Oleh: Dody Riyadi HS
(Dosen Sosiologi STAI Binamadani Tangerang)
Sidang Ijtima Ulama Fatwa III di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada 24-26 Januari 2009, melahirkan polemik tak berkesudahan. Energi dihabiskan untuk mempermasalahkan lima hal yang lebih dialamatkan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai komunitas terorganisasi ahli agama ketimbang kepada fatwa yang ditetapkannya. Pertama, otonomi institusi. Karena terbentuk oleh otoriterisme Orde Baru pada 1975, otonomi MUI hingga 11 tahun reformasi, tetap diragukan.
Dana operasional dari pemerintah dan biaya proses sertifikasi dari pemesan fatwa dipersepsi masyarakat bernilai politis dan ekonomi.Kedua, status organisasi. Kepengurusan MUI didominasi elite Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Karena itu, status MUI sebagai poros tengah kedua ormas terbesar yang berpusat di Pulau Jawa itu tidak memiliki basis massa secara langsung. Fatwa MUI merupakan kinerja lembaga kajian keagamaan, tidak mengikat secara sosiokultural warga kedua organisasi itu. Dalam masalah keharaman golongan putih dan khususnya rokok, bukan dukungan implementasi yang diberikan NU dan Muhammadiyah, melainkan justru kontroversi.
Ketiga, kapasitas intelektual. Dalam konsepsi mayoritas masyarakat, MUI diartikan sebagai komunitas pakar dalam agama Islam atau ulama fikih. Gelar KH adalah fakta konsepsi itu. Kendati di dalam MUI terdapat tokoh atau pakar dalam beragam bidang ilmu, tetapi masyarakat melihat ulama fikih dominan dalam struktur organisasi. Karena itu, tema yang begitu luas semisal bunga bank konvensional, Hak Atas Kekayaan Intelektual, sekularisme, pluralisme, liberalisme agama, yoga, rokok, dan golput dianggap di luar kapasitas keilmuan MUI.
Keempat, target parsial. Dalam masalah rokok, hukum haramnya dibatasi hanya untuk wanita hamil, anak-anak, di tempat umum dan internal MUI. Akomodasi atas kecanduan umat pada rokok dan ketergantungan pemerintah serta warga Jatim dan Jateng pada rantai ekonomi rokok membuat MUI dinilai tidak konsisten. Kelima, substansi fatwa. Sifat fatwa hanyalah moral, tidak mengikat umat secara legal. Posisi fatwa sebatas respons intelektual atas persoalan krusial masyarakat sekaligus rekomendasi institusional untuk lembaga sosial, politik, dan ekonomi.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi dengan ulama? Mengapa umat tak taat kepada ulama? Apa sebenarnya definisi dan kriteria ulama? Sebagai pewaris para nabi (al-ulama waratsat al-anbiya), para ulama dituntut punya peran sosioreligius atas pelbagai problem kehidupan. Tidak taatnya umat kepada ulama mengindikasikan tidak paralelnya konsepsi masyarakat dan realitas ulama kini dengan teladan para nabi, khususnya Nabi Muhammad dan para ulama klasik.
Uswah para nabi
Para nabi tidak diutus tanpa rekam jejak. Pertama, lahir di tengah masyarakat yang kemudian menjadi audiens dakwah. Yusuf dan Ismail bukan penduduk asli Mesir dan Mekah, tetapi lama tinggal dan konsisten menunjukkan integritas moral (shidq). Kedua, berani, jujur, dan bertanggung jawab menyerukan kebenaran kepada penguasa otoriter agama, politik, dan ekonomi, sekalipun kepada keluarga sendiri (tabligh). Ibrahim kepada Namrud dan Azar serta Musa kepada Firaun dan Qarun menegaskan hal itu. Ketiga, strategi intelektual (fathanah) berperan dominan dalam menghadapi super power. Ibrahim terhadap Namrud dan Firaun, Daud terhadap Jalut, Sulaiman terhadap Bilqis membuktikan itu.
Kekuasaan para nabi, baik politik, ekonomi, maupun intelektual, adalah kekuasaan bermaslahat. Mereka tak menggunakan kekuasaan untuk memberdayakan diri sendiri, keluarga, atau kolega (manah). Para nabi menghidupi diri dan keluarga secara mandiri, tak bergantung pada umat atau pada kekuasaan yanga mereka pegang. Daud, Sulaiman, dan Yusuf menjadikan kekuasaan politik, ekonomi, dan intelektual sebagai fasilitas publik untuk memulihkan hak politik rakyat, mereformasi birokrasi dari pejabat korup, dan menyejahterakan rakyat melalui swasembada pangan.
Para nabi penguasa politik tak tinggal diam di singgasana menunggu laporan bawahan. Mereka berkomunikasi secara langsung, mendengar dan membahas masalah bersama masyarakat. Sulaiman terbiasa berdialog dan Yusuf berpartisipasi mendistribusikan pangan. Kesadaran kapasitas diri dan rendah hati amat menonjol dalam memecahkan permasalahan atau dalam menghadapi kekuasaan. Harun diminta Musa menjadi juru bicara kenabian karena kompetensi komunikasinya. Bahkan, seekor Hudhud dijadikan Sulaiman sebagai pengamat kekuasaan Bilqis.
Nabi Muhammad, uswah terbesar Islam, telah menunjukkan integritas sosial, moral, dan intelektual, jauh sebelum kenabiannya. Kejujuran berdagang, keaktifan berorganisasi, seperti pada Hilf al-Fudhul dan kebijaksanaan mendamaikan konflik Hajar Aswad hanya sebagian kecil track record Al-Amin yang tanpa polemik diamanahkan kepadanya. Kualitas sosioreligius Al-Amin membuat wahyu Allah pada hakikatnya tidak diragukan kelas sosial mana pun, termasuk elite Quraisy. Kekuasaan sosial, agama, ekonomi, dan politik menutupi iman Quraisy kepadanya.
Ulama dalam Alquran
Ulama, secara spiritual, adalah orang yang takut kepada Allah. Secara intelektual, ulama adalah orang yang memahami secara mendalam pengetahuan agama Islam. Ulama dengan kapasitas demikian mendominasi masyarakat. Mereka menguasai masjid, lembaga pendidikan, organisasi sosial dan keagamaan, bahkan partai politik. Apakah realitas itu paralel dengan konsep ideal ulama dalam Alquran? Surah Faathir ayat 27-28 menggambarkan secara jelas siapa yang disebut ulama, apa objek ulama, dan bagaimana ulama melihat objek itu.
''Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka jenisnya. Dan, di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka warnanya dan ada pula yang hitam pekat. Dan, demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warna dan jenisnya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.''
Terhadap alam, seorang alim tak seperti kebanyakan orang yang melihatnya dengan penglihatan biasa. Seorang alim memanfaatkan penglihatan mendalam untuk secara objektif mendapatkan informasi, data, dan bukti atau fakta sejelas-jelasnya suatu fenomena. Kata alim yang seakar dengan kata alam berarti mengetahui sesuatu secara jelas (Shihab, 1996). Seorang alim atau yang oleh masyarakat disebut orang berilmu, pertama, orang yang mengetahui secara jelas atau mendalam alam ciptaan Allah melalui metode ilmiah, kedua, kebalikannya, orang yang menggunakan metode ilmiah untuk mengetahui secara jelas atau mendalam alam ciptaan Allah.
Penglihatan mendalam identik dengan pengamatan atau observasi. Dalam Surah Faathir disebut tara, dari kata ra'a-yara yang konteksnya adalah alam raya yang realistis: langit (al-sama), hujan atau air (ma), buah-buahan (al-tsamarat), gunung (al-jibal), manusia (an-nas), binatang melata (al-dawwab), binatang ternak (al-an'am). Alim adalah orang berilmu tentang satu atau beberapa fenomena alam (natural scientist) dan fenomena sosial (social and behavioral scientist). Dan, dengan ilmunya itu ia kagum kepada ciptaan-Nya sekaligus takut (khasyyah) kepada ketidaksempurnaan takwanya. Belum disebut alim, ilmuan, saintis, pakar, intelektual, cendekiawan, tanpa takwa. Belum sebenar takwa bila takut kepada Allah tanpa ilmu.
Dalam sejarah keilmuan Islam, ulama ternyata tidak hanya berarti hamba-hamba Allah yang berilmu sekaligus bertakwa. Tetapi, ulama juga bermakna mempunyai ragam ilmu yang dikuasai seorang alim. Misalnya, Imam Al-Ghazali (1058-1111) yang masyhur karena kitab-kitab yang ditulisnya. Tiga kitabnya, sebagai contoh, Ihya Ulum al-Din, al-Munqidz min al-Dhalal, dan Tahafut al-Falasifah membuktikan kealimannya dalam fikih sama alimnya dalam kalam, filsafat, dan tasawuf. Ibnu Rusyd (1126-1197) yang masyhur karena Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid tak hanya alim dalam fikih, tapi juga alim dalam kedokteran dan filsafat.
Makin banyak peng-alam-an dan beragam ilmu seorang alim kian fenomenal ke-ulama-annya. Ke mana pun Ibnu Khaldun (1332-1406) pergi untuk tujuan politik, agama, atau ilmu, para penguasa dan ulama menawarkan jabatan politik, agama, dan ilmu sebagai diplomat, hakim, atau profesor. Muqaddimah yang membuktikan klaim Ibnu Khaldun sebagai pencipta ilmu sejarah tak hanya menjadi kebanggaan umat Islam, tetapi teori-teori sosial (ekonomi, sosiologi, politik) dalam kitab itu diakui orisinalitas dan kontribusinya oleh ilmuwan Barat hingga kini.
Siapa pun ulama klasik yang disebut, yang pasti adalah, pertama, kealiman terhadap Alquran dan sunah Nabi mengawali keulamaan mereka dalam begitu banyak ilmu. Kedua, ketakwaan dan kealiman mereka dalam agama sekaligus alim dalam natural (al-sama, ma, al-tsamarat, al-jibal, al-dawwab, al-an'am) dan sosial humaniora (an-nas) sebagaimana secara implisit diklasifikasi Surah Faathir, menempatkan derajat umat Islam jauh lebih mulia di antara umat-umat lain. Apakah ulama dalam organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, lembaga pendidikan, politik, dan pemerintahan, pertama, mengamalkan shidq, tabligh, fathanah, dan amanah para nabi dalam politik, ekonomi, dan intelektual. Kedua, alim dalam agama sekaligus alim dalam natural dan sosial humaniora?
Jumat, 27 Februari 2009
Meredefinisi Ulama
Fatwa Rokok Haram
membuat MUI kali ini tak bisa tegas
menyatakan merokok itu haram.
|
VIVAnews - Lagi-lagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat kejutan. Setelah melarang yoga, MUI lagi-lagi buat fatwa. Tapi kali ini giliran rokok yang diharamkan. Fatwa itu dikeluarkan Senin, 26 Januari 2008, dalam rapat Ijtima MUI di Padang, Sumatera Barat.
Pro kontra soal rokok memang bukan perkara baru. Di setiap negeri, ulah perokok memang sudah seperti musuh. Lihat saja setiap bungkus rokok. Di kotak itu secara menyolok mata selalu tertera peringatan merokok dapat membahayakan kesehatan.
Tapi tak selamanya rokok dibenci. Menurut penelitian LDFEUI, pada tahun 2005 saja terdapat lebih 37 juta rumah tangga yang menghabiskan Rp 113.000 untuk rokok setiap bulannya. Dengan demikian, Rp 4,1 triliun setiap bulannya dibakar sia-sia. Setahun, jumlah uang yang dibakar mencapai hampir Rp 50 triliun!
Karenanya, bisnis candu ini tak pernah goyang dalam krisis. Lihat saja daftar 10 orang terkaya 2009 versi Majalah Forbes terbaru. Lima dari 10 orang terkaya Indonesia datang dari usaha bisnis candu asap ini. Nama Djarum, Gudang Garam dan Sampoerna adalah jaminan pengantrol kekayaan di negeri ini.
Inilah sebabnya rokok menjadi salah satu penghasil pajak nomer wahid. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), misalnya, besarannya setiap tahun selalu naik. Pada 2009, DBH CHT berjumlah 960 miliar rupiah. Jumlah itu meningkat sekitar 160 miliar rupiah dibanding 2008. Tak heran jika DPR gemas ingin menaikkan cukai hingga 100 persen.
Pabrik rokok juga mencatat sebagai pembayar cukai terbesar. Tahun 2007 misalnya, PT HM Sampoerna Tbk memproduksi rokok 66,6 miliar batang. Perusahaan yang menguasai 28 persen pangsa pasar rokok di Indonesia itu membayar cukai rokok sampai Rp 17 triliun.
Tapi bagaimana pendapatan daerah? Kota Kediri, markas PT Gudang Garam dan PT Sampoerna, kabarnya tak mendapat banyak dari derasnya cukai rokok yang dibayarkan. Padahal pada tahun 2008 saja, kontribusi pemasukan cukai rokok dari kedua raksasa rokok kota Kediri itu mencapai Rp 13,72 triliun. Rata-rata setiap bulan pemasukan dari pita cukai rokok kota itu sebesar Rp 300 miliar.
Namun dari penjualan cukai rokok, kota Kediri menerima Pendapatan Asli Daerah cuma Rp 1,63 miliar. Itu yang didapat dari pajak bumi bangunan (PBB) kedua perusahaan rokok tersebut, karena cukai rokok langsung dilipat pemerintah pusat.
Barangkali inilah buah simalakama bernama rokok. Dihisap merongrong kesehatan, dilarang sama sekali juga beresiko mencederai pendapatan negara. Ini barangkali sebabnya MUI kali ini terkesan setengah hati.
Belum apa-apa MUI mengaku merasa didesak untuk mengeluarkan fatwa. Belum lagi tentangan dari dalam MUI sendiri, seperti ditunjukkan penolakan Ketua MUI Kudus baru-baru ini. Saat datang ke Jakarta, Ketua MUI Kudus menyatakan tak setuju merokok diharamkan. Sebab, ada 700 ribu jiwa warga Kudus tergantung pada industri rokok. Belum lagi 120 ribu pekerja di pabrik rokok Kudus.
Tak mengherankan, fatwa MUI yang akan dikeluarkan kali ini pun bukan fatwa keras seperti merokok itu haram. Namun sebatas larangan merokok di area publik.
Maka, pro-kontra merokok pun agaknya belum akan berakhir. Bahkan, di tubuh MUI.
Edy Haryadi adalah wartawan VIVAnews
Prof. Sayyid Yaser Khomeini
|
VIVAnews - Revolusi Islam Imam Khomeini berperan besar dalam kehidupan kontemporer saat ini. Terutama, terhadap materialisme yang sempat mendominasi dan melakukan pemaksaan penerimaan suatu pemikiran. Pada saat itulah Imam mengajak masyarakat untuk bangkit berdasarkan pandangan agama untuk menghadapi dunia.
Memang, setiap ilmu memiliki metode tersendiri. Pentingnya metodologi menjadikan bidang ini menjadi sebuah mata kuliah, termasuk Islam yang memiliki metodologi sendiri.
Di masa lampau, terdapat metodologi terhadap pemahaman satu agama. Sebagian pihak meyakini bahwa sejarah suatu agama mencakup semuanya sehingga agama dapat memiliki fungsi dalam kehidupan. Sebagian yang lain, melihat metodologi dari ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran untuk melihat Islam itu sendiri.
Sebagian pihak mengenal Islam dari sudut pandang fiqih dan melihat bahwa Islam memiliki larangan, perintah dan pengambaran Tuhan. Dan itulah agama secara keseluruhan. Bagi kelompok lain yang ingin mengenal Islam, pendekatan filsafat digunakan sebagai cara. Pintu tasawuf juga digunakan oleh kelompok lain untuk mengenal dan mengetahui apa itu islam.
Puluhan tahun terakhir, ada kelompok lain yang menggunakan ilmu sebagai bukti bahwa agama memang dapat dijelaskan melalui ilmu tersebut. Metodologi yang telah disebutkan di atas, dapat menjelaskan hakikat sebuah agama.
Ini penting agar tidak menjadi hal yang menyesatkan. Imam Khomeini menyatakan bahwa banyak ulama yang ahli tidak memiliki hak untuk mengatakan bahwa agama sama dengan fiqih atau sebaliknya.
Begitu juga dalam buku lain yang mengenai tasawuf, Imam keberatan dengan para ulama yang mementingkan akhirat saja tanpa melihat kepentingan dunia. Sehingga setiap ayat dimaknai hanya untuk kepentingan akhirat saja. Dengan ilmunya, Imam memliki penjelasan yang lebih komprehensif.
Dalam tafsir, di awal revolusi Imam memiliki tafsir seperti surat Al-Fatihah yang diminati banyak orang. Dalam bidang filsafat, banyak yang menganggap ia anti terhadap filsafat, tapi Imam khomeini tetap maju.
Imam Khomeini juga memiliki kedekatan dengan bidang siar. Saat menyampaikan surat terhadap pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, Imam menganjurkan Gorbachev untuk mengenal Islam.
Bagi Imam Khomeini, berbagai aturan dan masalah adalah cara untuk mendidik manusia menjadi makhluk Ilahi. Menjalani kehidupan ini harus mengikuti ajaran yang ada di agama dalam berbagai aspek. Begitu juga untuk membentuk masyarakat ilahi.
Dan pada hari-hari seperti inilah Revolusi Islam mencapai kemenangannya.
Oleh karena itu, perkenankan saya mengutarakan empat poin penting pandangan Imam Khomeini:
Pertama, Imam anti pada kezaliman. Besarnya rasa itu membuat beliau senantiasa memerangi kezaliman tersebut. Imam juga menentang imperialisme juga saat orang-orang mengharapkan bantuan dari Barat ataupun Timur, sehingga ‘tidak Barat dan tidak Timur’ menjadi semboyannya.
Kedua, menjadikan orientasi gerakannya pada misi kerakyatan. Kepemimpinannya disebut dengan gerakan pragmatis, tidak meminta aspirasi dari rakyat. Begitu dia memimpin, ada referendum.
Ketiga, menghargai kedudukan wanita. Saat para ulama menganggap suara wanita adalah aurat bagi laki-laki, Imam mengajak para wanita untuk ikut berdemonstrasi dan menyampaikan suaranya. Imam juga memberi hak wanita untuk memilih dalam pemilu dan berkesempatan untuk memimpin.
Keempat, pandangan terhadap persatuan kaum muslimin. Bukan pandangan strategis dan taktik semata, namun benar-benar sebuah pandangan yang ingin dicapai.
Disarikan dari pidato Prof. Sayyid Yaser Khomeini, seorang cendekiawan, merupakan salah satu cucu mendiang pemimpin Revolusi Islam dan pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Khomeini. Ceramah ini disampaikan dalam Seminar Internasional bertema “Religion in the Contemporary World” di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, 5 Februari 2009.
Pluralisme Agama dan "Kebaikan Bersama"
Benyamin F Intan
Pluralisme adalah kenyataan sekaligus persoalan. Bagaimana caranya keberagaman agama membawa kemaslahatan dan bukan menjadi persoalan bangsa?
Pertanyaan itu ditujukan kepada saya saat menjadi narasumber diskusi CSIS, merayakan HUT ke-75 Harry Tjan Silalahi (13/2/2009).
Pertanyaan itu juga relevan, mengingat kebebasan beragama di Tanah Air kian tidak kondusif. Dalam refleksi awal 2009, ”Merajut Ulang Keiindonesiaan”, Syafii Anwar dari ICIP melaporkan, angka kekerasan kebebasan berkeyakinan tahun 2008 naik 100 persen menjadi 360 pelanggaran.
SETARA Institute mencatat, dari 367 pelanggaran kebebasan beragama tahun 2008, 88 adalah tindak kriminal warga dan 91 berupa intoleransi individu. Penghargaan terhadap realitas pluralisme menipis. Hal ini patut disesalkan, mengingat pluralisme suatu keniscayaan menghadirkan negara demokratis.
Salah kaprah
Penolakan terhadap pluralisme agama sering disebabkan kesalahpahaman atas konsep pluralisme. Pluralisme dipahami seolah sama dengan relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola pikir pluralisme indiferen ini tidak menghargai keunikan beragama. Aspek keagamaan hakiki seperti kepercayaan religius yang membedakan agama satu dari yang lain tidak diperlakukan secara wajar. Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Melaluinya, agama-agama dinisbikan, mengarah pada sinkretisme agama.
Beda dari indiferen, pluralisme nonindiferen mengakui dan menghargai keberagaman agama. Pola pikir ini menganggap serius aneka perbedaan antaragama. Paradigma ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lain.
Seorang pluralis tidak harus menganut pluralisme indiferen. Penganut pluralisme indiferen pasti pluralis, tetapi pluralis belum tentu penganut pluralisme indiferen. Sebaliknya, menolak pluralisme indiferen tidak harus dicap antipluralis. Sejauh menganut pluralisme nonindiferen, orang itu pluralis. Namun, jika pluralisme nonindiferen ini pun ditolak, orang itu antipluralis.
Komunitas merdeka
Umum mengetahui, penolakan pluralisme nonindiferen, ketidaksanggupan menerima kehadiran ”yang lain”, menjadi pemicu utama konflik agama. Di sini masalah keberagaman diselesaikan dengan ”hukum rimba” melalui prinsip live and let die. Perbedaan dihilangkan dengan membidik hak hidup ”yang lain”, yang lemah dipaksa menuruti kehendak yang kuat.
Kebebasan menjadi barang mahal, terenggut arogansi dan dominasi pihak kuat. Dalam kondisi itu, ”komunitas merdeka” (community of freedom) menjadi prasyarat hadirnya pluralisme agama. Paradigma komunitas merdeka menjamin kebebasan agama pertama-tama dalam bentuk ”imunitas negatif” (negative immunity), di mana agama hidup damai melalui sikap live and let live (David Hollenbach, The Global Face of Public Faith, 142).
Dalam pola demikian, perbedaan diterima dengan terpaksa. Ada toleransi, tetapi amat minim. Penerimaan satu sama lain belum sepenuh hati, genuinitasnya diragukan. Ada hidup bersama, tetapi tak ada kebersamaan. Ada sapaan, tapi tak ada interaksi.
Sikap hidup seperti ini tidak cukup. Hidup bersama bukan hanya sosial dan praktis, tetapi juga harus secara ”teologis”. Toleransi bukan sekadar menerima kebera- gaman, tetapi bagaimana agar keberagaman membawa manfaat.
Dengan demikian, komunitas merdeka juga harus mencakup ”imunitas positif” (positive immunity), di mana agama bebas memengaruhi kehidupan publik dengan nilai-nilai universal yang diyakini (David Hollenbach, The Global Face of Public Faith, 143).
”Kebaikan bersama”
Peran publik agama harus dilakukan bersama dalam dialog membentuk ”kebaikan bersama” (common good). Dari tiap kelompok agama diperlukan ”kebajikan agung” (very great virtues), mencakup semangat kerja sama (spirit of cooperation), adil (fair-mindedness), kebernalaran (reasonableness), dan toleransi (John Rawls, Overlapping Consensus, 17). Selain itu, dibutuhkan good will memaslahatkan bangsa.
Konsepsi ”kebaikan bersama” yang dihasilkan bukan pendapat mayoritas atau sekadar titik temu argumentasi populer. ”Kebaikan bersama” dicapai saat ”doktrin solid” (doctrine solidifies) dan ada konsensus (John Courtney Murray, We Hold These Truths, 105). Itu berarti ”kebaikan bersama” bukan ”jumlah keseluruhan” (the sum), tetapi ”kesatuan” (the unity) dari partial goods. Meski kesatuan dari partial goods, ”kebaikan bersama” harus berjiwa pluralis (pluralist in structure) (John Courtney Murray, The Problem of State Religion, 158).
Artinya, ”kebaikan bersama” harus menjiwai spirit Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. ”Kebaikan bersama” berbeda dari partial good tiap kelompok agama, tetapi tidak boleh bertentangan dengan kepercayaan dan ajaran tiap kelompok. Syarat minimal ”kebaikan bersama”. Karena itu, menurut Franz Magnis-Suseno, harus bisa dijamin hak-hak kelompok minoritas.
Singkatnya, melalui prinsip ”kebaikan bersama”, jauh dari petaka bangsa, kehadiran pluralisme agama justru menjadi agen memaslahatkan bangsa.
Benyamin F Intan Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society
Senin, 23 Februari 2009
Arab Saudi
EPA/WAEL HAMZEH Warga Lebanon yang melakukan protes di Beirut, Lebanon, 14 Februari lalu, saat memperingati empat tahun pembunuhan mantan PM Rafik Hariri tidak hanya membawa poster raksasa Hariri (kiri), tetapi juga poster Raja Abdullah Bin Abdul Aziz dari Arab Saudi. Raja Abdullah disanjung luas di Lebanon karena merupakan "Pria terhormat, Pelindung Nasionalisme Arab dan Islam". |
Musthafa Abdul Rahman
Keputusan Raja Arab Saudi Abdullah Bin Abdul Aziz menunjuk seorang perempuan, Noura Al Faez, sebagai deputi menteri pendidikan urusan perempuan, Sabtu (14/2), memberi pesan bahwa roda reformasi di negara itu berjalan sesuai dengan rencana yang telah digariskan.
Penunjukan tersebut mengantarkan Noura Al Faez sebagai perempuan pertama yang menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan di negara yang dikenal sebagai penganut aliran konservatif dan puritan. Hal itu tentu merupakan dobrakan baru dalam tradisi sosial dan politik di Arab Saudi.
Tampilnya Noura Al Faez sesungguhnya bukan kebetulan, tetapi terkait dengan geliat reformasi di Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya, yang bergerak berkat tumbuhnya kaum neoreformis di negara-negara Arab kaya minyak itu sejak awal tahun 1990-an.
Kaum neoreformis terdiri atas kaum intelektual, profesional, pengusaha, dan ulama yang tercerahkan. Sebagian besar dari mereka telah mengenyam pendidikan di AS dan Eropa berkat fasilitas beasiswa yang diberikan pemerintah. Sepulang dari studi di luar negeri, mereka melakukan pendekatan yang persuasif kepada pemerintah agar bersedia melakukan reformasi. Pemerintah Arab Saudi mendengar dan menerima saran dan pandangan mereka karena mereka dianggap kader kerajaan. Mereka itulah yang mampu meluluhkan hati keluarga kerajaan yang berkuasa di Arab Saudi untuk melakukan reformasi di negara itu.
Jadi, geliat reformasi di Arab Saudi bukan karena tuntutan rakyat bawah seperti di banyak negara lain, tetapi lebih merupakan hasil pendekatan kaum cerdik pandai terhadap keluarga kerajaan yang berkuasa.
Sejak awal tahun 1990-an, Arab Saudi menghadapi tuntutan perubahan ke arah yang lebih demokratis dan adanya partisipasi politik dari rakyat.
November 1990, sekelompok pengusaha Arab Saudi bersurat kepada pemerintah. Mereka meminta diakhirinya monopoli fatwa agama oleh sekelompok ulama yang diangkat pemerintah. Mereka juga meminta sistem politik dan pemerintahan dievaluasi, membentuk dewan syura yang mewakili semua wilayah, melakukan pengawasan terhadap eksekutif, memberi otoritas yang lebih besar kepada pemerintah lokal. Mereka menuntut reformasi atas lembaga yudikatif sehingga lebih terjamin efektivitas dan independensinya, persamaan antara warga tanpa memandang turunan, kabilah, mazhab, dan status sosial, serta kebebasan pers, memberi peran yang lebih besar kepada perempuan serta reformasi mendasar atas sistem pendidikan.
Tuntutan reformasi datang dari 453 delegasi pada Mei 1991. Terdiri atas ulama, hakim, dan dosen, mereka memohon Raja Fahd Bin Abdul Aziz agar melakukan reformasi mendasar atas sistem politik di negara itu.
Pada Januari 2003, sebanyak 104 cendekiawan Arab Saudi menghadap putra mahkota saat itu, Pangeran Abdullah Bin Abdul Aziz, menyampaikan piagam pembaruan dengan judul Pandangan Terhadap Tanah Air, Hari Ini dan Mendatang. Dalam piagam tersebut ditulis permintaan kaum cendekiawan agar diterapkan sistem monarki konstitusional di Arab Saudi.
Dalam piagam itu ditegaskan, sistem monarki konstitusional tidak mendepak keluarga raja dari kekuasaan, melainkan ingin menerapkan pola ”sebagai raja, tetapi tidak memerintah”, seperti di Inggris, Jordania tahun 1989, dan Bahrain tahun 2003.
Namun, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi Pangeran Naif Bin Abdul Aziz menolak penerapan sistem monarki konstitusional itu di negaranya.
Faktor-faktor
Munculnya kaum neoreformis di Arab Saudi dan di negara Arab Teluk lainnya disebabkan faktor dalam negeri, regional, serta internasional.
Faktor internal di antaranya karena adanya kebebasan pers, khususnya jaringan internet dan pengaruh televisi satelit, seperti Aljazeera, MBC, ART, Orbit, dan Al Arabiya. Fenomena munculnya forum budaya di berbagai kota di Arab Saudi juga ikut berpengaruh. Dalam forum tersebut, sering digelar dialog yang melibatkan dosen, wartawan, sastrawan, dan pengusaha.
Misalnya, wacana pembaruan dan perubahan di Arab Saudi ditulis di berbagai media serta dibahas dalam forum dialog akademik dan budaya.
Forum dialog paling terkenal di Arab Saudi adalah yang selalu dihadiri Raja Abdullah Bin Abdul Aziz. Forum tersebut diberi nama ”Pusat Raja Abdul Aziz untuk Dialog Nasional” yang didirikan pada 3 Agustus 2003.
Faktor lain adalah berdirinya universitas swasta, baik universitas asing maupun nasional. Universitas swasta itu biasanya memberi mata kuliah yang berbeda dari universitas negeri.
Turut andil pula adalah pengiriman mahasiswa Arab Saudi belajar di berbagai perguruan tinggi di Eropa dan AS. Sepulang dari studi, mereka tidak hanya mengamalkan ilmu di bidangnya, melainkan juga menyerukan pembaruan dan perubahan seperti yang dialami dan dilihat di tempat mereka belajar.
Berdirinya lembaga-lembaga penelitian, seperti Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Riyadh, juga turut berperan.
Adapun faktor regional dan internasional adalah Perang Teluk II tahun 1990 yang menciptakan situasi baru di Arab Saudi dan kawasan Teluk. Perang Teluk II itu memberi dalih yang kuat kepada kelompok elite di kawasan itu untuk menuntut perubahan dan pembaruan.
Dalam konteks internasional, angin demokrasi yang bertiup di Eropa Timur dan Asia sejak awal tahun 1990-an turut berpengaruh kepada Arab Saudi.
Tata internasional saat ini yang memberi perhatian besar kepada isu demokrasi, multipartai, hak asasi manusia, masyarakat madani, dan pemberdayaan kaum wanita memberi dampak positif terhadap Arab Saudi.
Misi reformasi
Misi reformasi di Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk bertumpu pada beberapa hal, antara lain reformasi bertujuan tidak mendongkel kekuasaan raja, tetapi justru mempertahankan sistem monarki. Kaum neoreformis itu mendeklarasikan bahwa rezim monarki yang berkuasa adalah rezim yang legitimatif. Mereka tak berniat menggulingkan rezim monarki. Misi kaum neoreformis hanya berusaha lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan dalam konteks rezim yang ada.
Reformasi yang diharapkan adalah berbentuk perubahan sosial yang terencana dan berproses, bukan perubahan revolusioner. Reformasi juga bukan karena tekanan asing, tetapi semata memenuhi aspirasi dalam negeri. Faktor aspirasi dalam negeri adalah dasar karena sistem politik bukan komoditas yang bisa diekspor atau diimpor. Kemunculan fenomena neoreformis bukan pengaruh asing.
Reformasi juga tidak mengusung pikiran radikal yang ingin perubahan secara spontanitas. Reformasi butuh waktu dan dilakukan secara gradual. Kaum neoreformis tidak menganut paham revolusioner, tetapi perubahan yang terkontrol.
Reformasi butuh amandemen terhadap semua atau sebagian undang-undang serta mereformasi institusi lama. Proses reformasi tak bisa parsial atau setengah hati, tetapi komprehensif dan tuntas. Reformasi mencari kebersamaan antara elemen masyarakat dalam membangun negara dan mengambil keputusan.
Dengan misi reformasi persuasif dan tetap mendukung rezim monarki di Arab Saudi dan negara Arab Teluk, aspirasi kaum neoreformis secara gradual bisa diakomodasi. Hasilnya antara lain ditunjuknya Noura Al Faez sebagai pejabat tinggi di Arab Saudi.
Arab Saudi
EPA/MAZEN MAHDI
Wakil Perdana Menteri Bahrain Sheikh Mohammed bin Mubarak al-Khalifah, (kedua dari kanan) disambut anggota Keluarga Kerajaan Arab Saudi saat pameran benda-benda berharga milik almarhum Raja Arab Saudi Saud bin Abdulaziz di Manama, Bahrain, Minggu (15/2) lalu.
Senin, 23 Februari 2009 | 00:35 WIB
Memegang predikat sebagai negara pengekspor minyak paling top sedunia dan menjadi tempat lahirnya Islam ternyata belum bisa memperkuat posisi dan kekuatan politik Arab Saudi di kawasan Timur Tengah. Justru kelompok Islam, seperti Hezbollah dan Hamas, yang jauh lebih populer ketimbang pemerintahan negara Arab mana pun.
Sampai saat ini Arab Saudi belum mampu meraih simpati karena kepemimpinannya dinilai kurang tegas, apalagi ketika menghadapi dunia Arab yang terpecah-pecah. Bahkan, Arab Saudi belum mampu menyaingi pengaruh kuat negara-negara non- Arab, seperti Iran, Turki, ataupun Israel.
”Tantangan Arab Saudi adalah mengembangkan visi mengisi kekosongan di kawasan dan memiliki kebijakan luar negeri yang aktif dan tegas serta memainkan peran lebih besar. Kini kami negara status quo yang bisanya hanya bereaksi meski memang ada upaya-upaya Raja Abdullah mengajak dunia Arab bersatu dan mengupayakan rekonsiliasi,” kata pengamat di Pusat Studi dan Penelitian Islam Raja Faisal, Awadh al-Badi.
Langkah paling tegas yang pernah dilakukan Arab Saudi, yaitu rencana perdamaian pada tahun 2002 dan (diupayakan kembali) tahun 2007 sampai saat ini masih ditolak Israel dan dipandang sebelah mata oleh AS. Karena dianggap lemah, Qatar, Iran, Suriah, Hezbollah, dan Hamas mendesak pembatalan inisiatif perdamaian Arab tahun 2002. Upaya diplomasi Arab Saudi pun sontak mandek. Pengalaman inilah yang kemudian melukai dan menyakiti hati pihak Arab Saudi.
Ketika menghadiri pertemuan tingkat tinggi Arab bulan lalu, Raja Abdullah menegaskan, Arab masih menawarkan uluran tangan untuk membantu upaya perdamaian. Namun, tawaran itu tidak akan berlaku selamanya. Dengan pernyataan yang lebih tajam, Pangeran Turki al-Faisal (mantan Kepala Intelijen Arab Saudi dan utusan khusus Arab Saudi di London dan Washington) menyatakan, Israel ”membunuh prospek perdamaian” dengan menyerang Jalur Gaza.
Posisi Arab digeser
Karena upaya perdamaian yang tak kunjung berhasil, Raja Abdullah tak mau lagi menjadi mediator perundingan dengan Palestina. Masuklah Mesir, Turki, dan Qatar yang berusaha memperbaiki hubungan Hamas dan Fatah. Turki juga menjadi mediator perundingan tak langsung Suriah dan Israel, sementara Qatar menjadi mediator di Lebanon, Yaman, dan Sudan. ”Jika pemerintahan AS yang baru tidak bersikap tegas untuk mengantisipasi penderitaan dan pembunuhan rakyat Palestina, perdamaian dan hubungan antara AS dan Arab Saudi serta stabilitas di kawasan akan terancam,” sebut Pangeran Turki al-Faisal di harian Financial Times.
Pakar Timur Tengah di American University of Sharjah, Neil Patrick, menyatakan, Arab Saudi tampaknya ingin mengambil peran yang lebih besar dalam rencana perdamaian. Namun, sayangnya, Arab Saudi tetap tidak bersedia berbicara secara langsung dengan Israel. ”Konflik di Gaza jelas mempersulit Arab Saudi untuk mewujudkan perdamaian itu,” ujarnya.
