Rabu, 18 Februari 2009

Gaza dan Frangmentasi Arab



Oleh: Azyumardi Azra


Jika ada wilayah di muka bumi ini yang tak pernah kunjung reda dilanda konflik dan peperangan dalam waktu lebih dari satu abad terakhir, itu tidak lain adalah Timur Tengah. Konflik dan perang terakhir tentu saja terjadi di wilayah Gaza yang secara membabi buta menjadi sasaran kebrutalan Israel selama tiga pekan.

Meski Israel secara sepihak menyatakan menghentikan agresinya, jelas konflik dan perang tetap menggantung di langit Timur Tengah, khususnya di antara Palestina dan Israel. Penghentian agresi dan gencatan senjata selama ini hanyalah menjadi kesempatan jeda untuk kembali memperkuat posisi kedua belah pihak.

Agresi Israel yang tidak bisa dihentikan PBB, dunia Arab, dan kalangan internasional lainnya secara sempurna menunjukkan kompleksitas konflik dan pertarungan yang terjadi pada berbagai level, yang memang sama sekali tidak mudah diselesaikan. Berbagai kepentingan kelompok dan negara terlibat sehingga menciptakan benang kusut yang sulit diurai.

Pada tingkat pertama adalah perpecahan dan konflik yang tidak bisa terselesaikan dalam tubuh bangsa Palestina sendiri--antara Hamas pada satu pihak dan al-Fatah pada pihak lain. Pascaagresi Israel, pembelahan dan konflik antara Hamas dan al-Fatah hampir bisa dipastikan kian sulit terjembatani. Pada satu pihak, Hamas merasakan bahwa al-Fatah, di lubuk hati mereka yang paling dalam, seolah mendapatkan 'berkah terselubung' dengan upaya penghancuran Hamas oleh Israel yang tidak sanggup dia lakukan sendiri.

'Kehancuran' Hamas jelas memberikan peluang bagi al-Fatah untuk mengambil alih kembali kekuasaan atas Gaza yang dikuasai Hamas usai Pemilu Legislatif Palestina pada Januari 2006. Tetapi, jelas juga bahwa Hamas tidaklah hancur pascaagresi Israel dan Hamas pastilah tidak menyerah begitu saja kepada al-Fatah yang berusaha membangkitkan kembali dominasi dan hegemoninya di Gaza atas nama perjuangan bangsa Palestina.

Perpecahan dan konflik dalam tubuh bangsa Palestina tersebut barulah setengah cerita. Setengah lainnya adalah kisah tentang perpecahan dan rivalitas di antara negara-negara Arab dalam merespons agresi Israel. Negara-negara Arab pada dasarnya tidak dapat melakukan langkah-langkah serius menyelamatkan warga Palestina di Gaza. Meskipun para pemimpin negara-negara Arab pada berbagai tingkatan pemerintahan terlihat sibuk melakukan berbagai sidang darurat, hasilnya jauh dari menunjukkan keseriusan untuk memberikan tekanan kepada Israel agar menghentikan agresinya.

Misalnya, tidak ada di antara negara-negara Arab yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, khususnya Mesir dan Yordania, yang mengambil langkah drastis dengan memutuskan atau setidaknya membekukan hubungan diplomatik mereka dengan Tel Aviv. Justru, pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel dilakukan Venezuela dan Bolivia, dua negara di Amerika Latin.

Mengapa negara-negara Arab enggan melakukan tekanan kepada Israel dan sebaliknya lebih serius menyelamatkan warga Palestina di Jalur Gaza. Alasannya terkait pada dua hal. Pertama, kepentingan politik dalam negeri mereka. Kedua, ketergantungan mereka pada Amerika Serikat. Bagi banyak rezim di dunia Arab, Hamas dengan ideologi Islamis-nya yang militan sangat membahayakan kelangsungan status quo kekuasaan mereka. Membela apalagi menyelamatkan Hamas dalam pandangan mereka adalah seperti 'membesarkan anak harimau', yang akhirnya dapat menerkam mereka.

Pada segi lain, banyak negara Arab yang tergantung, baik secara ekonomi atau militer, pada Amerika. Ada negara-negara Arab yang tidak punya minyak yang menjadi penerima bantuan ekonomi dari AS dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, berbeda dengan bantuan AS kepada Israel. Sebaliknya, negara-negara Arab yang kaya minyak banyak tergantung pada AS dalam hal pertahanan untuk menghadapi negara-negara Timur Tengah lainnya yang dipandang merupakan ancaman jika dulu Irak, sekarang Iran. Bagi negara-negara Arab ini, kepentingan nasional di atas segala-galanya. Mereka tentu saja tidak mau mengorbankan kepentingan nasional masing-masing dalam kaitan dengan AS dan menekan Israel.

Dari beberapa segi ini, terlihat perdamaian di Timur Tengah, khususnya di Palestina, masih jauh dari jangkauan. Tetapi, jelas bukan tanpa harapan sama sekali. Dan, harapan itu banyak tergantung pula pada AS di bawah kepemimpinan Presiden Obama. Kita tentu saja tidak dapat terlalu optimis Obama dapat menyelesaikan konflik di Palestina secara damai, tetapi setidaknya masyarakat dunia menunggu kiprah presiden baru AS ini untuk mendorong terciptanya perdamaian di kawasan tersebut.

Tidak ada komentar: