Jumat, 26 Desember 2008

Inilah Penyelenggara Negara Paling Korup


Selasa, 23 Desember 2008 | 17:50 WIB

JAKARTA, SELASA- Pejabat eselon dan pimpinan proyek menduduki peringkat pertama sebagai pegawai negeri/penyelenggara negara pelaku korupsi pada tahun 2008. Ini berdasarkan hasil penelitian Indonesia Corruption Watch tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2008.

"Perkara korupsi yang ditangani KPK berdasarkan pelaku, yang menduduki peringkat tertinggi dengan jumlah 22 orang dari 86 orang yang ditangani. Sementara urutan kedua yang paling banyak melakukan korupsi itu duta besar, pejabat konsulat, dan imigrasi, sebanyak 15 orang," ujar Wakil Koordinator ICW, Danang Widoyoko dalam presentasinya di diskusi terbuka "Refleksi Satu Tahun Kinerja KPK Jilid II" di Jakarta, Selasa (23/12).

Sedangkan anggota DPR yang akhir-akhir ini digembar-gemborkan sebagai koruptor justru menduduki baru peringkat ke empat. Pada 2008 ini, ada delapan orang yang diperkarakan oleh KPK.

Lebih lanjut, inilah pegawai negeri/penyelenggara negara yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi:

1. Pejabat eselon dan pimpro, 22 orang.

2. Duta besar, pejabat konsulat, imigrasi, 15 orang.

3. Kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), 13 orang.

4. Anggota DPR/DPRD, 8 orang.

5. Dewan Gubernur/pejabat Bank Indonesia, 7 orang.

6. Komisi Negara, 2 orang.

7. Pejabat BUMN, 2 orang.

8. Aparat hokum, 1 orang.

Untuk swasta, KPK telah menyeret 16 orang selama 2008.


BOB

Rabu, 24 Desember 2008

Dakwah Politik Vs Politik Dakwah

Dr Atabik Luthfi
Ketua Ikadi Jakarta

Diskursus seputar politik dakwah dan dakwah politik terus bergulir yang berawal sebenarnya dari sebuah kekhawatiran akan terjadinya distorsi pemetaan antara dakwah dan politik di ranah kenegaraan. Politik identik dengan kekuasaan yang berarti menghalalkan segala cara, sementara dakwah adalah untuk kebaikan dan perbaikan masyarakat yang jelas tujuan dan misi yang diembannya.

Paradigma ini terus berlangsung sekian lama sampai lahirnya PKS, sebuah partai yang mengusung jargon dan misi dakwah dalam praktik perpolitikannya. Menjelang pemilu 2009, kembali wacana partai dakwah mencuat seiring kerisauan segolongan yang tak mau politik bahwa dakwah akhirnya menjadi korban politik.

Sejak awal idiom partai dakwah merupakan tantangan terbesar bagi para politikus Muslim. Di satu pihak, nilai Islam harus selalu hadir dalam keseharian politik mereka. Manakala sistem perpolitikan yang sekian lama berlangsung justru berseberangan dengan nilai dakwah dan politik Islam itu sendiri, tentu kekhawatiran itu wajar saja muncul karena memang mempertemukan politik dengan dakwah merupakan satu fenomena dan ijtihad yang baru di arena perpolitikan Indonesia yang sekian lama jauh dari nilai dakwah atau sama sekali tidak beririsan dengan dakwah.

Ini bisa saja menjadi upaya politisasi dakwah dalam konotasi positif, yaitu mengemas dakwah dalam kemasan politik yang menjunjung tinggi nilai kebaikan dan kemanusiaan. Atau akan menjadi dakwahisasi politik, dalam arti membawa dakwah dalam wilayah politik sehingga praktik dakwah sedikit demi sedikit akan bergeser menjadi praktik yang sesuai dengan nilai siyasah syar'iyyah yang dijunjung tinggi oleh Islam. Pada tataran ini, kembali semangat menjunjung siyasah syar'iyyah dalam wilayah politik praktis direduksi perannya atau dimarginalkan.

Hakikat dakwah
Dakwah Islam yang telah berlangsung sekian lama ini pada intinya adalah sebuah proses dan upaya tabligh dalam arti menyampaikan kebenaran ajaran agama untuk membangun tatanan kehidupan yang penuh kedamaian dan jauh dari dendam masa lalu serta berusaha menatap ke depan yang lebih baik. Dalam bahasa fikih dakwah, membawa manusia dari jahiliyah menuju ilmiah, dari keadaan terpuruk menjadi penuh kemaslahatan, dan keadaan yang tidak mengindahkan aturan menuju keadaan yang memahami serta menaati peraturan dan begitu seterusnya.

Dalam hal ini jelas kebenaran ajaran Islam bahwa berpolitik bagian dari dakwah dan dakwah merupakan tujuan dari berpolitik. Karena Islam tidak hanya hadir di wilayah kematian, formalitas pertemuan dan wilayah kaku lainnya. Itu semua tidak membutuhkan ijtihad berat untuk mengusungnya. Semua sepakat dan siap melakukan ajaran Islam pada tataran simbolis demikian.

Tetapi, ketika yang diusung adalah ide kesatuan Islam yang terdiri dari persoalan akidah, ibadah, akhlak dan muamalah, baik dalam skala individu, keluarga, dan bermasyarakat serta bernegara tentu wajar jika mengundang polemik dan pertanyaan yang berterusan. Semestinya setiap kita berusaha mengangkat sisi keislaman tersebut dari aspek yang digeluti sehari-hari sehingga kesempurnaan dan komprehensivitas Islam tampak jelas.

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat 5: 56: "Wahai Rasul, sampaikan semua apa yang telah diturunkan kepada engkau dari Tuhanmu. Jika engkau tidak melakukan itu, berarti engkau tidak melaksanakan perintah Allah tersebut". Antara lain menyebutkan dalam konteks dakwah bahwa tugas seorang Muslim menyampaikan totalitas ajaran Islam. Ini karena jika ada salah satu dari ajarannya yang tidak atau belum tersampaikan maka sama artinya tidak menyampaikan Islam.

Di sini kembali sisi politik dari Islam meminta peran Muslim untuk berkiprah mengusungnya. Tentu masing-masing berperan sesuai dengan kapasitas dan otoritasnya masing-masing.