Patrick menambahkan, tidak ada satu pun negara di kawasan Arab yang mampu menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan dihormati. ”Kawasan itu terpecah-pecah. Tidak ada langkah dan strategi yang jelas dalam proses perdamaian Arab-Israel. Tak ada juga solusi yang jelas di Irak. Kawasan makin pecah setelah Arab Saudi kini menilai Irak telah beralih ke orbit Iran,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP/LUK)
Minggu, 22 Februari 2009
Arab Saudi
Musthafa Abdul Rahman
Keputusan Raja Arab Saudi Abdullah Bin Abdul Aziz menunjuk seorang perempuan, Noura Al Faez, sebagai deputi menteri pendidikan urusan perempuan, Sabtu (14/2), memberi pesan bahwa roda reformasi di negara itu berjalan sesuai dengan rencana yang telah digariskan.
Penunjukan tersebut mengantarkan Noura Al Faez sebagai perempuan pertama yang menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan di negara yang dikenal sebagai penganut aliran konservatif dan puritan. Hal itu tentu merupakan dobrakan baru dalam tradisi sosial dan politik di Arab Saudi.
Tampilnya Noura Al Faez sesungguhnya bukan kebetulan, tetapi terkait dengan geliat reformasi di Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya, yang bergerak berkat tumbuhnya kaum neoreformis di negara-negara Arab kaya minyak itu sejak awal tahun 1990-an.
Kaum neoreformis terdiri atas kaum intelektual, profesional, pengusaha, dan ulama yang tercerahkan. Sebagian besar dari mereka telah mengenyam pendidikan di AS dan Eropa berkat fasilitas beasiswa yang diberikan pemerintah. Sepulang dari studi di luar negeri, mereka melakukan pendekatan yang persuasif kepada pemerintah agar bersedia melakukan reformasi. Pemerintah Arab Saudi mendengar dan menerima saran dan pandangan mereka karena mereka dianggap kader kerajaan. Mereka itulah yang mampu meluluhkan hati keluarga kerajaan yang berkuasa di Arab Saudi untuk melakukan reformasi di negara itu.
Jadi, geliat reformasi di Arab Saudi bukan karena tuntutan rakyat bawah seperti di banyak negara lain, tetapi lebih merupakan hasil pendekatan kaum cerdik pandai terhadap keluarga kerajaan yang berkuasa.
Sejak awal tahun 1990-an, Arab Saudi menghadapi tuntutan perubahan ke arah yang lebih demokratis dan adanya partisipasi politik dari rakyat.
November 1990, sekelompok pengusaha Arab Saudi bersurat kepada pemerintah. Mereka meminta diakhirinya monopoli fatwa agama oleh sekelompok ulama yang diangkat pemerintah. Mereka juga meminta sistem politik dan pemerintahan dievaluasi, membentuk dewan syura yang mewakili semua wilayah, melakukan pengawasan terhadap eksekutif, memberi otoritas yang lebih besar kepada pemerintah lokal. Mereka menuntut reformasi atas lembaga yudikatif sehingga lebih terjamin efektivitas dan independensinya, persamaan antara warga tanpa memandang turunan, kabilah, mazhab, dan status sosial, serta kebebasan pers, memberi peran yang lebih besar kepada perempuan serta reformasi mendasar atas sistem pendidikan.
Tuntutan reformasi datang dari 453 delegasi pada Mei 1991. Terdiri atas ulama, hakim, dan dosen, mereka memohon Raja Fahd Bin Abdul Aziz agar melakukan reformasi mendasar atas sistem politik di negara itu.
Pada Januari 2003, sebanyak 104 cendekiawan Arab Saudi menghadap putra mahkota saat itu, Pangeran Abdullah Bin Abdul Aziz, menyampaikan piagam pembaruan dengan judul Pandangan Terhadap Tanah Air, Hari Ini dan Mendatang. Dalam piagam tersebut ditulis permintaan kaum cendekiawan agar diterapkan sistem monarki konstitusional di Arab Saudi.
Dalam piagam itu ditegaskan, sistem monarki konstitusional tidak mendepak keluarga raja dari kekuasaan, melainkan ingin menerapkan pola ”sebagai raja, tetapi tidak memerintah”, seperti di Inggris, Jordania tahun 1989, dan Bahrain tahun 2003.
Namun, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi Pangeran Naif Bin Abdul Aziz menolak penerapan sistem monarki konstitusional itu di negaranya.
Faktor-faktor
Munculnya kaum neoreformis di Arab Saudi dan di negara Arab Teluk lainnya disebabkan faktor dalam negeri, regional, serta internasional.
Faktor internal di antaranya karena adanya kebebasan pers, khususnya jaringan internet dan pengaruh televisi satelit, seperti Aljazeera, MBC, ART, Orbit, dan Al Arabiya. Fenomena munculnya forum budaya di berbagai kota di Arab Saudi juga ikut berpengaruh. Dalam forum tersebut, sering digelar dialog yang melibatkan dosen, wartawan, sastrawan, dan pengusaha.
Misalnya, wacana pembaruan dan perubahan di Arab Saudi ditulis di berbagai media serta dibahas dalam forum dialog akademik dan budaya.
Forum dialog paling terkenal di Arab Saudi adalah yang selalu dihadiri Raja Abdullah Bin Abdul Aziz. Forum tersebut diberi nama ”Pusat Raja Abdul Aziz untuk Dialog Nasional” yang didirikan pada 3 Agustus 2003.
Faktor lain adalah berdirinya universitas swasta, baik universitas asing maupun nasional. Universitas swasta itu biasanya memberi mata kuliah yang berbeda dari universitas negeri.
Turut andil pula adalah pengiriman mahasiswa Arab Saudi belajar di berbagai perguruan tinggi di Eropa dan AS. Sepulang dari studi, mereka tidak hanya mengamalkan ilmu di bidangnya, melainkan juga menyerukan pembaruan dan perubahan seperti yang dialami dan dilihat di tempat mereka belajar.
Berdirinya lembaga-lembaga penelitian, seperti Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Riyadh, juga turut berperan.
Adapun faktor regional dan internasional adalah Perang Teluk II tahun 1990 yang menciptakan situasi baru di Arab Saudi dan kawasan Teluk. Perang Teluk II itu memberi dalih yang kuat kepada kelompok elite di kawasan itu untuk menuntut perubahan dan pembaruan.
Dalam konteks internasional, angin demokrasi yang bertiup di Eropa Timur dan Asia sejak awal tahun 1990-an turut berpengaruh kepada Arab Saudi.
Tata internasional saat ini yang memberi perhatian besar kepada isu demokrasi, multipartai, hak asasi manusia, masyarakat madani, dan pemberdayaan kaum wanita memberi dampak positif terhadap Arab Saudi.
Misi reformasi
Misi reformasi di Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk bertumpu pada beberapa hal, antara lain reformasi bertujuan tidak mendongkel kekuasaan raja, tetapi justru mempertahankan sistem monarki. Kaum neoreformis itu mendeklarasikan bahwa rezim monarki yang berkuasa adalah rezim yang legitimatif. Mereka tak berniat menggulingkan rezim monarki. Misi kaum neoreformis hanya berusaha lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan dalam konteks rezim yang ada.
Reformasi yang diharapkan adalah berbentuk perubahan sosial yang terencana dan berproses, bukan perubahan revolusioner. Reformasi juga bukan karena tekanan asing, tetapi semata memenuhi aspirasi dalam negeri. Faktor aspirasi dalam negeri adalah dasar karena sistem politik bukan komoditas yang bisa diekspor atau diimpor. Kemunculan fenomena neoreformis bukan pengaruh asing.
Reformasi juga tidak mengusung pikiran radikal yang ingin perubahan secara spontanitas. Reformasi butuh waktu dan dilakukan secara gradual. Kaum neoreformis tidak menganut paham revolusioner, tetapi perubahan yang terkontrol.
Reformasi butuh amandemen terhadap semua atau sebagian undang-undang serta mereformasi institusi lama. Proses reformasi tak bisa parsial atau setengah hati, tetapi komprehensif dan tuntas. Reformasi mencari kebersamaan antara elemen masyarakat dalam membangun negara dan mengambil keputusan.
Dengan misi reformasi persuasif dan tetap mendukung rezim monarki di Arab Saudi dan negara Arab Teluk, aspirasi kaum neoreformis secara gradual bisa diakomodasi. Hasilnya antara lain ditunjuknya Noura Al Faez sebagai pejabat tinggi di Arab Saudi.
Rabu, 18 Februari 2009
Renungan Gaza
Oleh Zaim Uchrowi
'Korban tewas 1.000 orang.' Itu yang menjadi berita utama koran kemarin. Besok, lusa, minggu depan, bulan depan korban itu bisa menjadi 2.000, 10.000, dan seterusnya. Apa jaminannya itu tidak terjadi ketika Israel masih menguasai dunia dengan menguasai Amerika; ketika negara-negara Arab masih menjadi "milik pribadi" para penguasanya masing-masing dan belum menjadi negara-negara merdeka milik rakyat; ketika umat yang sehati dengan Palestina masih menjadi umat yang secara sosial, ekonomi, dan politik sangat lemah di kancah dunia; juga ketika PBB masih sebatas jadi pentas drama dunia yang memanggungkan lakon 'Perdamaian' yang tak berhubungan dengan terciptanya perdamaian secara nyata.
Angka 1.000 itu seperti sekadar sebuah statistik yang tak memberi guncangan apa pun pada nurani kita. Tapi, tidakkah kita sempat menyimak berita sebelahnya. Kisah tentang Shahd, bocah perempuan menggemaskan berusia 4 tahun yang menjadi santapan peluru tentara Israel saat ia bermain di pekarangan belakang rumahnya. Orang tuanya hanya bisa termangu menyaksikan tragedi itu, dan segera disambut dengan salakan senapan saat mencoba mengambil jasad malang itu. Tubuh kecil bersimbah darah itu lalu disantap anjing-anjing pelacak yang dibawa tentara Israel saat memasuki Gaza. Suatu keadaan yang mengundang pertanyaan: Sengajakah sang bocah ditembak hanya buat memberi makan anjing-anjing itu?
Shahd tentu tak sempat menangis. Juga tak akan merasakan sakit. Tapi, kebiadaban tentara terhadapnya akan selalu membuat kemanusiaan setiap orang bernurani menangis dan merasakan sakit yang menusuk-nusuk. Holocaust atau pembasmian Yahudi oleh rezim Hitler menjadi peristiwa menyakitkan yang akan selalu dikenang dunia. Tidakkah tragedi di Gaza itu sama menyakitkannya dengan holocaust itu? "Berabad-abad kita menjadi korban kekejaman. Mengapa kita melakukan (kekejaman) serupa?" teriak seorang Yahudi yang menggunakan nurani. "Yahudi terus-menerus dijahati Eropa, mengapa kita membalasnya pada yang lain?"
Dokumen lama itu seolah tidak lagi ada dalam benak para penguasa Israel. Sejak lebih dari 2.000 tahun silam, Eropa telah menghancurkan Yahudi. Penjajahan oleh Romawi Timur (Yunani) dari masa sebelum Isa lahir telah membuat kaum Yahudi berserak ke berbagai penjuru sebagai pengungsi paria. Masuknya Islam ke Yerusalem di masa Umar bin Khattab beberapa tahun setelah wafat Rasulullah SAW, telah memberikan kebebasan kembali pada Yahudi yang tersisa di sana. Tapi, tidak demikian nasib Yahudi di Eropa. Mereka terus dinistakan dari masa-ke masa. Masa keemasan Yahudi di Eropa terjadi saat Islam membangun peradaban Andalusia, dan mereka diberi kesempatan buat mengisi pos-pos penting negara. Masa itu berakhir ketika Ferdinand-Isabel melakukan "Pembersihan" Spanyol dengan membantai Muslim dan Yahudi. Kaum Yahudi pun diselamatkan dan dilindungi Kesultanan Turki Usmani.
Di Gaza hari-hari ini, sejarah penting itu disobek-sobek sampai lumat. Yang dipertontonkan di Abad ke-21 ini justru naluri kebinatangan manusia paling primitif: Yang kuat berhak melakukan apa pun pada yang lemah. Sebuah kenyataan yang mengajarkan bahwa "baik saja tidak cukup, melainkan juga harus kuat". Maka, selain berdoa agar Allah menghentikan kekejian itu, mari menelusur diri. Mari cari bagaimana membuat diri sendiri, keluarga, masyarakat, serta bangsa-umat menjadi kuat hingga tak dapat menjadi bulan-bulanan kaum biadab dunia.
Kaum yang Paling Serakah
Setiap kali melihat tank-tank Israel menggempur kota Gaza dan isinya, entah mengapa di telinga saya bergaung kalimat-kalimat perintah ini: 'Kami mengarahkan perhatian anda khusus kepada pulau-pulau di mana bertumbuh cengkeh dan pala dan kami memerintahkan anda untuk memenangkan (menundukkan - pen) pulau-pulau itu untuk Kompeni yaitu VOC baik dengan cara perundingan maupun dengan kekerasan.'
Perintah itu dikeluarkan pada tahun 1608 oleh para direktur VOC yang terkenal dengan sebutan Tuan-tuan Tujuh Belas atau Heeren XVII. Yang mendapat perintah adalah Laksamana Pieterszoon Verhoeven, sedangkan yang dimaksud dengan pulau-pulau adalah kepulauan Maluku.
Apa hubungan perintah dari VOC yang sudah berusia tepat empat abad itu dengan keganasan Israel saat ini? Pertama adalah kata 'kekerasan'. Tak mungkin diragukan lagi bahwa sejak awal orang Barat datang ke mana-mana, ke Benua Amerika, Asia, Afrika adalah untuk menguasai dengan segala cara termasuk kekerasan dan perang.
Laksamana Pietterszoon terhadap orang Indonesia, Jenderal Cluster terhadap orang Indian, Kapten Cook terhadap bangsa Aborigin, dan masih banyak lagi, adalah pelaku-pelaku kekerasan yang mewakili 'peradaban' Barat dan melakukan kekerasan di mana-mana pada awal masa kolonial.
Kekerasan yang dilakukan oleh orang Barat itu terbukti telah menyengsarakan dua pertiga pnduduk bumi hingga saat ini. Karena, motivasi semua kekerasan yang mereka lakukan dulu masih utuh hingga sekarang yakni serakah dan keserakahan.
Pada abad-abad yang lalu keserakahan Barat muncul dengan kasar berupa kolonialisme dan kapitalisme klasik. Keduanya tampil ke permukaan dalam ujud perbudakan, monopoli dan tanam paksa yang semuanya ditamengi dengan meriam, pedang dan senapan. Ironisnya kekerasan yang membungkus keserakahan itu mereka carikan legitimasinya pada agama. Maka simbol-simbol agama tampak jelas pada layar kapal, gagang kelewang, juga tanda-tanda kepangkatan mereka. Dan sambil membantai suku-suku Indian misalnya, anak buah Jenderal Cluster menyanyikan lagu-lagu prajurit ketuhanan.
Hari ini keserakahan Barat bukan berkurang melainkan bertambah-tambah. Namun keserakahan itu telah dikemas dengan sangat halus dan rapi. Kolonialisme alias penjajahan klasik telah bermetamorfosis menjadi sistem ekonomi dan keuangan dengan nama-nama mentereng. Kapitalisme yang tetap digerakkan oleh nafsu serakah telah diberi badan yang namanya enak didengar; IMF, Bank Dunia, WTO, bahkan PBB. Kata 'kapittalis' yang telah tercitra buruk kini diganti menjadi 'investor'.
Tidak seperti tahun 1608 ketika Heeren XVII mengirim Pieterszoon dengan 14 kapal bermeriam untuk menguasai pulau-pulau rempah, kapitalis modern datang ke Indonesia dengan senyum dan penawaran bantuan keuangan yang menggiurkan. Peran laksamana sudah diganti oleh para fund manager yang punya kekuatan menaklukan lebih hebat. Salah seorang di antaranya bernama Comdessus dari IMF yang dulu menundukkan Presiden Suharto di depan jutaan orang ketika dia memaksa presiden RI itu teken surat pengakuan utang.
Meriam juga sudah diganti dengan kecanggihan sistem informasi dan komunikasi yang nyaris seratus persen mereka kuasai. Maka penaklukan terhadap bangsa ini berlangsung tanpa letusan meriam, malah terjadi dalam suasana meriah di hotel-hotel mewah. Namun di balik itu semua ada malapetaka yang harus disandang oleh setiap manusia Indonesia. Bahkan bayi yang baru lahir pun sudah menyandang utang puluhan juta kepada penguasa keuangan dunia.
Dan tank serta pesawat tempur Israel masih terus menghamburkan kehancuran dan kematian di Palestina. Ah, saya teringat kembali perintah kepada Pieterrzoon untuk menaklukan Maluku dengan kekuatan meriam 400 tahun yang lalu. Saya juga teringat bagaimana Comdessus menaklukan Suharto dengan kekuatan uang. Mengapa? Karena jenderal-jenderal Israel, Heeren XVII, dan bossnya Comdessus berasal dari kaum yang sama, kaum yang paling serakah di dunia.
Dusta di Tengah Gelimpangan Mayat
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Ketika pesawat Israel membombardir sekolah milik PBB beberapa hari yang lalu dan membunuh puluhan manusia, sebuah dusta besar berulang-ulang disiarkan: sekolah itu tempat persembunyian pejuang Hamas. Yang benar adalah tak seorang pun pejuang itu berada di sana. Hampir semua media Barat menelan begitu saja dusta zionis ini dan menyiarkannya ke seluruh penjuru dunia. Tetapi, untunglah ada stasiun televisi Al-Jazeera yang membongkar dusta itu sehingga kejahatan perang Israel cepat diketahui umat manusia di berbagai negara. Akibatnya, Israel semakin terpojok. Tetapi, kebrutalan tetap saja dilangsungkannya. Istilah kejahatan perang rasanya sudah tidak memadai lagi untuk menggambarkan genosida yang diamukkan zionis atas rakyat Palestina. Harus ditambah dengan: kejahatan perang yang dilakukan oleh makhluk serupa manusia, tetapi bukan manusia.
Yang juga tidak kurang ironisnya untuk dicatat adalah rezim Bush dan sebagian besar anggota senat Amerika mendukung kejahatan perang Israel ini. Para pendukung ini, dalam perspektif kita, secara sadar telah memasukkan dirinya dalam kategori "makhluk serupa manusia" itu. Satu-satunya anggota senat yang bersuara lantang menentang kejahatan itu adalah Dennish Kucinich. Kita kutip, "Hari ini, pajak dolar Amerika, jet-jet Amerika, dan helikopter Amerika yang diberikan kepada Israel telah menyebabkan berlakunya pembantaian di Gaza. Pemerintah [Bush] memungkinkan Israel menekan terus untuk melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil yang tak berdaya, memblokade upaya-upaya bagi gencatan senjata di PBB, dan menampik agar Israel tunduk terhadap persyaratan bahwa pengiriman persenjataan tidak akan digunakan untuk tujuan agresi. Israel akan menerima 30 miliar dolar AS dalam tempo periode 10 tahun bagi bantuan militer, tanpa harus mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan apa pun, hukum internasional, atau standar dasar tentang kesopanan manusia. Bangkitlah Amerika."
Di tangan makhluk serupa manusia, apa yang disebut human decency (kesopanan manusia) tidak mungkin bertemu dalam kamus mereka. Jika Anda ingin mencari ungkapan itu, hanyalah berlaku bagi manusia yang punya hati nurani. Oleh sebab itu, seruan Kucinich untuk bangkit ditujukan kepada rakyat Amerika yang masih manusia, bukan yang serupa manusia. Pemimpin penjahat perang Israel: Ehud Olmert, Ehud Barak, Tzipi Livni, dan gangnya, telah menjadikan mayat rakyat Palestina di Jalur Gaza sebagai taruhan untuk masing-masing memenangkan pemilu Israel pada Februari 2009 ini. Maka, tidaklah salah bila Uri Avnery dalam The Palestine Chronicle, awal Januari 2009, menyebut perang ini sebagai Israel's New Election War. Anda bisa bayangkan tingkat kejahatan perang ini. Demi untuk saling berebut kursi di knesset Israel, rakyat Palestina yang tak berdosa dan tanpa pertahanan dimusnahkan begitu saja. Pemusnahan ini dengan dalih karena kiriman roket Hamas ke kawasan selatan Israel dan Hamas dituduh tidak setia terhadap gencatan senjata. Semuanya ini adalah dusta dan palsu belaka karena gencatan yang riil tidak pernah berlaku.
Bagaimana Hamas tidak akan bereaksi, Avnery menulis: Dalam kenyataannya, gencatan senjata tidaklah lumpuh karena sejak awal gencatan senjata riil tidak pernah ada. Tuntutan pokok bagi gencatan senjata di Jalur Gaza mestilah dengan membuka lintas batas. Tidak mungkin ada kehidupan di Gaza tanpa mengalirnya suplai yang tetap. Perbatasan itu tidak dibuka, kecuali untuk beberapa jam yang tak menentu. Blokade darat, laut, dan udara terhadap satu setengah juta umat manusia adalah tindakan perang, seperti halnya menjatuhkan bom atau meluncurkan roket. Semuanya ini melumpuhkan kehidupan di Jalur Gaza: menghabisi sebagian besar sumber-sumber pekerjaan, mendorong sejumlah ratusan ribu manusia ke pinggir maut karena kelaparan, menghentikan sebagian besar rumah sakit untuk berfungsi, serta merusak suplai listrik dan air. Mereka yang mengambil keputusan untuk menutup lintas-batas--dengan dalih apa pun--tahu bahwa gencatan senjata yang sebenarnya dengan kondisi seperti itu tidak pernah ada.
Saya sengaja mengutip pendapat pejuang Yahudi ini untuk menunjukkan bahwa membiarkan zionisme merajalela adalah harakiri bagi peradaban. Zionisme=dusta sejarah yang harus disetop untuk selama-lamanya. Tanda-tanda ke arah itu sudah semakin nyata walau di tengah gelimpangan mayat yang masih berjatuhan. ''Aduh, ya Allah, dengarkanlah jeritan ini!''
Gaza dan Frangmentasi Arab
Oleh: Azyumardi Azra
Jika ada wilayah di muka bumi ini yang tak pernah kunjung reda dilanda konflik dan peperangan dalam waktu lebih dari satu abad terakhir, itu tidak lain adalah Timur Tengah. Konflik dan perang terakhir tentu saja terjadi di wilayah Gaza yang secara membabi buta menjadi sasaran kebrutalan Israel selama tiga pekan.
Meski Israel secara sepihak menyatakan menghentikan agresinya, jelas konflik dan perang tetap menggantung di langit Timur Tengah, khususnya di antara Palestina dan Israel. Penghentian agresi dan gencatan senjata selama ini hanyalah menjadi kesempatan jeda untuk kembali memperkuat posisi kedua belah pihak.
Agresi Israel yang tidak bisa dihentikan PBB, dunia Arab, dan kalangan internasional lainnya secara sempurna menunjukkan kompleksitas konflik dan pertarungan yang terjadi pada berbagai level, yang memang sama sekali tidak mudah diselesaikan. Berbagai kepentingan kelompok dan negara terlibat sehingga menciptakan benang kusut yang sulit diurai.
Pada tingkat pertama adalah perpecahan dan konflik yang tidak bisa terselesaikan dalam tubuh bangsa Palestina sendiri--antara Hamas pada satu pihak dan al-Fatah pada pihak lain. Pascaagresi Israel, pembelahan dan konflik antara Hamas dan al-Fatah hampir bisa dipastikan kian sulit terjembatani. Pada satu pihak, Hamas merasakan bahwa al-Fatah, di lubuk hati mereka yang paling dalam, seolah mendapatkan 'berkah terselubung' dengan upaya penghancuran Hamas oleh Israel yang tidak sanggup dia lakukan sendiri.
'Kehancuran' Hamas jelas memberikan peluang bagi al-Fatah untuk mengambil alih kembali kekuasaan atas Gaza yang dikuasai Hamas usai Pemilu Legislatif Palestina pada Januari 2006. Tetapi, jelas juga bahwa Hamas tidaklah hancur pascaagresi Israel dan Hamas pastilah tidak menyerah begitu saja kepada al-Fatah yang berusaha membangkitkan kembali dominasi dan hegemoninya di Gaza atas nama perjuangan bangsa Palestina.
Perpecahan dan konflik dalam tubuh bangsa Palestina tersebut barulah setengah cerita. Setengah lainnya adalah kisah tentang perpecahan dan rivalitas di antara negara-negara Arab dalam merespons agresi Israel. Negara-negara Arab pada dasarnya tidak dapat melakukan langkah-langkah serius menyelamatkan warga Palestina di Gaza. Meskipun para pemimpin negara-negara Arab pada berbagai tingkatan pemerintahan terlihat sibuk melakukan berbagai sidang darurat, hasilnya jauh dari menunjukkan keseriusan untuk memberikan tekanan kepada Israel agar menghentikan agresinya.
Misalnya, tidak ada di antara negara-negara Arab yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, khususnya Mesir dan Yordania, yang mengambil langkah drastis dengan memutuskan atau setidaknya membekukan hubungan diplomatik mereka dengan Tel Aviv. Justru, pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel dilakukan Venezuela dan Bolivia, dua negara di Amerika Latin.
Mengapa negara-negara Arab enggan melakukan tekanan kepada Israel dan sebaliknya lebih serius menyelamatkan warga Palestina di Jalur Gaza. Alasannya terkait pada dua hal. Pertama, kepentingan politik dalam negeri mereka. Kedua, ketergantungan mereka pada Amerika Serikat. Bagi banyak rezim di dunia Arab, Hamas dengan ideologi Islamis-nya yang militan sangat membahayakan kelangsungan status quo kekuasaan mereka. Membela apalagi menyelamatkan Hamas dalam pandangan mereka adalah seperti 'membesarkan anak harimau', yang akhirnya dapat menerkam mereka.
Pada segi lain, banyak negara Arab yang tergantung, baik secara ekonomi atau militer, pada Amerika. Ada negara-negara Arab yang tidak punya minyak yang menjadi penerima bantuan ekonomi dari AS dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, berbeda dengan bantuan AS kepada Israel. Sebaliknya, negara-negara Arab yang kaya minyak banyak tergantung pada AS dalam hal pertahanan untuk menghadapi negara-negara Timur Tengah lainnya yang dipandang merupakan ancaman jika dulu Irak, sekarang Iran. Bagi negara-negara Arab ini, kepentingan nasional di atas segala-galanya. Mereka tentu saja tidak mau mengorbankan kepentingan nasional masing-masing dalam kaitan dengan AS dan menekan Israel.
Dari beberapa segi ini, terlihat perdamaian di Timur Tengah, khususnya di Palestina, masih jauh dari jangkauan. Tetapi, jelas bukan tanpa harapan sama sekali. Dan, harapan itu banyak tergantung pula pada AS di bawah kepemimpinan Presiden Obama. Kita tentu saja tidak dapat terlalu optimis Obama dapat menyelesaikan konflik di Palestina secara damai, tetapi setidaknya masyarakat dunia menunggu kiprah presiden baru AS ini untuk mendorong terciptanya perdamaian di kawasan tersebut.
Empat Pertanyaan untuk Muhammadiyah dan NU (1)
Oleh Syafii Maarif
Jika dalam Resonansi ini saya hanya menyebutkan Muhammadiyah dan NU, tidak berarti bahwa gerakan-gerakan Islam yang lain di Indonesia tidak penting. Mereka penting, tetapi karena alasan peta sosiologis, publik menyebutkan bahwa NU dan Muhammadiyah dinilai mewakili arus besar Islam Indonesia. Itulah sebabnya saya mengajukan empat pertanyaan kunci yang kritikal kepada keduanya di sisi apresiasi saya yang tinggi kepada kinerja mereka selama ini. Tetapi, pada ranah pemikiran keislaman kreatif yang tengah berkembang sekarang ini, saya punya beberapa catatan untuk Muhammadiyah dan NU.
Pertanyaan pertama, apakah Muhammadiyah dan NU sudah yakin bahwa doktrin nonmazhab atau aswaja (ahlussunnah waljama'ah) yang dipegang selama ini sudah cukup memadai untuk dijadikan pegangan dan acuan menuju terciptanya persaudaraan antarumat dan kemanusiaan universal? Saya sendiri masih ragu. Cobalah buka semua dokumen baku kedua sayap utama itu, apakah kita tidak berpikir, khususnya untuk Indonesia, untuk menggelindingkan wawasan keislaman pasca-Muhammadiyah dan pasca-NU? Ini tidak bermakna bahwa keduanya harus ditinggalkan atau diganti, tetapi wawasan mereka tidak boleh lagi berkutat dalam radius sempit yang selama ini dijadikan acuan dalam bergerak. Muhammadiyah dan NU hanyalah alat untuk mencapai tujuan Islam, bukan?
Jika alat sudah kehilangan darah segar dalam bentuk gagasan Islam yang dinamis dan kreatif untuk memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan global, apakah alat itu tidak perlu mendapat suntikan darah baru yang segar sehingga tetap tanggap dan percaya diri untuk menawarkan solusi terhadap tantangan yang datang silih berganti, apakah itu di bidang ilmu, sosial, ekonomi, politik, dan moral? Tenggelam dalam khazanah klasik, sekalipun kaya, tetapi gagal berurusan dengan masalah kekinian, adalah pertanda bahwa keislaman kita bukan lagi sebuah keislaman yang hidup dan menghidupkan. Dengan kata lain, kita gagal menawarkan sebuah alternatif bagi peradaban modern yang telah hampir kehilangan stamina spiritual yang kini terasa sangat diperlukan.
Semua hasil pemikiran manusia, termasuk tafsiran terhadap teks suci, pasti terikat dengan ruang dan waktu. Betapa pun, kita punya masa lampau yang dahsyat dalam bidang keilmuan dan peradaban, pemilik aslinya bukan kita, tetapi adalah mereka yang menciptakan. Oleh sebab itu, bagi saya, kelampauan bukan untuk diberhalakan, tetapi untuk dikritik sehingga kita yang datang belakangan harus punya tekad untuk melebihi mereka, baik dalam kualitas maupun dalam kuantitas hasil karya. Inilah yang disebut maju dalam menalar. Tanpa keberanian untuk berpikir semacam itu, saya khawatir umat Islam akan sulit sekali bangkit meninggalkan buritan peradaban yang telah menyesakkan napas kita sekian ratus tahun.
Pertanyaan kedua, apakah energi yang telah dikerahkan Muhammadiyah dan NU selama sekian puluh tahun sudah membuahkan hasil optimal, seperti yang dituntut oleh AD (Anggaran Dasar) mereka masing-masing? Atau, malah AD ini jarang dibaca, seakan-akan telah menjadi benda museum.
Sebagai seorang yang terlibat dalam pusaran pergerakan Islam selama puluhan tahun, saya menjadi semakin risau karena memantau energi kedua kekuatan itu telah banyak terbuang secara sia-sia dan tidak jarang dihabiskan untuk kepentingan politik kekuasaan yang penuh gesekan dan memicu perpecahan. Dalam kaitan inilah saya sungguh berharap agar sebagian intelektual berbakat dari kedua sayap umat ini akan lebih piawai mengatur hidup dan kariernya, demi meraih sesuatu yang lebih bermakna, lebih abadi, di mana saya hampir tidak berdaya untuk itu.
Saya mengamati dengan cermat bahwa generasi muda pemikir yang lahir dari rahim NU dan Muhammadiyah sungguh sangat menggembirakan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Adapun kadang-kadang dicurigai oleh kalangan yang lebih senior, tidak perlu terlalu ditanggapi yang dapat mengundang frustrasi. Yang perlu dijaga adalah agar kesenjangan pemikiran itu tidak memicu munculnya badai perpecahan. Toh pada saatnya, generasi muda itulah yang akan tampil menggantikan bapak-bapak mereka yang semakin uzur, seperti saya ini.
Empat Pertanyaan untuk Muhammadiyah dan NU (II)
Pertanyaan ketiga, apakah dalam benak pemimpin kedua sayap umat ini sudah pernah muncul gagasan dan wawasan tentang masa depan Indonesia dalam rentang waktu 20 tahun yang akan datang? Atau, kita membiarkan diri kita mengalir begitu saja sampai bangsa ini meluncur ke jurusan yang semakin tidak bermartabat karena elite yang main di panggung adalah mereka yang tunavisi? Saya paham bahwa tarikan politik kekuasaan sangat menggoda, ditampakkan atau disembunyikan oleh pemimpin kedua arus besar itu, tetapi haruslah selalu tersedia stok intelektual yang belajar berpikir sebagai negarawan, tidak larut dalam serbapragmatisme politik yang dapat menguras segala-galanya. Bahwa, kekuasaan itu penting, saya tidak menyangkal. Tetapi, yang lebih penting secara moral adalah jawaban terhadap pertanyaan: untuk apa berkuasa? Pertanyaan kunci ini tampaknya jarang singgah dalam otak para elite bangsa yang sedang menggelar dan mengadu retorika di panggung politik kekuasaan selama 10 tahun terakhir.
Pertanyaan keempat, apakah Muhammadiyah dan NU cukup puas dengan kondisi keislaman, seperti yang diamati dan dirasakan sekarang ini yang belum mampu menawarkan solusi komprehensif dan cerdas terhadap masalah-masalah bangsa, negara, dan kemanusiaan yang semakin hari semakin ruwet? Mengapa tokoh-tokoh mereka tidak berpikir jauh untuk membongkar warisan ijtihad lama yang mungkin sudah tidak relevan untuk memecahkan masalah kemanusiaan abad ini? Saya rasa, jawabannya sebagian terletak pada kesibukan luar biasa para tokoh itu dalam mengurus organisasi sehingga ketiadaan waktu untuk mengikuti arus pemikiran baru yang tidak kurang dahsyatnya dibandingkan warisan klasik.
Ironisnya, sebagian tokoh itu punya kecurigaan yang tinggi terhadap generasi pemikir muda yang baru muncul dan yang dinilai tidak sesuai lagi dengan kepribadian Muhammadiyah atau sudah menyimpang dari koridor aswaja. Apakah rumusan kepribadian Muhammadiyah atau doktrin aswaja sudah merupakan sesuatu yang final sehingga menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih mendalam?
Dengan mengajukan empat pertanyaan itu, masih ditambah, saya ingin mengetuk pintu hati dan pintu nalar para pemimpin kedua sayap umat itu untuk merancang dialog secara berkala. Tema-tema besar yang dapat diusulkan sebagai agenda menyangkut masalah kebudayaan, ekonomi, sosial, politik, moral, kemanusiaan, lingkungan, situasi global, kapitalisme, dan 1001 isu lainnya. Anak-anak muda mereka pasti akan membantu seniornya dalam menyiapkan bahan dialog inteletektual itu.
Melalui diskusi dan dialog yang jujur serta bermutu tinggi, pasti akan banyak sekali titik-titik temu yang akan diraih untuk kepentingan bangsa dan kemanusiaan. Generasi yang lebih tua dan mungkin sudah sangat mapan tidak boleh memandang enteng generasi baru yang sedang muncul dengan kapasitas intelektual dan komitmen yang mungkin di luar dugaan kita yang lebih senior.
Memandang generasi ini dengan sebelah mata adalah sebuah kecongkakan yang berasal dari 'perasaan serbatahu'. Padahal, realitas boleh jadi bertolak belakang dengan klaim yang demikian itu. Inilah sebuah penyakit orang tua. Saya berada dalam kategori itu, dalam format 'kultur museum' yang serbaantik, tetapi sudah hampir kehabisan stamina untuk berurusan dengan tuntutan zaman yang tak pernah berhenti bergulir. Saya sampaikan ini semua agar kita yang lebih senior jangan sampai melecehkan kuncup-kuncup segar yang mulai mekar karena mereka itulah nanti pada masanya yang akan meneruskan kafilah perjalanan panjang yang telah dirintis dan dikembangkan oleh generasi yang lebih awal.
Melalui kritik diri ini, saya semakin sadar betapa berjibunnya kekurangan dan kelemahan yang diidap oleh kita yang lebih tua, tetapi sebagian tidak mau mengakui. Inilah di antara sebab seakan-akan kesenjangan berpikir antargenerasi tidak dapat dijembatani. Rumusan yang benar tidak demikian, tetapi ketidaksediaan untuk saling membuka diri secara berani dan jujur merupakan faktor yang menyulitkan berlangsungnya dialog konstruktif antara kedua generasi itu. Padahal, corak masa depan kita di ranah pemikiran akan sangat ditentukan oleh hasil dialektika yang terus-menerus dalam upaya mempertautkan kesenjangan visi intelektual antargenerasi yang sebenarnya alami belaka.
Selasa, 17 Februari 2009
Raja Abdullah, Sang Reformis
Raja Abdullah bin Abdul Aziz (85) kembali menggores sejarah. Tahun 2002, Raja Abdullah bin Abdul Aziz mendobrak kebekuan diplomasi perdamaian Timur Tengah dengan melontarkan inisiatif damai dengan Israel. Inisiatif yang kemudian diadopsi oleh forum KTT Arab di Beirut tahun 2002 sebagai inisiatif damai Arab.
