Oleh Syafii Maarif
Jika dalam Resonansi ini saya hanya menyebutkan Muhammadiyah dan NU, tidak berarti bahwa gerakan-gerakan Islam yang lain di Indonesia tidak penting. Mereka penting, tetapi karena alasan peta sosiologis, publik menyebutkan bahwa NU dan Muhammadiyah dinilai mewakili arus besar Islam Indonesia. Itulah sebabnya saya mengajukan empat pertanyaan kunci yang kritikal kepada keduanya di sisi apresiasi saya yang tinggi kepada kinerja mereka selama ini. Tetapi, pada ranah pemikiran keislaman kreatif yang tengah berkembang sekarang ini, saya punya beberapa catatan untuk Muhammadiyah dan NU.
Pertanyaan pertama, apakah Muhammadiyah dan NU sudah yakin bahwa doktrin nonmazhab atau aswaja (ahlussunnah waljama'ah) yang dipegang selama ini sudah cukup memadai untuk dijadikan pegangan dan acuan menuju terciptanya persaudaraan antarumat dan kemanusiaan universal? Saya sendiri masih ragu. Cobalah buka semua dokumen baku kedua sayap utama itu, apakah kita tidak berpikir, khususnya untuk Indonesia, untuk menggelindingkan wawasan keislaman pasca-Muhammadiyah dan pasca-NU? Ini tidak bermakna bahwa keduanya harus ditinggalkan atau diganti, tetapi wawasan mereka tidak boleh lagi berkutat dalam radius sempit yang selama ini dijadikan acuan dalam bergerak. Muhammadiyah dan NU hanyalah alat untuk mencapai tujuan Islam, bukan?
Jika alat sudah kehilangan darah segar dalam bentuk gagasan Islam yang dinamis dan kreatif untuk memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan global, apakah alat itu tidak perlu mendapat suntikan darah baru yang segar sehingga tetap tanggap dan percaya diri untuk menawarkan solusi terhadap tantangan yang datang silih berganti, apakah itu di bidang ilmu, sosial, ekonomi, politik, dan moral? Tenggelam dalam khazanah klasik, sekalipun kaya, tetapi gagal berurusan dengan masalah kekinian, adalah pertanda bahwa keislaman kita bukan lagi sebuah keislaman yang hidup dan menghidupkan. Dengan kata lain, kita gagal menawarkan sebuah alternatif bagi peradaban modern yang telah hampir kehilangan stamina spiritual yang kini terasa sangat diperlukan.
Semua hasil pemikiran manusia, termasuk tafsiran terhadap teks suci, pasti terikat dengan ruang dan waktu. Betapa pun, kita punya masa lampau yang dahsyat dalam bidang keilmuan dan peradaban, pemilik aslinya bukan kita, tetapi adalah mereka yang menciptakan. Oleh sebab itu, bagi saya, kelampauan bukan untuk diberhalakan, tetapi untuk dikritik sehingga kita yang datang belakangan harus punya tekad untuk melebihi mereka, baik dalam kualitas maupun dalam kuantitas hasil karya. Inilah yang disebut maju dalam menalar. Tanpa keberanian untuk berpikir semacam itu, saya khawatir umat Islam akan sulit sekali bangkit meninggalkan buritan peradaban yang telah menyesakkan napas kita sekian ratus tahun.
Pertanyaan kedua, apakah energi yang telah dikerahkan Muhammadiyah dan NU selama sekian puluh tahun sudah membuahkan hasil optimal, seperti yang dituntut oleh AD (Anggaran Dasar) mereka masing-masing? Atau, malah AD ini jarang dibaca, seakan-akan telah menjadi benda museum.
Sebagai seorang yang terlibat dalam pusaran pergerakan Islam selama puluhan tahun, saya menjadi semakin risau karena memantau energi kedua kekuatan itu telah banyak terbuang secara sia-sia dan tidak jarang dihabiskan untuk kepentingan politik kekuasaan yang penuh gesekan dan memicu perpecahan. Dalam kaitan inilah saya sungguh berharap agar sebagian intelektual berbakat dari kedua sayap umat ini akan lebih piawai mengatur hidup dan kariernya, demi meraih sesuatu yang lebih bermakna, lebih abadi, di mana saya hampir tidak berdaya untuk itu.
Saya mengamati dengan cermat bahwa generasi muda pemikir yang lahir dari rahim NU dan Muhammadiyah sungguh sangat menggembirakan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Adapun kadang-kadang dicurigai oleh kalangan yang lebih senior, tidak perlu terlalu ditanggapi yang dapat mengundang frustrasi. Yang perlu dijaga adalah agar kesenjangan pemikiran itu tidak memicu munculnya badai perpecahan. Toh pada saatnya, generasi muda itulah yang akan tampil menggantikan bapak-bapak mereka yang semakin uzur, seperti saya ini.
Rabu, 18 Februari 2009
Empat Pertanyaan untuk Muhammadiyah dan NU (1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar