mulia Rasulullah. ‘’Kita wajib mengikuti akhlak Rasulullah dengan seluruhnya, bukan hanya sepotong-sepotong,’‘ tegasnya.

Oleh karena itu, yang paling penting dalam kaitan ini adalah transformasi nilai-nilai Islam yang dibawa Rasulullah untuk diamalkan serta difahami. ‘’Jangan hanya doktrin. Akhlak itu tidak bisa dengan doktrin,’‘ tandas Kiai Agil.

Dia pun mencontohkan masalah kenakalan remaja. Hal itu tidak bisa diatasi dengan tindakan polisi, atau dengan kekerasan, melainkan melalui penanaman nilai-nilai.

‘’Kalau penanganannya dengan kekerasan, besok malah muncul lagi. Begitu juga di tengah-tengah masyarakat kita, yang namanya kejujuran, keadilan, kebersamaan, harus menggunakan transformasi nilai, tidak bisa dengan doktrin haram atau wajib,’‘ Kiai Agil menegaskan.

Lebih jauh, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan tiga hal penting dalam meneladani akhlak Rasul. Pertama, qaulan (perkataan), fi’lan (tindakan) serta taqriran (keputusan).

Ketika ditanyakan bagaimana agar akhlak mulia itu benar-benar bisa diteladani umat Islam kini, doktor dari Universitas Islam Madinah Saudi Arabia ini menjawab, salah satu kiatnya yakni dengan memperbanyak ta bligh dan dakwah yang disampaikan para ustadz serta dai.

‘’Ini harus terus menerus diingatkan ke umat, harapannya adalah agar apa yang disampaikan tadi benar-benar mengena untuk selanjutnya teraplikasi dalam perbuatan sehari-hari,’‘ katanya.

Pentingnya meneladani akhlak Rasulullah juga disuarakan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub. Menurut Kiai Ali Mustafa, Rasulullah terlahir dari jenis manusia, dan bukan malaikat.

Karena itulah, maka apa yang dilakukan Rasulullah sangat mungkin untuk bisa diteladani oleh umat Islam. ‘’Kalau pun kita tidak mampu menelandani Rasulullah SAW hingga 100 per sen, paling tidak kita mampu meneladani akhlaknya 90 persen atau minimal 80 persen.’‘

Ujian
Sayangnya, kata Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, dari empat sifat Nabi Muhammad, fathanah (cerdas), tabligh (dakwah), amanah dan sidiq (jujur), baru dua sifat yang banyak diteladani umat, yakni fathanah dan tabligh.

‘’Adapun dua sifat lainnya, amanah dan sidiq, masih sangat sulit dilakukan umat, termasuk para pemimpin kita. Maka, tidak heran tindakan korupsi masih terus tinggi di negeri ini karena kejujuran belum diamalkan dengan baik,’‘ paparnya.

Bukan hanya kurang meneladani akhlak Rasul dalam hal kejujuran dan amanah, menurut Kiai Ali Mustafa, umat juga kurang mampu meneladani akhlak Rasul ketika menghadapi kesulitan. Padahal, kepedihan yang dialami Nabi Muhammad, dua kali lebih pedih dari yang dirasakan umat manusia lainnya.

Ini bisa disimak dari hadis yang diriwayatkan Sa’ad bin Abi Waqqash ketika ia bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘’Mana orang yang paling pedih ujiannya di dunia? Rasulullah menjawab, ‘Ujian yang dialami para rasul, begitu juga para ulama memiliki tingkat kepedihan yang paling tinggi.’‘

Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah mampu melewati setiap ujian dan tantangan dengan ikhlas, serta meraih keberhasilan. Itulah sosok pribadi utama dan mulia, seperti disebutkan dalam Alquran surat Al Qalam [68] ayat 4, ‘’Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.’‘ dam

'Teladani Nabi dalam Keseharian'


JAKARTA -- Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW hendaknya tak hanya menjadi ajang seremonial belaka. Lebih dari itu, mengaplikasikan keteladanan Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari jauh lebih bernilai.

Ketua Majelis Pimpinan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI), KH Didin Hafidhuddin, menyatakan, inti Maulid Nabi bukan pada memperingati hari kelahirannya, tapi bagaimana umat Islam mempelajari sejarah dan keteladanan Nabi SAW. ''Kita harus mengikuti teladan Nabi, baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat, maupun negara,'' kata KH Didin kepada Republika, Senin (9/3).

Ada empat sifat utama Rasulullah SAW yang harus diikuti umat Islam. Pertama,shiddiq yang berarti jujur. ''Saat ini kita membutuhkan tokoh dan masyarakat yang jujur karena akan melahirkan kemakmuran,'' ujarnya.

Kedua,fathonah yang berarti cerdas. Masyarakat kita yang mayoritas Islam, katanya, harus memilih pemimpin yang cerdas, yang berusaha meningkatkan pengetahuan. Ketiga, amanah yang berarti profesional. ''Nabi menjalankan tugasnya dengan baik sesuai kewajibannya. Tentu saja hal ini menimbulkan kepercayaan kepada beliau.''

Terakhir, tabligh yang berarti menyampaikan. ''Sebagai umat Islam, kita tak boleh menyimpan sendiri kebaikan atau kebenaran, tapi harus disampaikan.''Keempat sifat itu harusnya diterapkan di masyarakat, meski kesadaran umat Islam akan hal tersebut masih minim. ''Saat ini sebagian umat Islam yang memperingati Maulid penuh penghayatan. Tapi, ada pula yang sekadar mengingat, tak ada upaya mempertajam makna Maulid secara substansial.''

Ketua PBNU, KH Masykuri Abdillah, menyatakan, Maulid yang berarti mengenang peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW mesti direnungkan kembali. Tak hanya sekadar perayaan, tapi bagaimana mengambil manfaat untuk membangun akhlak yang mulia.''Kelahiran Nabi itu juga sebagai bimbingan umat Islam untuk bangkit dari kegelapan menjadi bersinar,'' jelasnya. Ada dua dasar utama peringatan Maulid.

Pertama untuk membangun akidah, dan kedua menjalankan syariatnya. ''Kehadiran Nabi, telah membangun akhlak manusia, baik ke sesama maupun kepada Tuhan. Saat ini kita melihat kembali apa yang dilakukan Nabi ketika itu.''Dia menyayangkan sebagian umat Islam masih belum menyadari hal itu. Faktanya, masih ada umat Islam yang berakhlak tak baik. ''Memang, yang dilakukan Rasulullah tidak mudah, terutama untuk masalah akhlak. Banyak tantangannya.''

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin, menambahkan, saat ini acara peringatan Maulid terkesan hanya pidato, tidak ada teladan konkret. ''Seharusnya umat Islam meneladani Nabi, membangun akhlak mulia. Sekaligus melakukan harakatul Islah (gerakan perbaikan), baik secara personal dan sosial kemasyarakatan di segala bidang.'' she

Muhammad dan Teologi Pembebasan

Oleh: Gugun El-Guyanie
(Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3) PW GP Ansor DIY)

Muhammad, di antara manusia lain, bagaikan sebuah permata di antara batu-batuan (Syair Arab).

Maulid Nabi Muhammad SAW diperingati sebagai hari lahir Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi, yang paling sempurna dari seluruh makhluk Allah dan kekasih Tuhan. Dalam tahun hijriyah, tepat pada 12 Rabiul Awal, Nabi Allah Muhammad yang penuh berkah dilahirkan di sebuah Kota Makkah. Di kota suci tersebut, terdapat Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim, bapak agama monoteisme dan leluhur bangsa Arab serta Yahudi.

Namun, pusat agama kuno ini tetap bersebelahan dengan panggung utama peradaban manusia dan merupakan ajang pertarungan berbagai kekuasaan besar dunia. Peristiwa-peristiwa utama dalam sejarah di daerah ini, yaitu penaklukan Kerajaan Babilonia oleh Cyrus dan berdirinya Kerajaan Romawi, kelahiran dan penyaliban Kristus, berakhirnya peradaban Mesir Kuno, kehancuran Kenisah Yerusalem, berdirinya Kerajaan Bizantium, dan peperangan terus-menerus dengan bangsa Persia hingga ke daerah Timur, turut mewarnai Kota Makkah.

Sayyed Hossen Nasr dalam Muhammad Man of Allah (1982) mencatat bahwa lebih dari seribu tahun di Arabia, ajaran monoteistik telah ditinggalkan. Mayoritas bangsa Arab telah jatuh ke dalam jurang kemusyrikan yang paling buruk. Mereka telah melupakan kebenaran dan tenggelam dalam zaman kejahilan (jahiliyah) yang menjadi latar belakang lahirnya Islam. Satu-satunya pengecualian, di samping sejumlah kecil umat Kristen dan Yahudi yang berdiam di Arabia, adalah terdapat beberapa orang yang menyendiri dan yang ingat terhadap ajaran asal Nabi Ibrahim, yaitu orang-orang yang disebut Alqur'an sebagai kaum hanif atau hunafa. Maka, lahirlah Muhammad yang tidak hanya menjadi nabi dan rasul Allah, tetapi juga kekasih Allah dan rahmat yang dikirimkan ke muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam Alquran (21: 107), Dan tidaklah kami utus engkau (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.

Karena, Muhammad adalah nabi yang lahir dengan spirit teologi pembebasan (liberation theology). Islam yang diturunkan Allah melalui Muhammad adalah agama yang membebaskan kaum tertindas, mengangkat derajat orang-orang yang kalah, dan membebaskan umat manusia dari hegemoni tradisi dan sistem yang membelenggu.

Ada pendapat yang menarik dari Thoha Husein, seorang intelektual dari Mesir dalam Al Fitnatul Kubro yang dikutip oleh Novriantoni (2002). Apa reaksi kaum Quraisy sekiranya Nabi SAW hanya menganjurkan prinsip tauhid? Menurut Thoha, andaikan Muhammad hanya membawa tauhid, minus sistem sosial dan ekonomi, tentu banyak orang Quraisy menyambut seruan Muhammad dengan mudah.

Thoha beralasan bahwa orang Quraisy pada hakikatnya tidak secara penuh percaya berhala dan juga tidak benar-benar mempertahankan 'tuhan-tuhan' mereka itu. Berhala-berhala itu hanya sekadar alat, bukan tujuan. Alat untuk mengelabui semua orang Arab agar mudah ditipu dan diperas. Orang yang menilai bahwa Nabi hanya menyeru Tauhid sebagai lawan tanding Ta'addud (politeis), panutan Arab kala itu tentu keberatan dengan pendapat Thoha. Tapi, bila struktur sosial, budaya, politik, dan ekonomi Arab pra-Islam ditilik lebih cermat, tentulah pendapat itu tidak mengejutkan.

Sebelum lahir seorang bayi bernama Muhammad atau sekitar 14 abad yang silam, ada tiga wilayah yang menjadi ikon peradaban dunia dengan ciri khas masing-masing, yakni Romawi Timur, Persia, dan India (Mushaffa Ibnu Dja'far: 2006). Romawi Timur (Imperium Byzantium) dengan bala tentaranya yang mahadahsyat berhasil menguasai Yunani, Balkan, sebagian besar Asia, negara di sekitar laut tengah, Mesir, dan seluruh Afrika bagian utara. Meski wilayah kekuasaannya merambah ke berbagai belahan bumi, keterpurukan melanda di mana-mana. Terjadi perang dingin antarpemeluk mazhab beragama.

Terbaginya masyarakat pada strata tertentu membuat kesenjangan sosial begitu menganga. Ekonomi pun menjadi carut-marut sehingga perang saudara antara rakyat dan kekaisaran tak terhindarkan. Di Persia, agama justru menjadi justifikasi untuk berbuat semena-mena. Penindasan terhadap kaum lemah pun merajalela. Penguasa mengaku, mereka merupakan keturunan tuhan. Titah raja pun harus disikapi sebagai titah tuhan sehingga kepongahanlah yang diperankan.

Seluruh kekayaan alam diakui menjadi milik penguasa. Rakyat menjadi korban pola hidup penguasa. Harta dan tenaga rakyat diekploitasi untuk kepentingan orang-orang teras kekaisaran. Sementara itu, di India, segala sesuatu yang menakjubkan, menarik, bahkan berbagai macam fasilitas menjadi sesembahan. Masing-masing punya tuhan yang berbeda. Sistem kasta telah membunuh kemanusiaan bangsa India. Penduduk kelas satu (Kasta Brahmana) harus dimuliakan, tidak boleh sengsara meski paceklik melanda. Meski berbuat salah, mereka tidak bisa disentuh hukum. Penduduk kelas dua (Kasta Ksatria) terdiri atas prajurit perang. Sedangkan, kelas tiga (Kasta Waisha) adalah petani dan pedagang. Sementara itu, kelas empat adalah budak (Kasta Sudra) yang kedudukannya begitu tidak bernilai. Bahkan, dalam hukum, mereka lebih hina dari binatang.

Muhammad adalah manusia biasa. Namun, karena perjuangannya melampaui egoisme, Muhammad manusia pun berubah menjadi Muhammad Nabi. Proses itulah yang membutuhkan pengorbanan besar dan perjuangan yang berdarah-darah. Sehingga, tidak ada umat manusia yang melebihi penderitaan yang dipikul Nabi Muhammad. Tidak ada kesengsaraan di muka bumi ini sebagaimana dalam sejarah hidup Muhammad. Dari pergulatan sosial dan pergulatan spiritual inilah, kemudian Allah mengangkatnya menjadi utusan sekaligus pemimpin bagi umat manusia menuju cakrawala ketuhanan.

Penghormatan terhadap Nabi yang berjuang untuk umat manusia dan menebar cinta untuk semesta (rahmatan lil 'alamin) itulah yang melahirkan peringatan Maulid Nabi. Perayaan Maulid Nabi pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Tujuannya adalah membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW serta meningkatkan semangat juang kaum Muslim saat itu yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan Pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan Kota Yerusalem.

Pada masa itu, dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, dan Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099, laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid Al-Aqsa menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah). ini disebabkan umat Islam secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Baghdad, sebagai lambang persatuan spiritual (Irfan Anshory: 2004).

Semoga peringatan Maulid Nabi kali ini benar-benar memancarkan teologi pembebasan yang membebaskan bangsa Indonesia dari segala problematika dan dialektika penghancuran serta selamat dari malapetaka yang mengancam kehidupan anak-anak bangsa.

(-)

Kamis, 05 Maret 2009

Berharap Solusi dari Ekonomi Islam


Forum Ekonomi Islam Dunia Ke-5 di Jakarta membicarakan pengembangan keuangan islami, sistem yang sesuai syariat Islam, bebas dari spekulasi dan riba.

Termasuk juga dibicarakan peran negara-negara Islam dan negara-negara berpenduduk Muslim lain yang memiliki dana begitu besar untuk secara bersama-sama mengatasi krisis keuangan dan resesi ekonomi global. Wajar dan tepat karena ekonomi syariah berpotensi besar menjadi solusi krisis itu. Sifatnya yang menekankan etika, keadilan, menjauhi unsur spekulasi, dan terkait erat sektor riil sangat dibutuhkan untuk terciptanya sistem perekonomian berkelanjutan yang tidak mudah bergejolak.

Salah satu ide muncul dari Indonesia, agar ada semacam dana himpunan bersama negara-negara yang menganut sistem ekonomi syariah untuk mendukung investasi di suatu negara. Dengan demikian, seperti diutarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, negara Muslim yang tidak memiliki kemampuan maksimal untuk membangun negerinya akan mendapatkan manfaat dari dana yang kini dipegang oleh negara Muslim pengekspor minyak.

Ide itu menarik karena menonjolkan aspek keadilan. Negara-negara Islam di Timur Tengah, penghasil dan pengekspor minyak mentah, misalnya, memiliki dana setidaknya 4 triliun dollar AS. Mereka menikmatinya akibat melonjaknya harga minyak dari 60 dollar menjadi 147 dollar AS per barrel. Sementara begitu banyak negara yang tak punya sumber, bahkan akses ke sumber minyak bumi, kian miskin dengan melonjaknya harga tersebut.

Jumlah dana ”syariah” itu lebih besar lagi jika dikalkulasi bersama dana negara berpenduduk Muslim, atau negara non-Muslim tetapi sudah menerapkan dan mengembangkan sistem keuangan syariah. Tentu saja dana sebesar itu akan senantiasa mencari tempat pengembangbiakan yang kondusif, aman, dan sesuai syariat. Potensi penanaman modal itu banyak terdapat di negara yang masih tergolong miskin, dalam tahap berkembang, tidak punya sumber daya finansial, tetapi memiliki sumber alam luar biasa kaya.

Dengan mempertemukan dua kepentingan itu melalui kendaraan sistem ekonomi dan keuangan syariah, sistem yang lebih adil dan transparan tersebut, setidaknya sebagian persoalan dunia, yakni kemiskinan dan keadilan, telah coba diatasi bersama. Apalagi sistem ekonomi dan keuangan yang kapitalistis sedang digugat di mana-mana, bahkan banyak yang menilai telah ambruk. Sistem syariah diharapkan tampil sebagai solusi.

Kita berpendapat, tujuan itu bisa dicapai manakala ada keserasian dan keselarasan aturan yang berlaku di negara-negara yang menerapkan prinsip ekonomi syariah. Dan yang paling penting, aturan itu berlaku universal, global, dan tidak multitafsir. Apalagi, ekonomi syariah bukan sistem eksklusif untuk orang Islam saja, tetapi bisa juga digunakan oleh semua insan pelaku ekonomi.

Negara-negara Islam Lahirkan Deklarasi Jakarta


Rabu, 4 Maret 2009 | 05:46 WIB

Jakarta, Kompas - Forum Ekonomi Islam Dunia atau WIEF Ke-5 melahirkan sebuah kesepakatan bersama antarnegara Islam yang disebut sebagai Deklarasi Jakarta.

Salah satu poin pentingnya adalah mengakomodasi proposal Pemerintah Indonesia tentang pembentukan dana siaga yang berasal dari dan digunakan untuk negara-negara berbasis ekonomi syariah di dunia atau dikenal dengan Islamic Expenditure Support Fund.

Wakil Ketua Panitia Penyelenggara WIEF Ke-5, Irman Gusman, mengungkapkan hal itu saat membacakan Deklarasi Jakarta, dalam Penutupan WIEF Ke-5 di Jakarta, Selasa (3/3). Acara ini ditutup oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Proposal tentang pembentukan Islamic Expenditure Support Fund tersebut diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membuka WIEF, Senin (2/3).

Deklarasi Jakarta menetapkan tujuh kelompok rekomendasi. Pertama, rekomendasi untuk mengatasi krisis keuangan global.

Kedua, langkah-langkah pengamanan produk makanan. Ketiga, pengamanan energi. Keempat, pengembangan usaha kecil dan menengah secara global.

Kelima, pengembangan bisnis yang dilakukan oleh perempuan di negara Muslim. Keenam, pengembangan kapasitas para pemimpin muda di negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Ketujuh, kesepakatan untuk mengembangkan dunia pendidikan.

Menurut Irman, salah satu langkah konkret dalam mengatasi krisis keuangan global adalah dengan mendukung percepatan perluasan kerja sama ekonomi regional melalui implementasi Rencana Aksi 10 Tahun OKI.

Sementara itu, Ketua Yayasan WIEF, Tun Musa Hitam, mengatakan bahwa deklarasi tersebut merefleksikan ide-ide yang muncul dalam tiga hari penyelenggaraan WIEF Ke-5.

”Lebih memulai dari hal-hal kecil, daripada mengungkapkan hal-hal yang besar, namun setelah itu dilupakan,” ujarnya.(OIN)

Rabu, 04 Maret 2009

Islam dan Kesejahteraan Dunia Muslim

Yuslam Fauzi
(praktisi perbankan syariah/Dirut Bank Syariah Mandiri)


Dalam beberapa hari ini, tepatnya pada tanggal 1 s.d. 4 Maret 2009, Indonesia menjadi tuan rumah World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-5. WIEF biasanya dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai negara untuk membahas ekonomi dan keuangan Islam, dengan pendekatan ilmiah dan empiris-praktis. Pertemuan terakhir digelar tahun lalu di Kuwait.

Forum kali ini memiliki arti yang sangat penting sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, karena ia diselenggarakan di tengah situasi ekonomi global yang semakin menunjukkan arah yang buruk. Dari forum ini diharapkan lahir tawaran-tawaran yang kongkret untuk membantu mengatasi situasi itu. Mungkin karena alasan inilah 5th WIEF ini mengambil tema, ''Food and Energy Security & Stemming the Tide of Global Financial Crisis.''

Kedua, karena kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan dunia Muslim, jika kita ukur dengan tingkat kesejahteraan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, dengan ukuran Indeks Perkembangan Manusia (Human Development Index), saat ini tetap berada pada posisi yang sangat rendah, walaupun negara-negara Muslim Timur Tengah selama bertahun-tahun menikmati kemakmuran ekonomi akibat kekayaan alam yang melimpah, terutama minyak dan gas. Forum ini dapat dijadikan ajang untuk introspeksi tentang apa saja yang benar dan yang salah yang selama ini telah dilakukan oleh bangsa-bangsa Muslim itu.

Dengan tulisan ini, saya akan mengingatkan tentang tujuan dari syariah Islam yang tetap harus menjadi kerangka dasar sekaligus menjadi cita-cita utama dalam setiap kali kita berusaha mengembangkan ekonomi Islam. Dalam tulisan ini juga, saya akan mengungkapkan fakta-fakta penting tentang keadaan dan permasalahan yang berhubungan dengan kesejahteraan dunia Muslim, termasuk Indonesia, dan menawarkan solusi yang paling sesuai dengan tujuan dari syariah itu.

Tujuan Syariah
Imam Al-Syathibi (Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibi, wafat 790 Hijriah), seorang pemikir Islam yang memelopori lahirnya ilmu maqaashid al-syarii'ah (tujuan-tujuan syariah) melalui karya monumentalnya, Al-Muwafaqaat, menjelaskan bahwa tujuan utama syariah Islam adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Syariah, menurut Al-Syathibi, adalah sesuatu yang berimplikasi pada kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan kasih sayang, sebagaimana bahwa tujuan utama syariah itu ialah untuk menciptakan kesejahteraan manusia.

Jika kita menoleh ke Alquran, kita akan melihat betapa besarnya perhatian Tuhan pada kesejahteraan ini. Di dalam Alquran, sedikitnya ada 69 ayat yang secara khusus menyebut kemiskinan. Di samping itu, masih ada puluhan lagi ayat-ayat yang menyebut kata sejenis dengan kemiskinan, seperti kata faqir, fuqara, ba's, saa'il, qani', mu'tarr, dhaa'if, dan mustadh'afiin. Selain itu, sedikitnya ada 42 ayat tentang zakat yang korelasinya dengan kemiskinan juga amat erat. Jika dijumlah, kita akan menemukan lebih dari 150 ayat Alquran yang berkorelasi dengan kemiskinan.

Sekadar untuk perbandingan, yang terkait dengan riba, yang tentu saja juga merupakan prinsip penting di dalam ekonomi Islam, hanya ada 7 ayat. Besarnya perhatian Islam pada kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan manusia bisa juga dilihat dari banyaknya hadis Nabi Muhammad tentang hal itu. Di dalam salah satu hadis dikatakan bahwa kefakiran amat dekat pada kekafiran. Jadi, sejalan dengan tujuan diutusnya Muhammad SAW untuk menjadi 'tanda' bagi kasih sayang Tuhan bagi alam semesta (lihat Alquran surah Al Anbiyaa ayat 107), syariah yang dibawanya pun mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Mengukur Kesejahteraan
Kamus Wikipedia menyatakan, sejahtera adalah kondisi atau keadaan yang baik di mana manusia dalam keadaan makmur, sehat, dan damai. Welfare (sejahtera) juga berarti well being (healthy, happy, and prosperous). Selama beberapa tahun setelah Perang Dunia II, pengukuran tingkat kesejahteraan manusia mengalami perubahan. Pada 1950-an, sejahtera diukur dari aspek fisik, seperti gizi, tinggi dan berat badan, harapan hidup, serta income. Pada 1980-an, ada perubahan di mana sejahtera diukur dari income, tenaga kerja, dan hak-hak sipil. Pada 1990-an, Mahbub Ul-Haq, sarjana keturunan Pakistan, merumuskan ukuran kesejahteraan dengan yang disebut Human Development Index (HDI). Dengan HDI, kesejahteraan tidak lagi ditekankan pada aspek kualitas ekonomi-material saja, tetapi juga pada aspek kualitas sosial suatu masyarakat.

HDI merupakan gabungan dari tiga komponen (subindeks), yaitu: 1. Life Expectancy Index (Indeks Harapan Hidup), 2. Education Index (Indeks Pendidikan) yang diukur dari Enrolment Index (indeks yang mencerminkan tingkat keterdaftaran penduduk di sekolah formal) dan Adult Literacy Index (indeks melek huruf di kalangan penduduk dewasa), dan 3. Per capita GDP at Purchasing Power Parity Index (Indeks Pendapatan Per kapita yang disesuaikan dengan paritas daya beli), yang dengan singkat disebut GDP Index. Ketiga sub indeks itu masing-masing mengambil porsi sepertiga di dalam menetapkan HDI.

HDI setiap tahun diukur dan dipublikasikan oleh United Nation Development Program (UNDP). Pada November 2008, UNDP memublikasikan ranking HDI tahun 2006 atas 179 negara. Dalam analisis ini, yang saya maksud dengan negara Muslim adalah negara dengan populasi Muslim 60 persen atau lebih dari total populasi penduduk negara itu. Dari 30 negara dengan HDI tertinggi diperoleh fakta-fakta terkait dengan dunia Muslim sebagai berikut:

Hanya ada dua negara Muslim, yaitu Brunei Darussalam (ranking 27) dan Kuwait (ranking 29), yang masuk di dalam jajaran 30 negara dengan HDI tertinggi. Dua negara tersebut memiliki HDI tinggi karena ditopang oleh GDP Index. Tanpa harus kita buktikan, tingginya GDP Index kedua negara tersebut adalah karena tingginya pendapatan dari kekayaan alam yang tidak terbarukan (minyak dan gas).

Sebaliknya, negara-negara Eropa dan Asia yang mendominasi urutan 30 negara dengan HDI tertinggi itu adalah umumnya negara-negara yang unggul di pengembangan teknologi (knowledge-based economy). Padahal, negara-negara tersebut tidak memiliki sumber daya alam yang dapat diunggulkan. Sekadar informasi tambahan, apabila kita susun 30 negara dengan Education Index tertinggi, kita tidak menemukan satu pun di antaranya yang merupakan negara Muslim.

Penduduk kedua negara Muslim itu hanya tidak lebih dari 2,77 juta jiwa, yaitu Brunei Darussalam 343.653 jiwa dan Kuwait 2.418.393 jiwa. Total penduduk kedua negara itu mewakili hanya 0,3 persen dari total penduduk negara di jajaran 30 negara dengan HDI tertinggi, yang jumlahnya mencapai kira-kira 913 juta jiwa, atau hanya 0,15 persen dari total Muslim dunia (appr. 1,5 miliar jiwa), dan 0,04 persen dari total penduduk dunia (appr. 6,3 miliar jiwa).

Sebagai negara dengan populasi yang sangat besar, ekonomi Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik negara-negara Muslim di Timur Tengah. Fokus peningkatan GDP per kapita dan pendidikan di Indonesia harus dilakukan dengan memberdayakan sektor-sektor yang memiliki banyak pelaku (the bottom of the pyramid, meminjam istilah Prahalad). Yaitu, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya mencapai hampir 50 juta unit dan menyerap hampir 92 juta tenaga kerja. Dengan menempatkan UMKM dalam prioritas utama pembangunan ekonomi Indonesia, sesungguhnya kita juga sedang melaksanakan pesan Islam: Hendaknya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. [QS Al-Hasyr (59): 7].