Inisiatif tersebut meminta Israel mundur dari tanah yang diduduki tahun 1967 dengan imbalan hubungan diplomatik Israel dan dunia Arab secara kolektif, berdirinya negara Palestina dengan ibu kota Jerusalem Timur, serta solusi adil pengungsi Palestina.
Hari Sabtu (14/2), Raja Abdullah mengejutkan dengan menunjuk seorang perempuan, Noura bin Abdullah Al Faez, sebagai deputi menteri pendidikan dan pengajaran urusan perempuan. Noura Al Faez menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan tertinggi di negara yang dikenal konservatif dan puritan.
Raja Abdullah tampaknya ingin memberikan pesan kepada masyarakat internasional dan rakyatnya bahwa Arab Saudi komitmen melaksanakan pembaruan dan perubahan. Raja Abdullah dalam berbagai forum sering menegaskan, cara terbaik menghadapi tantangan adalah membangun negara yang kuat dan mampu bergerak maju dengan semangat akomodatif dan adaptatif di tengah empasan perubahan yang begitu cepat.
Ia naik takhta 3 Agustus 2005 setelah wafatnya Raja Fahd. Ia sebenarnya sudah penguasa de facto sejak tahun 1995 ketika Raja Fahd terserang stroke. Abdullah adalah salah satu dari 37 putra Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Suud (pendiri Arab Saudi modern) yang lahir dari Fahada binti Asi-al Syuraim, istri kedelapan Abdul Aziz dari keluarga Rasyid.
Ia adalah seorang putra mahkota dan kemudian raja yang paling sering menyebut kalimat pembaruan dan perubahan diberbagai forum. Ia ternyata tidak berkata kosong.
Misalnya, Abdullah dalam beberapa tahun terakhir ini aktif menggelar dialog nasional membahas berbagai isu, khususnya isu reformasi, dengan melibatkan berbagai tokoh masyarakat. Ia juga mengizinkan pemilihan langsung anggota kota praja (Dewan Konsultatif) secara nasional sejak awal tahun 2005. Ia juga membuka kesempatan bagi pemodal asing menanamkan investasi di bidang eksplorasi dan produksi gas.
Mediator ulung
Ia amat menaruh perhatian pada upaya pelestarian budaya dan khazanah yang melibatkan para ulama dari dunia Arab dan Islam. Abdullah juga sangat peduli dengan isu-isu internal dunia Arab dan bahkan terlibat langsung dalam upaya rekonsiliasi di antara negara Arab.
Tahun 1980, Abdullah berhasil sebagai mediator perundingan konflik Suriah-Jordania. Ia menjadi arsitek Perjanjian Damai Taif 1989 yang mengakhiri 15 tahun (tahun 1975-1990) perang sipil di Lebanon.
Pada April 2001, Pangeran Abdullah menyelenggarakan seminar tentang sejarah hubungan Arab Saudi dan Palestina yang dihadiri tokoh-tokoh Arab. Disimpulkan bahwa Arab Saudi telah memberi dukungan besar perjuangan rakyat Palestina meskipun Arab Saudi tidak termasuk negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel.
Sebagai salah seorang putra Raja Abdul Aziz (pendiri negara Arab Saudi), Abdullah sejak usia muda telah dipercaya memegang berbagai jabatan strategis. Sosoknya yang alim membuat dia dipercaya sebaga wali kota Mekkah sejak usia 30 tahun.
Tahun 1962, Raja Faisal bin Abdul Aziz menunjuk Abdullah bin Abdul Aziz sebagai komandan pasukan elite Garda Nasional yang diperkuat pemuda Badui yang setia kepada pendiri, Raja Abdul Aziz. Tahun 1975, Raja Khalid menunjuk Pangeran Abdullah sebagai deputi kedua PM. Tahun 1982, Raja Fahd menunjuk Pangeran Abdullah sebagai putra mahkota.
Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud lahir tahun 1924. Ia adalah Raja Arab Saudi yang keenam. Dari empat istrinya lahir 10 putra dan 10 putri.
Abdullah mendapat pendidikan tradisional di lingkungan Sekolah Kerajaan di tangan para ulama kenamaan dan dibesarkan di bawah pengawasan langsung Raja Abdul Aziz.
Pangeran Abdullah sebagai putra mahkota mendapat tugas menggelar sidang Kabinet dan mengadakan pertemuan dengan para gubernur untuk membahas isu keseharian.
Musthafa Abdul Rahman
Rakyat Arab Saudi Sambut Reformasi
AP Photo/Saudi Press Agency Raja Abdullah dari Arab Saudi dalam sebuah pertemuan di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, Sabtu lalu. Rakyat Arab Saudi, Senin (16/2), menyambut hangat kebijakan reformasi yang diambil Raja Abdullah, termasuk mengangkat seorang perempuan menjadi deputi menteri, jabatan tertinggi perempuan Arab Saudi dalam pemerintahan di negara itu. |
riyadh, minggu - Rakyat Arab Saudi, Minggu (15/2), menyambut baik reformasi Raja Abdullah bin Abdul Aziz dengan merombak pemerintahannya. Langkah itu dinilai tegas dan berani, apalagi karena ada dua tokoh agama konservatif yang harus lengser dan pengangkatan pejabat perempuan pertama.
”Reformasi yang berani,” sebut harian Al-Hayat di judul halaman pertamanya. Sementara di harian Saudi Gazette perombakan di dalam kabinet itu dianggap sebagai ”dorongan reformasi”.
”Fantastis. Ini yang selama ini telah kita perjuangkan,” kata Ketua Human Rights First Society Ibrahim Mugaiteeb, yang selama ini kerap berhadapan dengan pemerintah dalam masalah pelanggaran-pelanggaran HAM.
Untuk pertama kali—sejak Raja Abdullah mulai berkuasa pada Agustus 2005—ada perombakan kabinet besar-besaran dalam Pemerintah Arab Saudi. Pada reformasi Raja Abdullah, ada empat menteri baru, pejabat kehakiman senior diganti, dan perombakan massal dalam tubuh Majelis Ulama (lembaga berisi tokoh-tokoh ulama yang bertugas menginterpretasikan hukum Islam di dalam kehidupan sehari-hari).
Selain itu, Raja Abdullah juga menunjuk 79 anggota baru dalam Dewan Syura. Kepala Kepolisian Religius Muttawa Sheikh Ibrahim al-Ghaith yang selama ini gencar menetapkan norma Islam yang ketat dan berbeda pendapat serta kerap berbenturan dengan pejabat-pejabat pemerintah yang lebih liberal. ”Ini tanda ada transformasi di dalam pemerintahan kerajaan Arab Saudi,” sebut editorial harian Arab News.
Kelompok yang pro-reformasi menyambut positif langkah Raja Abdullah, apalagi dengan diangkatnya beberapa pejabat yang relatif berusia muda. Ini dianggap sebagai tanda keseriusan Raja Abdullah. ”Perubahan ini telah direncanakan selama lima tahun terakhir. Raja Abdullah berusaha meninggalkan jejak dengan perubahan di sektor pendidikan dan hukum. Beliau tak akan diganggu kelompok konservatif. Kekuatan mereka terlalu dibesar-besarkan. Kita harus berani lawan. Mereka tidak memiliki solusi persoalan di dunia modern. Yang penting bagi rakyat saat ini adalah ekonomi,” kata editor harian Al-Watan, Jamal Khashoggi.
Selain masalah ekonomi, Arab Saudi juga menghadapi tantangan mengenai persoalan lapangan pekerjaan dan sektor perumahan. Raja Abdullah beberapa waktu lalu masih berhati-hati memutuskan kebijakan meski telah dikenal sebagai pemimpin yang memiliki pandangan reformis.
Meski merombak besar-besaran, kekuasaan raja tetap terbatas. Raja Abdullah masih harus mempertimbangkan aspirasi dari anggota keluarga besar kerajaan, ulama, dan opini publik. ”Raja akan melakukan perubahan lagi dalam berbagai bidang secara bertahap. Tak ada lagi yang menentang raja di dalam lingkup keluarga dan ia dipercaya rakyat,” kata pakar politik di Pusat Penelitian Teluk di Dubai, Mustafa Alani.
Revolusi mini
Pergantian dua ulama garis keras menunjukkan keinginan Raja Abdullah mempercepat reformasi dan memangkas pengaruh agama pada sistem hukum dan pendidikan. ”Reformasi tak akan ada dengan kehadiran tokoh konservatif, terutama di institusi agama. Saat ini kita sedang menyaksikan revolusi mini,” kata Alani.
Raja Abdullah dikenal sebagai pemimpin yang membawa angin perubahan, seperti pembentukan dewan yang bertugas menentukan suksesi kerajaan dan memulai proses dialog antaragama dengan para pemimpin Nasrani dan Yahudi. Raja Abdullah beranggapan elite religius—yang membantu keluarga Al-Saud membentuk kerajaan dengan Al Quran sebagai konstitusi tahun 1930-an— menghalangi upaya reformasi pada bidang hukum dan pendidikan. (REUTERS/AFP/LUK)
Senin, 16 Februari 2009
Lompatan Arab Saudi
Keputusan Raja Abdullah, mengangkat Noura al-Faez menjadi deputi menteri pendidikan urusan perempuan, sebuah lompatan besar Arab Saudi.
Ini kali yang pertama dalam sejarah Arab Saudi sejak negara kerajaan itu diproklamasikan oleh Abdul Aziz bin Saud pada tahun 1932. Dan, Noura al-Faez adalah wanita pertama yang menjadi pejabat senior di negerinya.
Selama ini tidak hanya sekali kelompok Human Rights Watch menyoroti status perempuan di Arab Saudi yang mereka nilai kurang mendapat hak yang sama dengan laki-laki. Bahkan, sebuah pernyataan kelompok Human Rights Watch seperti dikutip BBC News menyebut, Arab Saudi adalah satu-satunya negeri di dunia ini yang tidak mengizinkan perempuan mengemudikan mobil sendiri.
Masih menurut laporan itu, perempuan juga tidak diperbolehkan membuka rekening bank untuk anak-anak, mendaftarkan anak ke sekolah, dan pergi bersama anaknya tanpa seizin suami atau ayah anak itu.
Karena itu muncul banyak seruan agar Arab Saudi mereformasi diri. Bahkan, suara perlunya perubahan itu muncul dari kalangan istana sendiri. Pangeran Talal bin Abdul-Aziz, saudara tiri Raja Abdullah, pernah menyerukan perlunya reformasi politik di negerinya. Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah yang memenjara para reformis.
Namun, sejak menjadi raja tahun 2005, banyak perubahan yang dilakukan Abdullah. Ia dikenal sebagai tokoh reformis. Di dunia internasional pun Raja Abdullah dipandang sebagai tokoh yang berpikiran maju dan terbuka. Ia antara lain memprakarsai dialog antar-agama tahun lalu. Ia yakin dialog antaragama akan menumbuhkan saling pemahaman dan pengertian di antara para pemimpin dan juga umat beragama yang pada gilirannya akan melahirkan perdamaian.
Kini, langkah maju dilakukan lagi. Ia tidak hanya mengangkat Noura al-Faez sebagai deputi menteri pendidikan, tetapi juga memecat dua pejabat agama yang begitu berkuasa. Salah satu yang dipecat adalah hakim Sheikh Saleh al-Luhaidan karena mengizinkan pembunuhan terhadap para pemilik saluran televisi satelit yang menyiarkan program-program tidak bermoral.
Memang, kerajaan tetaplah pemegang kekuasaan absolut dan perubahan politik riil tidak ada dalam agenda. Akan tetapi, sekecil apa pun perubahan yang dibuat Raja Abdullah kalau itu memberikan ruang bagi terciptanya kemajuan, demokratisasi, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, itu adalah langkah yang harus dipuji.
Apalagi, bidang yang diserahkan kepada perempuan adalah pendidikan. Bukankah pendidikan merupakan peletak dasar dan pintu masuk ke arah perubahan. Lewat pendidikan, terjadi transfer pengetahuan dan nilai-nilai, termasuk nilai-nilai kemanusiaan.