Kalimatun sawa
Karena sifat Islam tidak terbatas, ajarannya pun tidak boleh dibatasi oleh segmentasi tertentu yang berakibat terjadinya pengebirian otoritas Islam sebagai satu-satunya agama yang syamil dan mutakamil. Jika kemudian ada indikasi dalam perjalanan sebuah partai dakwah nantinya terjadi hal-hal yang belum dipahami sebagai strategi dakwah yang berarti juga strategi politik, jangan sampai mengorbankan nilai universalitas Islam yang menjadi ciri keistimewaan agama terakhir ini.

Tidak kemudian umat dilarang membawa nama agama dalam kerja politik mereka selama memolitisasi dakwah untuk keuntungan sesaat dan sepihak. Sejarah mencatat dalam perjalanan partai yang berasas Islam dalam setiap pemilihan umum selalu berkutat pada capaian angka 7-8 persen sehingga akan membenarkan stigma yang terus diembuskan selama ini bahwa Islam memang tidak cocok terlibat di wilayah politik atau memenangkan pertarungan politik.

Ini berarti juga Islam harus kembali ke barak, harus pulang kandang, ke masjid. Lantas, di mana letak upaya pembumian Islam dalam konteks siyasah syar'iyyah? Nah, salah satu strategi dakwah dalam konteks amar ma'ruf nahi munkar yang menjadi esensi dakwah seperti yang diungkapkan oleh Mushthafa Masyhur dalam thariqud dakwah jangan sampai proses mengubah kemungkaran itu mengakibatkan lahirnya kemungkaran yang lebih besar.

Inilah kalimatun sawa antarumat Islam. Saatnya mendudukkan kerja-kerja politik dalam tataran kebaikan dan kemaslahatan bersama dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia dengan strategi yang lebih mengedepankan maslahat untuk semua pihak.

Kita masih punya waktu membenahi paradigma yang benar tentang menyatukan politik dalam dakwah dan dakwah dalam politik. Tentu karena ini wilayah politik maka strategi dan upaya yang dilakukan harus juga sesuai dengan praktik perpolitikan dengan senantiasa mengacu kepada koridor nilai-nilai Islam yang universal. Di sini setiap kita dituntut arif mencermati setiap strategi kebijakan yang coba dijalankan oleh sebuah partai yang menjadikan dakwah sebagai basis aktivitasnya.

Konsep kerja sama
Ibnu Asyur mengetengahkan ide yang berbeda dengan kalangan mufassir yang lain tentang konsep kerja sama (//ta'awun//) dalam kebaikan dan menghadirkan ketakwaan, seperti yang diperintahkan dengan tegas dalam surat Al-Maidah (2) "Saling bekerja samalah kalian semua (tanpa membedakan apa pun) untuk menghadirkan kebaikan yang bersifat universal dan dalam rangka mengimplementasikan ketakwaan kepada Allah." Bahwa konsep ini harus dijalankan sejajar dan tidak dibatasi antarkomunitas Muslim dan Muslim yang lainnya, melainkan antarsesama manusia dengan syarat nilai kebaikan dan kemaslahatan yang diusungnya.

Catatan lain dari beliau, setiap kita tidak terjebak dengan dikotomi ideologis, ras, dan sebagainya untuk menghadirkan kebaikan tersebut. Hakikatnya kebaikan milik semua manusia dan menjadi fitrah dasar penciptaan mereka. Jangan sampai karena kesalahan yang dilakukan, kita bersikap antipati untuk mengusungkan kebaikan dan perbaikan di masa yang akan datang dengan siapa pun.

Dalam hal ini, saling menaruh kepercayaan dalam koridor kerja sama dalam kebaikan merupakan sebuah keniscayaan jika kita menginginkan kebaikan dan perbaikan keadaan bangsa pada masa mendatang. Rasanya kita masih harus belajar untuk saling mencintai kebaikan, mengusungnya, dan siap bekerja sama untuk itu dengan siapa pun tanpa terkecuali dan dalam seluruh segmen kehidupan, termasuk bidang politik sekalipun.

Ikhtisar:
- Berpolitik bagian dari dakwah dan dakwah merupakan tujuan dari berpolitik.
- Praktik perpolitikan harus senantiasa mengacu kepada koridor nilai-nilai Islam yang universal.

Pro Ekonomi Syariah Pro Rakyat

Irfan Syauqi Beik
Dosen FEM IPB, Kandidat Doktor IIUM dan Ketua PPI Malaysia

Krisis berkepanjangan yang menimpa sejumlah negara besar masih meninggalkan sejumlah persoalan yang sangat serius bagi bangsa Indonesia. Dalam bahasa ekonom FEM IPB, Iman Sugema, ada tiga kiamat (trio doom) yang menimpa perekonomian dunia akibat krisis finansial yang bermula dari AS, yang boleh jadi menjadi penyebab turning pointatau titik balik perekonomian nasional pada 2009.

Kiamat pertama adalah property doom atau kiamat properti, yang ditandai dengan jatuhnya harga properti di AS. Kemudian, financial doom atau kiamat finansial, yang ditandai dengan menurunnya indeks bursa dunia pascakrisis dan belum menunjukkan tanda akan pulih sepenuhnya dalam waktu dekat. Beberapa bursa mengalami penurunan indeks lebih dari 30 persen, seperti Cina (62,9%), Jepang (38,3%), dan Jerman (35,6%). Kiamat yang ketiga adalah commodity doom, di mana harga sejumlah komoditas mengalami penurunan, seperti turunnya harga CPO dan kopi robusta sejak Juli 2008, masing-masing sebesar 61,9 persen dan 15 persen.

Kondisi ini mengakibatkan terjadinya dry up pada likuiditas global, di mana banyak perusahaan keuangan besar dunia menarik likuiditasnya demi mengatasi kerugian yang terjadi. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan di sektor riil pun terganggu.

Hal tersebut ditandai dengan semakin melemahnya permintaan di sejumlah pasar tujuan ekspor, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Memang jika dianalisis, kinerja perdagangan bilateral Indonesia dan AS tidak terlalu memengaruhi kinerja ekspor nasional. Ini karena total ekspor kita ke AS hanya 9-10 persen dalam dua tahun terakhir, di mana angka ini kurang dari tiga persen PDB kita.

Namun, melemahnya perekonomian AS membawa efek berantai pada sejumlah negara mitra dagang Indonesia. Dengan lemahnya permintaan di negara-negara tersebut, tidaklah mengherankan jika persentase tren ekspor Indonesia turun, bahkan drop 11,6 persen per Oktober 2008.

Diperkirakan memasuki semester pertama 2009 akan terjadi gelombang PHK besar-besaran, sebagaimana yang diprediksi Aviliani, akibat berakhirnya kontrak ekspor sejumlah perusahaan Indonesia. Jika ini terjadi, angka pengangguran diperkirakan akan naik. Sudah pasti keadaan ini akan mengundang demonstrasi buruh dalam skala yang lebih besar. Dipastikan kondisi sosial ekonomi bangsa ini akan semakin berat.

Sejumlah tantangan
Tantangan lain yang juga berat adalah masih rendahnya daya saing produk bangsa kita. Akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, akan terjadi persaingan memperebutkan pasar ekspor. Sebagai negara yang besar, tentu Indonesia berpotensi menjadi pasar potensial sejumlah produk impor.

Diperkirakan Cina akan tetap merajai produk impor ke Tanah Air. Selama beberapa tahun terakhir ini dominasi Cina belum mampu dipatahkan. Ini menjadi tantangan mengingat penguatan pasar domestik menjadi salah satu solusi dalam menghadapi krisis global, di mana produk lokal yang mampu menjadi substitusi barang impor sangat dibutuhkan.

Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah peningkatan daya saing UKM. Indeks skor UKM kita terkecil bila dibandingkan dengan sejumlah negara anggota APEC. Padahal,share UKM terhadap PDB Indonesia lebih dari 50 persen. Tanpa perbaikan daya saing ini, UKM kita akan menghadapi sejumlah kesulitan dalam memasarkan produknya.

Meski demikian, kondisi berat tersebut bukan berarti akhir dari segalanya. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh oleh bangsa ini untuk keluar dari situasi krisis global. Banyak potensi bangsa yang masih dapat dioptimalkan. Misalnya, tingginya tingkat saving yang mencapai 34 persen dari rasio PDB. Ini menunjukkan dana-dana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai modal peningkatan investasi produktif.

Kemudian, Indonesia dapat pula memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada sebagai underlying assetuntuk menarik investasi Timur Tengah berbasis sukuk. Meski ada permasalahan likuiditas global, kondisi Timteng relatif lebih baik.

Tidaklah mengherankan beberapa waktu lalu PM Inggris Gordon Brown sempat melakukan 'safari' ke Timteng, meminta mereka secara aktif berinvestasi di Inggris dan terlibat dalam upaya mengurangi tekanan resesi global. Meski demikian, ada tiga kendala utama yang harus diperhatikan, mengingat ketiga hal ini sering menjadi bahan pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Pertama, instabilitas makro yang diindikasikan dengan tingginya laju inflasi dalam tiga tahun terakhir. Kedua, problematika infrastruktur yang ditandai dengan keterbatasan sejumlah sarana dan prasarana, seperti jalan, jalur kereta api, dan pasokan listrik. Ketiga, persoalan korupsi yang sangat akut.

Survei Transparency International menunjukkan posisi Indonesia berada di urutan 134 dari 163 negara yang disurvei. Khusus mengenai korupsi ini, penulis berharap peran KPK dapat lebih dioptimalkan dan upaya pelemahan fungsi KPK yang saat ini tampak harus segera diakhiri.

Kebijakan proekonomi syariah
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kondisi perekonomian. Pertama, memperkuat industri keuangan syariah secara umum yang lebih prosektor riil. Penguatan ini antara lain bisa dilakukan dengan meningkatkan volume aset perbankan syariah, antara lain melalui pendirian BUS baru (seperti Bank Bukopin Syariah), memperbesar volume UUS, serta menempatkan dana pemerintah di perbankan syariah. Kemudian, memperkuat posisi lembaga keuangan mikro syariah dan BPRS dengan konsolidasi dan pembentukan jaringan LKMS dan BPRS di tingkat nasional.

Selanjutnya, penguatan pasar modal syariah. Ada kecenderungan pada jangka panjang peran pasar modal akan semakin dominan. Namun, pelajaran yang dapat diambil dari krisis ini adalah ketika transaksi di lantai bursa dilakukan dengan tanpa adanya kejelasan underlying asset, yang terjadi adalah penggelembungan-penggelembungan nilai aset yang pada akhirnya justru merugikan. Bubble economy yang sangat rentan ini harus diatasi dengan penguatan pasar keuangan syariah.

Kedua, sukuk dapat dijadikan sebagai alat investasi untuk pembangunan sarana infrastruktur. Kita menyambut baik penerbitan perdana sukuk negara beberapa waktu lalu. Namun, jika dana sukuk digunakan untuk menutup defisit APBN pada pos-pos yang kurang produktif, dampaknya terhadap perekonomian kurang terasa.

Seharusnya pemerintah menerbitkan sukuk yang digunakan untuk membangun pelabuhan, bandara, jalan raya, pembangkit listrik, dan sarana infrastruktur lainnya. Ini akan menciptakan multiplier effect yang sangat baik bagi perekonomian.

Ketiga, optimalisasi potensi zakat dan wakaf. Zakat harus dijadikan instrumen perlindungan hak-hak ekonomi kaum dhuafa, sekaligus sebagai alat mempertahankan daya beli kelompok miskin. Beban kemiskinan pun dapat dikurangi dengan memanfaatkan dana zakat melalui program-program karitatif, seperti layanan kesehatan gratis dan beasiswa pendidikan.

Peningkatan produktivitas kelompok miskin dapat difasilitasi melalui program pendayagunaan zakat produktif, seperti pembiayaan dan pendampingan usaha kecil dan mikro. Secara makro, proses people to people transfer diyakini akan banyak membantu meningkatkan kondisi perekonomian.

Selama ini kebijakan yang dilaksanakan berbasis pada konsep government to people transfer, yang dananya bersumber dari pajak dan utang luar negeri. Yang menjadi masalah, ketika utang luar negeri digunakan untuk pos bantuan sosial, beban APBN yang notabene beban rakyat, akan bertambah. Karena itu, zakat merupakan jalan keluar terbaik sehingga beban defisit APBN akan dapat dikurangi secara signifikan.

Wakaf, baik wakaf barang maupun uang, dapat dimanfaatkan sebagai engine of growth. Selama hampir empat abad sejarah mencatat wakaf uang mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu pada zaman Khilafah Turki Usmani yang menguasai sepertiga dunia. Penulis yakin insya Allah dengan menerapkan kebijakan ekonomi syariah secara serius, kepentingan ekonomi rakyat akan terangkat.

Mengelola Ekonomi Haji

Musni Umar PhD
Anggota EPG Indonesia

Krisis keuangan global yang mulai berimbas di negara kita, memaksa bangsa ini untuk waspada karena tidak mustahil menjadi tsunami ekonomi yang memorak-porandakan ekonomi nasional kita dan memberi dampak negatif bagi kehidupan rakyat Indonesia. Untuk itu, sangat penting bangsa ini menyiapkan diri supaya bisa survive di tengah krisis.

Salah satu sikap penting yang perlu diambil ialah mencari dan menemukan potensi yang dimiliki bangsa ini supaya bisa dimanfaatkan dan dijadikan sebagai penyangga dan motor penggerak pengembangan ekonomi di tengah krisis. Menyambut kepulangan jamaah haji di Tanah Air yang selesai melaksanakan ibadah haji, kita ingin melihat sisi lain dari ibadah haji yang setiap tahun dilakukan umat Islam.

Tun Musa Hutam, mantan wakil perdana menteri Malaysia, dalam pertemuan Eminent Persons Group (EPG) Indonesia-Malaysia di Jakarta beberapa waktu mengemukakan besarnya potensi dana haji yang bisa dikelola untuk meningkatkan ekonomi. Malaysia melalui Lembaga Tabung Haji telah berhasil melakukan hal itu dan memutarnya ke dalam berbagai sektor riil yang berperan besar dalam menggerakkan dan memajukan ekonomi.

Menurutnya, dalam menghadapi krisis finansial global, potensi dana dari haji penting dipikirkan untuk dikelola dan dikembangkan untuk memajukan ekonomi karena tidak bisa lagi banyak berharap dana dari negara-negara maju. Mereka juga mengalami krisis finansial yang dahsyat.

Masalahnya, apakah potensi dana haji yang begitu besar tetap dibiarkan berceceran seperti selama ini atau krisis finansial yang sudah mulai menghantam ekonomi kita dan menciptakan PHK massal, memaksa, dan memacu kita untuk melihat potensi yang dimiliki untuk didayagunakan bagi survival dan kemajuan bangsa kita?

Rasanya kita tidak punya banyak pilihan sebagai bangsa, kecuali mendayagunakan dan mengelola sebaik-baiknya kekayaan alam kita yang luar biasa besar dan potensi yang dimiliki, seperti dana haji. Kalau dalam suasana krisis kita bisa memulai melakukan hal-hal tersebut, bangsa ini secara bertahap mempunyai harapan untuk bangkit menjadi negara yang lebih mandiri, lebih kuat, dan makmur pada masa depan.

Bisa belajar
Indonesia ketika mendirikan Bank Muamalat Indonesia pada 1991 banyak diilhami dari keberhasilan pengembangan Bank Islam di Malaysia. Sekarang ini dengan keberhasilan Malaysia mengelola dana haji melalui Lembaga Tabung Haji (LTH) yang didirikan tahun 1963 patut pula mengilhami kita.

Visi LTH ialah mendukung kejayaan ekonomi umat dan pengurusan haji terkemuka (terbilang). Adapun misi LTH ialah memerkasakan ekonomi umat, senantiasa giat mencari pelaburan (investasi) strategis global dan lokal bagi pertumbuhan berterusan (berkesinambungan), menggembleng dan memperkaya modal pendeposit, memberikan perkhidmatan (pelayanan) cemerlang yang berterusan, memudahkan dan menyempurnakan urusan jamaah ke arah haji mabrur, serta memberikan pulangan yang kompetitif, halal dan thoyyiban (baik).

Dengan visi dan misi Lembaga Tabung Haji Malaysia itu, maka di bawah supervisi dan jaminan (blanket guarantee) oleh Pemerintah Malaysia terhadap semua dana haji yang dikelola secara professional oleh LTH, lembaga itu telah berkembang maju dan memberi manfaat yang amat besar. Tidak saja secara spiritual dan material bagi calon haji, tetapi juga ikut berperan memajukan perekonomian Malaysia. Semoga keberhasilan pengelolaan dan pengembangan LTH di Malaysia, kita terilhami dan mau belajar dari keberhasilan negara jiran itu, untuk mulai melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan LTH Malaysia.


Perlu /political will
Mendirikan lembaga LTH di Indonesia, semacam di Malaysia, tidaklah mudah. Sekurang-kurangnya terdapat tiga kendala yang dihadapi. Pertama, urusan haji telah menjadi ladang bisnis yang luar biasa besar dan menguntungkan berbagai pihak. Kedua, urusan haji telah menjadi lahan Depag yang memberi kebanggaan tersendiri, kenikmatan dan keuntungan.

Sebagai contoh, melalui kegiatan haji dapat dikumpulkan dana yang cukup besar menjadi Dana Abadi Umat yang banyak membantu pesantren. Kenikmatan semacam itu tidak mudah untuk dilepaskan.

Ketiga, urusan haji telah melibatkan bermacam-macam kepentingan, tidak hanya motif ibadah, tetapi juga politik dan ekonomi. Oleh karena itu, mereka yang menikmati pelaksanaan haji seperti selama ini, tidak akan rela melepaskannya begitu saja. Maka jika ingin mengelola dan mendayagunakan potensi ekonomi haji yang luar biasa besar untuk kemajuan ekonomi bangsa, harus dengan political will dari pemimpin pemerintahan yang didukung oleh parlemen.

Perkasakan ekonomi rakyat
Pengelolaan dan pendayagunaan potensi ekonomi haji sangat penting. Alasannya, pertama adalah struktur ekonomi Indonesia sangat timpang. Ia bagaikan gelas anggur. Di puncaknya dikuasai oleh kelompok kecil usahawan dengan menguasai 90 persen ekonomi nasional, sementara di tengahnya pengusaha menengah sangat kecil jumlahnya dan pada lapisan bawah adalah ekonomi rakyat yang terdiri dari usaha mikro, usaha kecil dan koperasi merupakan kelompok paling besar, dengan menguasai kue ekonomi yang amat kecil.

Struktur ekonomi semacam ini tidak sehat. Untuk membangun struktur ekonomi 'belah ketupat' sebagai struktur ekonomi yang sehat dan ideal, diperlukan effort (usaha) dan dukungan yang kuat dari semua pihak. Salah satu jalannya ialah membangun lembaga tersendiri untuk mengelola dana haji secara produktif yang jumlahnya diperkirakan paling sedikit Rp 25 triliun jika diasumsikan semua calon haji berdasarkan kuota Indonesia sebanyak 210 ribu orang setiap tahun, sudah mendaftar haji untuk empat tahun, dan telah melunasi ongkos naik haji (ONH).

Dana sebesar itu jika dikelola secara profesional dan hati-hati, setiap tahun bisa menghasilkan keuntungan ratusan miliar rupiah, dengan perkiraan laba 5-10 persen per tahun. Dana itu akan berakumulasi dan terus membesar jumlahnya setiap tahun.

Pada saat likuiditas amat terbatas jumlahnya karena krisis keuangan yang mendera bangsa ini, kita bisa memerkasakan ekonomi rakyat yang jumlahnya sangat besar, dengan menyediakan modal kerja dan modal investasi yang amat diperlukan oleh mereka. Jika dikombinasikan dengan pelatihan pemasaran, akunting, keuangan, dan quality control, ekonomi rakyat akan bangkit dan berkembang menjadi motor ekonomi nasional.

Dengan demikian, akan tumbuh kelas menengah ekonomi yang kuat dan mandiri yang kelak menjadi pilar demokrasi ekonomi dan politik di Indonesia. Kalau mereka yang dilatih para sarjana yang bergerak di sektor ekonomi rakyat, mereka bisa membuka lapangan kerja yang lebih luas dan mengubah struktur ekonomi Indonesia menjadi belah ketupat, di mana lapisan menengah lebih besar daripada lapisan atas.

Masalahnya, adakah kemauan dan keberanian untuk mengambil keputusan? Semoga krisis ekonomi yang mendera bangsa ini memaksa kita berani dan bersatu mengubah paradigma pengelolaan haji, seperti yang dilakukan Malaysia.

Senin, 22 Desember 2008

Dual Currency Deposit

Oleh: Adiwarman A Karim



Di kalangan perbankan syariah, produk deposito dalam berbagai jenis mata uang, terutama rupiah dan dolar AS, telah lama dikenal. Beberapa bank syariah juga telah menyiapkan produk deposito multivaluta. Dalam hal ini, nasabah diberi kebebasan untuk memindahkan depositonya dalam rupiah ke deposito dalam dolar AS, dari deposito dolar AS ke deposito Euro, dan seterusnya.

Untuk memudahkan perhitungan bagi hasilnya, biasanya perpindahan itu dilakukan paling pendek dalam satu kurun waktu bagi hasil yang biasanya satu bulan. Misalnya, nasabah yang memiliki deposito rupiah mengantisipasi kebutuhan untuk membayar uang sekolah anaknya yang kuliah di AS, meminta bank syariah untuk memindahkan depositonya ke dalam deposito dolar AS pada saat deposito rupiahnya jatuh tempo. Bulan depannya nasabah ini memerlukan Euro untuk membayar kuliah anaknya di Jerman, sehingga ia meminta bank untuk memindahkan deposito dolar AS- nya menjadi deposito Euro.

Deposito multivaluta atau sering disebut multi currency deposit (MCD) tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Untuk mencegah terjadinya risiko gejolak kurs, bank syariah menginvestasikan dana deposito tersebut dalam valuta yang sama. Untuk lebih hati-hati lagi, bank syariah membuat tabel bagi hasil yang terpisah untuk setiap jenis valuta.

Produk ini jelas berbeda dengan produk dual currency deposit (DCD) yang ditawarkan oleh beberapa bank konvensional. Produk DCD bukanlah produk deposito, melainkan produk derivatif. Sehingga, tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Yang membedakan DCD dengan MCD adalah adanya hedging dalam produk DCD.

Katakanlah seorang nasabah mendepositokan dananya sejumlah 1 miliar rupiah. Katakan pula kurs ketika itu Rp 9500 per dolar AS, jangka waktu satu bulan, bunga 15 persen per tahun. Ketika nasabah memasukkan dananya, disepakati kurs tertentu, misalnya Rp 11.000 per dolar AS, yang akan menentukan skenario mana yang akan berlaku. Skenario pertama adalah bila kurs yang berlaku pada saat jatuh tempo lebih kecil dari Rp 11.000, misalnya Rp 10.000, nasabah akan menerima dana dalam bentuk dolar AS sejumlah 101.250 dolar AS atau ekuivalen dengan 1 miliar ditambah bunganya. Bunganya dihitung dengan cara 1 miliar dikalikan 15 persen dikalikan 30/360, lalu dibagi dengan kurs 10.000.

Skenario kedua adalah bila kurs yang berlaku pada saat jatuh tempo sama dengan atau lebih besar dari Rp 11.000 per dolar AS, misalnya Rp 12.000, nasabah akan menerima dana dalam bentuk rupiah senilai Rp 1,0125 miliar, yaitu 1 miliar ditambah bunga yang dihitung dengan cara 1 miliar dikalikan 15 persen dikalikan 30/360.

Dalam perbankan syariah, DCD tentu saja tidak dapat dilakukan karena transaksinya mengandung ketidakpastian skenario mana yang akan berlaku. Istilah fikihnya, transaksi ini mengandung gharar. Apalagi bila dalam penawaran produk DCD ini, calon nasabah tidak diberi informasi yang lengkap dalam materi marketing-kit tentang risiko yang harus ditanggung.

Apalagi bila dalam dokumen kontrak yang panjang, biasanya berbahasa Inggris, dan bila tidak pula dijelaskan pasal per pasal, namun dijelaskan dalam rangkaian kalimat hukum risiko yang akan ditanggung nasabah, itupun tanpa diberikan ilustrasi yang mudah dipahami. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan oleh perbankan syariah karena transaksinya mengandung informasi yang tidak diketahui maknanya oleh para pihak. Istilah fikihnya, transaksi ini mengandung tadlis.

Syariah membolehkan hedging asal didasarkan oleh adanya kebutuhan nyata untuk melakukan suatu transaksi riil yang membutuhkan suatu mata uang tertentu. Dalam pandangan syariah, hal itu sesuai dengan tujuan hedginguntuk memberikan lindung nilai. Namun, syariah melarang instrumen hedging diperdagangkan karena tidak ada maksud alaih (ada uang ada barang)-nya. Aneh memang, hedging yang tujuan asalnya untuk lindung nilai dari gejolak kurs, malah diperdagangkan instrumen hedging-nya untuk mendapat keuntungan dari gejolak kurs.

Beragamnya produk derivatif merupakan tantangan bagi regulator dan Dewan Syariah Nasional untuk mengantisipasi masuknya produk-produk tersebut dengan berbagai nama yang mirip dengan nama produk yang bukan produk derivatif. Secara garis besar, produk derivatif dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar. Pertama, produk hasil sekuritasasi yang dikenal sebagai Collateralized Debt Obligations (CDO) yang terdiri atas Collateralized Loan Obligations (CLO) dan Collateralized Bond Obligations (CBO).

Kedua, produk derivatif dari kredit, yaitu Credit Default Swaps (CDS), Total Return Swaps, dan Credit Spread Options. Ketiga, produk hybrid, yaitu regular hybrid yang di pasar dikenal sebagai Credit Linked Notes (CLN) dan Synthetic CDOs. Produk hybrid ini juga ada sub kelompoknya, yaitu Indexed Hybrids yang di pasar dikenal sebagai iTraxx, CDX, hedging, and single-tranche CDOs.

Dan akhirnya, sub kelompok Pools of Pools dan Leveraged Hybrids yang di pasar dikenal sebagai CDOs of CDOs, CDOs of ABSs, dan CDOs on specific CDO tranches. Di banyak negara produk-produk ini sejatinya termasuk produk pasar modal yang diterbitkan oleh bank investasi, bukan produk perbankan komersial. Namun, penjualan produk-produk ini dilakukan oleh bank-bank komersial yang bertindak sebagai agen penjual. Nasabah awam kadang sulit membedakan hal ini, apalagi bila nama bank investasi yang menerbitkan produk sama dengan nama bank komersial yang menjadi agen penjualnya.

Begitu liarnya pengembangan produk-produk derivatif mengharuskan kita memiliki suatu panduan baku. Kini saatnya kita lebih jernih memilah dan memilih kebijakan untuk melindungi pasar kita, dan salah satu alat yang jitu untuk itu adalah nilai-nilai keuangan syariah. Shadaqallah wa shadaqarasul.

Ma'kud Alaih Keuangan Global

Oleh: Adiwarman A Karim

Kadang, kita bersorak ketika negara-negara Barat yang dianggap mewakili sistem kapitalisme terperosok ke dalam jurang krisis. Kita pun bersorak ketika Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur terperosok ke dalam jurang kehancuran.

Kadang, kita terlalu bersemangat mengatakan, inilah tanda zaman the end of capitalism atau the end of socialism. Tak kurang semangat, kita pun mengatakan, inilah tanda-tanda bangkitnya ekonomi syariah. Krisis subprime mortgage, yang skalanya berlipat ganda karena transaksi derivatif, diperkirakan akan memukul kurs mata uang berbagai negara terhadap dolar AS melalui merosotnya cadangan dolar AS di masing-masing negara tersebut. Posisi AS sebagai negara importir modal terbesar, yang menguasai lima puluh persen dari total modal yang diimpor, membuat volatilitas dolar AS menjadi volatilitas berbagai mata uang lainnya.

Keadaan ini kadang mendorong kita kehabisan kesabaran dan menawarkan mata uang dinar yang terbuat dari emas sebagai pengganti dolar AS, rupiah, bahkan mata uang apa pun yang tidak terbuat dari emas. Wacana kembalinya sistem Bretton Wood, yang mengaitkan nilai uang dengan emas, menambah semangat untuk kembali ke mata uang dinar.

Sering kali semangat untuk menawarkan ide-ide ekonomi syariah berhenti pada tataran ide besar, tanpa upaya yang cukup untuk menjabarkan mekanisme perinci. Padahal, tantangan besarnya justru terdapat pada bagaimana menerjemahkan nilai-nilai syariah dalam rangkaian mekanisme kerja perinci yang lazim diungkapkan sebagai the devil is in details.

Tidak ada keraguan sedikit pun akan kebenaran ekonomi syariah yang pernah mendominasi dunia selama delapan ratus tahun pada abad pertengahan. Namun, berbagai pemikiran dan pengalaman ekonomi syariah yang dimulai sejak tahun tujuh puluhan belum dapat memenuhi kebutuhan perincian mekanisme kerja tersebut. Dengan kesadaran objektif ini, ada dua sikap yang perlu dikembangkan. Pertama, mulailah menerapkan ekonomi syariah sekecil apa pun yang kita ketahui karena Allah berjanji, "Amalkan yang apa kalian ketahui. Maka, akan Aku beri tahu apa yang kalian tidak ketahui'. Kedua, belajarlah dari mana pun tentang mekanisme kerja perinci sistem ekonomi karena Rasulullah SAW mengingatkan, 'Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.'"

Penurunan cadangan devisa Indonesia sebesar 4,1 miliar dolar AS sejak 7 Oktober memerlukan langkah konkret pemecahan masalah. Malaysia yang sering dijadikan rujukan keberhasilan ekonomi syariah malah mengalami penurunan devisa 12,9 miliar dolar AS sepanjang September. Nilai teoretis kurs dolar AS terhadap rupiah dengan data neraca sistem moneter, necara pembayaran, dan APBN tidak lebih dari 9.500 rupiah. Secara teoretis, perbandingan Net Foreign Asset (NFA) dan Net Domestic Asset (NDA) dalam neraca sistem moneter akan menentukan kurs teoretis rupiah terhadap dolar AS.

Melepas cadangan devisa untuk intervensi pasar dengan menjual dolar AS dan memborong rupiah akan menguatkan nilai rupiah namun juga akan mengeringkan likuiditas pasar. Pilihan sulit memang. Bila dibiarkan, banyak likuiditas yang berada di luar BI akan membuka peluang digunakannya rupiah untuk spekulasi. Bila disedot likuiditas ke BI, pasar akan kekurangan dorongan untuk menaikkan suku bunga antarbank.

Dalam pandangan ekonomi syariah, ada tiga nilai utama untuk mengatasi hal ini. Pertama, transaksi valas dibatasi hanya dalam bentuk spot. Kedua, hedging mata uang dianjurkan, namun dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan transaksi riil, misalnya ekspor impor. Ketiga, instrumen hedging tidak dapat diperdagangkan karena tidak ada ma'kud alaih (ada uang ada barang)-nya.

Ketiga nilai utama tersebut berasal dari prinsip dasar ma'kud alaih. Prinsip ini mencegah perdagangan uang yang akan memicu spekulasi. Transaksi forward dan swap dalam valas, apalagi transaksi futures, akan membuat setiap pelakunya membuat prediksi kurs sehingga kurs tidak lagi ditentukan pada nilai tukar objektifnya. Tidak adanya pembatasan hedging untuk kebutuhan transaksi riil mendorong volume hedging jauh lebih besar dari kebutuhan sebenarnya. Perdagangan instrumen hedging telah mengubah tujuan awalnya untuk berlindung dari gejolak kurs menjadi tujuan mengambil keuntungan dari gejolak kurs.

Melayani permainan spekulan valas dengan melakukan intervensi pasar hanya akan menambah semangat spekulan. Bila saja necara otoritas moneter masih demikian dominannya terhadap neraca sistem moneter, intervensi pasar memang efektif menjaga stabilitas rupiah. Namun, dalam era globalisasi sekarang ini, kekuatan pasar jauh lebih besar sehingga efektivitasnya jauh berkurang.

Bukan saatnya kita menyoraki atau mendoakan kehancuran sistem kapitalisme karena Rasulullah SAW tidak mencontohkan hal itu. Tugas kita menebarkan rahmat dan kasih sayang Allah di muka bumi ini dengan menjalankan nilai-nilai ekonomi syariah. Cahaya kebenaran akan memancar dan memberi inspirasi bagi dunia. Kapitalisme yang asli telah lama mati, sosialisme yang asli juga telah mati. Kemampuan kapitalisme dan sosialisme belajar, termasuk dari Islam, lalu mengubah wajahnya berulang kali membuat mereka tetap hidup. Juga, kali ini.

Betapa sedihnya dunia ketika Bani Abbasiyah di Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol. Bukan saja mayat-mayat ditumpuk dan dijadikan menara, bahkan khazanah keilmuan Islam habis dibakar sampai sungai pun berubah hitam karena tinta buku-buku. Bencana kemanusiaan yang dahsyat, terlebih lagi bencana peradaban yang membuat dunia keilmuan mundur ratusan tahun. Namun, Allah Yang Mahakuasa telah menyiapkan rencana besar. Conquer was conquered by the land, sang penaluk ditaklukkan oleh tanah yang ditaklukkan. Tidak lebih dari sepuluh tahun, pasukan Mongol yang gagah berani terperangah oleh indahnya cahaya Islam dan menjadi penerus generasi kejayaan Islam.

Biarlah kapitalisme dan sosialisme belajar dari keindahan ekonomi syariah, terinspirasi darinya, dan mengubah wajahnya menjadi sistem ekonomi yang lebih mendekati nilai-nilai syariah.

(-)

Kamis, 18 Desember 2008

Haji Sekali Dalam Hidup


  • Oleh Muhammadun AS

BEBERAPA waktu lalu, Departemen Agama (Depag) menggelindingkan isu krusial yang langsung mendapatkan respon balik dari publik. Dalam hal ini, Depag akan memberlakukan aturan tegas dalam pelaksanaan ibadah haji, yakni dilakukan sekali dalam seumur hidup.

Pernyataan ini dikatakan Menteri Agama Maftuh Basyuni, melihat makin tingginya animo masyarakat untuk melaksanakan rukun Islam kelima itu, sehingga kerap memunculkan permasalahan yang menyertai penyelenggaraan haji.

Menurut Maftuh, kalau misalnya orang yang sudah haji itu tidak berhaji lagi, maka kuota 210.000 orang sudah memadai. Sehingga calon jamaah haji yang belum pernah haji tidak harus menunggu dua atau tiga tahun untuk masuk dalam kuota haji. Publik merespon dengan beragam, tentu saja ada yang mendukung (pro) dan menolak (kontra).

Terlepas dari pro-kontra tersebut, wacana yang digulirkan Menteri Agama menyiratkan makna mendalam bahwa ternyata animo masyarakat dalam menjalankan ibadah haji sangat tinggi.

Mereka sampai harus berdesak-desakan dan berderet-deret untuk antre dalam waktu dua sampai tiga tahun. Animo ini sungguh sebuah ironi, karena spirit kesalihan para haji yang berderet-deret sampai 2-3 tahun itu ternyata tak berbanding dengan kesalihan sosial para haji di tengah kondisi krisis dimensional di Indonesia.

Animo mendapatkan predikat gelar ”Pak Haji” dan ”Ibu Hajjah” menyiratkan bahwa umat Islam Indonesia masih terjebak dalam ritus kesalihan personal. Ironisnya, predikat itu justru dijadikan modal sosial dalam merengkuh penghormatan dan previlise lain di masyarakat. Mereka lupa bahwa ”gelar” haji dan hajjah mempunyai beban teologis dan beban sejarah yang tidak ringan.

Perlu Kesalihan Sosial

Secara teologis, melaksanakan haji memang untuk menunaikan rukun Islam kelima. Berarti, Pak Haji dan Ibu Hajjah dinilai telah cukup standar kesalihan personalnya, sehingga ”gelar” itu mestinya menjadi media atau sarana untuk meneguhkan spirit kesalehan sosialnya kepada masyarakat.

Pertanyaan lebih menusuk apabila mereka disodori ihwal banyaknya kaum miskin yang bergentayangan dinegeri ini. Kaum miskin yang disia-siakan, dinistakan hak-haknya, dimarjinalkan statusnya, dan hanya dijadikan proposal proyek kekuasaan kaum elit politik. Mereka kini tinggal di tempat-tempat kumuh, kolong jembatan, dan selalu meminta-minta kepada orang kaya yang berderet-deret mobilnya di sepanjang jalan raya.

Sungguh ironis, mereka mengemis sambil merengek-rengek di negeri sendiri. Mereka menjadi bahan cemoohan, bahan seminar, bahan diskusi, yang tak kunjung mendapatkan solusi strategisnya. Tragis! Ya, nasib mereka memang sangat tragis, karena dijajah oleh saudaranya sendiri.