Raja Arab Saudi Meniti Reformasi
AP Photo/Hussein Malla Demonstran melintas di depan gambar Raja Abdullah dari Arab Saudi, saat aksi peringatan empat tahun bom mobil yang menewaskan mantan PM Lebanon Rafik Hariri, di Beirut, Lebanon, Sabtu (14/2). Raja Abdullah melakukan reformasi besar-besaran di negerinya. |
kairo, kompas - Raja Abdullah bin Abdul Aziz dari Arab Saudi, Sabtu (14/2), melakukan reformasi di negaranya. Dia membongkar kabinet pemerintahan, mengganti gubernur bank sentral, dan mengangkat perempuan pejabat pertama Noura al-Faez sebagai wakil menteri pendidikan.
Raja Abdullah juga mengganti Kepala Dewan Mahkamah Agung, Sheikh Saleh al-Luhaidan, yang selama ini dituding menghalangi upaya reformasi. Selain perubahan di jajaran institusi agama, Raja Abdullah juga menunjuk pejabat baru di departemen pendidikan, kehakiman, penerangan, dan kesehatan.
Perubahan terbesar ada di lembaga Dewan Syura. Ketua Dewan Syura Luhaidan, yang telah menjabat di posisi itu selama lebih dari 40 tahun, digantikan oleh Saleh bin Humaid.
Selama ini Luhaidan amat terkenal karena beberapa kebijakan ”tegas” yang berpijak pada ajaran konservatif. Salah satu pernyataan tegas pernah diutarakan Luhaidan, September lalu, untuk menanggapi program-program di stasiun TV satelit. Menurut Luhaidan, pemilik stasiun TV satelit yang menayangkan program ”tidak bermoral” harus dibunuh.
Perubahan besar yang lain juga terjadi di institusi tertinggi berisi ulama-ulama besar, yaitu Dewan Ulama. Untuk pertama kalinya, Raja Abdullah menunjuk utusan dari empat sekolah hukum agama Islam Sunni di dalam Dewan Ulama. Sebelumnya hanya tokoh atau perwakilan dari sekolah-sekolah Hambali yang mendominasi di Dewan Ulama. Akibatnya, yang mendominasi di dewan itu hanya ajaran versi Arab Saudi konservatif.
Pada sektor ekonomi, Raja Abdullah juga mengganti Direktur Bank Sentral Hamad Saud al- Sayyari yang sudah menjabat posisi itu selama 26 tahun (sejak tahun 1983). Sebagai pengganti, Raja Abdullah menunjuk Muhammad al-Jasser, wakil gubernur Badan Moneter Arab Saudi (SAMA). ”Ini titik balik bagi Arab Saudi. Perubahan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Arab Saudi selama 20 tahun,” kata salah seorang anggota Dewan Syura, Mohammad al-Zulfa.
Perempuan pertama
Perubahan lain yang juga mengejutkan adalah penunjukan seorang perempuan, Noura bin Abdullah al-Faez, sebagai salah satu wakil menteri pendidikan dan pengajaran. Noura akan membantu Menteri Pendidikan dan Pengajaran Pangeran Faisal bin Abdullah, salah satu putra Raja Abdullah.
Noura menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan tertinggi pemerintahan di negara yang dikenal konservatif dan puritan itu. Kaum perempuan Arab Saudi masih dilarang mengemudikan kendaraan. Terpilihnya Noura menjadi dobrakan baru dalam tradisi sosial politik Arab Saudi. Pangeran Faisal bin Abdullah menyambut baik penunjukan perempuan sebagai salah satu wakilnya. ”Penunjukan perempuan ini hal yang wajar. Perempuan adalah mitra pria dan tidak perlu dipandang aneh, apalagi Noura mempunyai kemampuan dan kredibilitas untuk itu,” kata Pangeran Faisal.
Noura menyatakan, ini adalah langkah awal yang akan diikuti masuknya perempuan di posisi tinggi kementerian lain. ”Ini merupakan kehormatan bagi kaum perempuan Arab Saudi,” kata Noura, ibu dari lima anak yang meraih gelar master bidang pendidikan dari universitas di AS.
Sejak Juni 2001, Noura menjabat direktur urusan perempuan di institut administrasi di Riyadh. Ia juga pernah menjabat sebagai direktur seluruh sekolah perempuan selama satu tahun. Ia menegaskan, dalam posisi sebagai deputi menteri, akan melaksanakan banyak program dalam pengembangan pendidikan kaum perempuan. Dia akan membentuk tim kerja terpadu dengan dipimpin kementerian pendidikan. (REUTERS/AFP/AP/MTH/LUK)
Kamis, 05 Februari 2009
Ulama dan Fungsi Intelektual Organik
Akh Muzakki
(Dosen IAIN Sunan Ampel, kandidat PhD di The University of Queensland, Australia)
Saat dipenjarakan oleh Mussolini pada dekade 1930-an, Antonio Gramsci menuliskan gagasan-gagasan cemerlangnya. Gagasan-gagasan itu pada beberapa kurun berikutnya muncul dalam karyanya berjudul, Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (1971).
Salah satu gagasan cemerlangnya adalah diskursus yang dikembangkannya mengenai konsep intelektual (1971: 5-16). Gramsci membagi intelektual ke dalam dua kategori: tradisional dan organik. Menurutnya, intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan kongsi dan aliansi dengan kaum penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial. Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya muncul secara alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat, bukan dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya. Atau, dalam bahasa Gramsci, muncul dari kelompok pekerja (the working class). Karena itu, mereka cenderung revolusioner dan tidak konservatif.
Memang, perlu menjadi catatan bahwa diskursus intelektual tradisional dan organik yang telah disebutkan tadi dikembangkan oleh Gramsci dalam konteks perjuangan kelas sosial, antara kelas pekerja dan kelas borjuasi. Namun demikian, semangat akademik dari pemaknaan kategorikal atas konsep intelektual ala Gramsci ini, menurut hemat saya, perlu kita refleksikan untuk melihat perkembangan terbaru pergerakan kaum ulama di Indonesia.
Kasus terbaru dari pergerakan ulama dimaksud adalah berkumpulnya sekitar 700 ulama dan cendekiawan yang berada dalam wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam forum Sidang Ulama Fatwa III MUI yang diselenggarakan 24-26 Januari di Padang Panjang, Sumatra Barat.
Dalam sidang itu, akhirnya diputuskan fatwa haram merokok bagi wanita hamil dan anak-anak serta merokok di tempat umum. Di luar tiga kategori itu, hukum merokok jatuh pada makruh (Republika, 27/01/2009).
Berbagai pro dan kontra kontan menyeruak ke permukaan sebagai reaksi atas keputusan MUI tersebut. Namun, alih-alih turut terlibat dalam tarik-menarik kekuatan argumentatif menyangkut fatwa MUI ini, tulisan ini lebih tertarik untuk mendiskusikan fungsionalisasi dari peran intelektual organik yang dimainkan oleh para ulama di balik pro dan kontra dimaksud.
Argumen Pro-kontra
Keputusan yang dihasilkan dalam forum Sidang Ulama Fatwa III MUI tersebut memang lahir sebagai jalan tengah atas perdebatan panjang dan kontroversi menyangkut keharaman rokok. Menurut Prof Amin Suma, selaku wakil ketua Komisi B-1 yang membidangi persidangan masalah rokok, seperti diberitkan sejumlah media, alasan mendasar atas munculnya fatwa haram rokok adalah banyaknya mudarat (bahaya) daripada manfaat yang datang dari praktik merokok.
Analoginya diambilkan dari kasus minuman keras yang diharamkan karena mendatangkan banyak mudarat daripada manfaat. Karena itu, rokok diharamkan bagi kelompok-kelompok sosial yang berkaitan erat dengan masa depan bangsa (yakni wanita hamil dan anak-anak) serta yang berhubungan dengan kepentingan publik, yakni merokok di tempat umum.
Pada sisi lain, hukum makruh dijatuhkan oleh MUI dengan dua pertimbangan utama. ''Selain karena masih banyak yang merokok, warga Indonesia masih menggantungkan ekonominya pada produksi rokok," kata Amin Suma seusai sidang Komisi B-1 di aula Perguruan Diniyyah Puteri, Jalan Abdul Hamid Hakim, Padang Panjang, seperti diberitakan oleh sejumlah media.
Fatwa MUI dengan segala pertimbangannya tersebut tidak secara bulat diamini oleh para ulama lainnya. Ketua MUI Jawa Timur, KH Abdusshomad Bukhari, misalnya, menilai fatwa haram rokok justru lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya. Salah satunya adalah akan membengkaknya jumlah angka pengangguran menyusul ribuan anggota masyarakat yang bekerja pada sektor yang terkait dengan industri rokok, seperti di Jawa Timur. Bahkan, Abdusshomad Bukhari berujar, "Saya tidak mau bertanggung jawab kalau fatwa tersebut dikeluarkan. Karena, akan banyak masyarakat Jatim yang menganggur." Respons senada datang dari KH Hasyim Muzadi, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Dia tidak sepakat dengan fatwa haram rokok bagi orang-orang dengan kriteria tertentu yang dikeluarkan oleh MUI itu.
Menurutnya, PBNU berketetapan merokok hanya diberi fatwa makruh. Yakni, dianjurkan untuk dihindari. Lebih lanjut Hasyim mengatakan, bahaya rokok relatif dan tidak bisa dibandingkan dengan minuman keras.
Fatwa dan agamawan organik
Kalau dicermati secara saksama, pertimbangan mereka yang sepakat dengan fatwa haram rokok dan mereka yang tidak sependapat bermuara pada satu kepentingan dasar. Yakni, menjaga kepentingan dan kebajikan umat secara kebanyakan. Tentu saja, kaidah-kaidah fiqhiyah yang masing-masing terapkan bisa saja sama. Semisal, kaidah daf'ul mafasid muqaddam `ala jalbil masolih (menjauhkan kerusakan lebih didahulukan daripada merengkuh kemaslahatan). Juga kaidah lainnya, akhaffudl dlororoin (mendahulukan kepentingan yang risiko kemudaratannya paling rendah).
Tapi, fakta membuktikan bahwa pertimbangan yang dipakai dalam melihat kasus rokok berbeda antara yang pro dan kontra. Bagi pihak yang pro, fatwa haram rokok atas wanita hamil, anak-anak, dan merokok di tempat umum, kepentingan jauh ke depan bagi sebuah bangsa menjadi pertimbangan utama.
Bagi yang kontra, kepentingan jangka panjang tidak seharusnya mengenyahkan kepentingan kekinian dari kehidupan publik. Karena, faktanya, jumlah anggota masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor industri rokok jumlahnya sangat gemuk. Dan, fakta ini harus menjadi pertimbangan mendasar bagi penjatuhan ketentuan hukum. Bila tidak, keterpurukan hidup akan secara kuat mengitari publik.
Menunjuk pada fakta dan semangat pertimbangan berhukum atas soal rokok itu, sulit rasanya menutup mata atas peran ulama dalam menjamin kepentingan publik secara kebanyakan. Fakta atas fatwa rokok memang tidak tunggal. Pro dan kontra sangat jelas terbaca. Tapi, pertimbangan dasar atas sikap yang dijatuhkan pada masalah rokok memiliki titik persinggungan yang dekat terkait dengan kepentingan dan kebaikan publik. Muslim Abdurrahman (lihat bukunya, Islam sebagai Kritik Sosial, 2003:69) pernah merangkai anggitan ulama sebagai agamawan organik. Anggitan ini diberlakukan dalam konteks keterlibatan kepemimpinan yang transformatif untuk mengantarkan umat, bukan sekadar menjadi individu yang saleh (good person), tapi juga warga negara yang baik (good citizen). Dan, pergerakan ulama dalam kasus fatwa atas rokok di atas menjadi awal yang baik bagi peneguhan anggitan agamawan organik dimaksud.
Saat menjelaskan kategorinya atas konsep intelektual, Gramsci menyatakan: "All men are intellectuals, but not all men have in society the function of intellectuals."
Menurutnya, banyak orang yang bisa menjadi intelektual, tetapi tidak semuanya di masyarakat itu yang bisa memainkan fungsi sebagai intelektual.
Dalam kasus fatwa rokok, dan mungkin yang lainnya, tampak bahwa ulama memiliki fungsi sebagai intelektual organik. Pasalnya, pertimbangan mereka adalah demi kebajikan dan kebaikan bersama elemen bangsa ini.
Fatwa sudah dijatuhkan. Pro dan kontra lahir pula atasnya. Sekarang, tergantung pada nurani kita bersama. Hanya nurani publiklah yang bisa mengukur fatwa mana yang hendak diikuti. Karena itu, bertanyalah kepada hati nurani.
Selasa, 03 Februari 2009
Fikih tentang Merokok
| |||