Apa yang dapat diberikan Pak Haji dan Ibu Hajjah kepada mereka? Bukankah Pak Haji dan Ibu Hajjah hidup secara berkecukupan, tetapi mengapa masih ingin ke Tanah Suci lagi, meski harus berderet-deret antre dan menunggu sampai dua-tiga tahun untuk diberangkatkan? Pertanyaan ini dapat menjadi kerangka refleksi untuk melakukan revolusi teologis haji yang selama ini disalahpahami umat Islam.

Refleksi ini bisa kita telaah dari apa yang dijalankan Nabi Muhammad. Ingat, Rasulullah ternyata hanya sekali menjalankan ibadah haji seumur hidup beliau, yakni ketika haji wada’ (haji terakhir), yang mana beliau kemudian menyerahkan kewarisan Islam kepada umatnya.

Bukan berarti Nabi melarang umatnya untuk berhaji berkali-kali, tetapi haji Nabi merupakan simbol bahwa lebih baik mendermakan harta kita kepada kaum miskin yang masih terlantar.

Spirit pemberdayaan kepada kaum mustad’afin ini juga tercermin dalam sebuah kisah sufi yang terjadi pada diri Abdullah bin Mubarok. Di pertengahan jalan, Ibn Mubarok melihat ada sebagian warganya terlihat kelaparan. Setelah ditanya, ternyata sang ibu dan anak-anaknya belum makan selama beberapa hari.

Kisah Ibn Mubarok

Melihat peristiwa itu, maka ongkos (ujroh) haji Ibn Mubarok diberikan kepada si ibu dan anak-anaknya. Ibn Mubarok akhirnya pulang: gagal pergi haji. Suatu malam, Ibn Mubarok bermimpi bahwa dia sudah dianggap haji, karena keikhlasannya kepada fakir miskin. Sontak saja, Ibn Mubarok bangun dan merenungi yang telah terjadi malam itu.

Terlepas dari sahih dan tidaknya cerita sufi tersebut, spirit Ibn Mubarok merupakan kritik pedas bagi bangsa Indonesia yang sedang antre 2-3 tahun untuk berangkat haji, khususnya bagi mereka yang sudah pernah menunaikannya. Apa yang terjadi pada masyarakat muslim di Indonesia?

Pertama, ini adalah bukti betapa umat Islam sedang terjebak dalam keberagamaan formalistik. Beragama secara formalis, hanya mengedepankan keberagamaan yang fiqh oriented: halal-haram, hitam-putih.

Dalam analisis Kang Jalal (Dr Jalaluddin Rahmat—Red), sudah seharusnya umat Islam mengedepankan akhlak (etika) daripada fikih. Tesis Kang Jalal yang ditulis dalam sebuah buku ini karena menganalisis berbagai fakta sosial umat Islam yang begitu bersemangat dalam menjalankan ajaran fikih, tetapi lupa dengan tugas berakhlak. Sering sekali orang kelihatan rajin dan khusyuk shalatnya, ternyata juga rajin dan ”khusyuk” korupsinya. Sungguh sebuah fakta beragama yang mengenaskan!

Kedua, umat Islam gagal menangkap pesan transformatif dari ritualitas haji. Mulai dari ihram, thawaf, saĆ­i, melontar jumrah, mabit, sampai wukuf, semuanya menyimpan pesan filosofis, pesan transformatif, dan pesan sosial.

Pesan-pesan itu sangat mendalam artinya, sebagaimana dijelaskan Prof Quraiys Shihab (1999) dalam Membumikan al-Quran, yang apabila dilewatkan begitu saja sungguh sangat merugi.

Dalam analisis Ali Syariati, ritualitas haji menyiratkan pesan universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Gagal menangkap pesan dalam ritualitas haji berarti gagal memahami kosmopolitanisme peradaban Islam yang begitu megah dan menyejarah di Timur Tengah.

Kalau memahami minimal dua hal tersebut, maka pernyataan Maftuh Basyuni sungguh tepat. Sangat tepat kalau dia berani mengampanyekan agar umat Islam lebih mengedepankan kesalihan sosial, dengan berderma dan memberdayakan warga miskin, di tengah gejolak sosial sekarang ini. Sungguh, haji akan lebih bermakna dan berarti. (32)

—Muhammadun AS, peneliti pada Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta.

Fatwa Haram Merokok


  • Oleh Jamal Ma’mur Asmani

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) akan membuat terobosan dengan mengharamkan merokok, setelah melihat banyaknya anak-anak yang merokok, dampak negatif merokok dari aspek medis, dan masalah sosial yang muncul akibat merokok. Bagaimana perspektif agama dalam masalah itu?

Menurut Prof KH Musthofa Ali YaĆ­qub (2008), Alquran dan hadis tidak ada yang menyebut larangan merokok. Yang ada hanya penjelasan QS Al-Baqarah 195 bahwa manusia jangan sampai menjatuhkan diri dalam kebinasaan; juga Hadis Nabi yang menjelaskan jangan sampai manusia membahayakan dirinya dan orang lain.

Dengan demaikian, menurut Prof Ali YaĆ­qub, kalau seseorang dinyatakan sakit oleh medis akibat merokok, maka ia wajib menghentikan rokoknya; namun kalau tidak, diperbolehkan.

Senada dengan Prof Ali YaĆ­qub adalah pandapat Prof Said Aqil al-Munawar (2008), bahwa merokok sangat erat hubungannya dengan aspek medis. Jadi, bagaimana aspek medis menetapkan maka agama menjustifikasi. Hal itu juga berkaitan dengan masalah sosial yang ditimbulkan, misalnya industri rokok yang menyerap jutaan pekerja, kemudian pajaknya yang menyumbang APBN sangat besar.

Peraturan Daerah (Perda) Merokok di Tempat Khusus sebagaimana diterapkan di DKI Jakarta adalah solusi terbaik, karena negara ini masih bergantung kepada pajak besar dari industri rokok, dan jumlah pengangguran akan membengkak jika industri tersebut ditutup.

Larangan merokok di tempat umum dan hanya diperbolehkan ditempat khusus harus dipatuhi rakyat. Kebijakan pemerintah tidak lain adalah demi kenyamanan, keselamatan, dan kesehatan rakyatnya.

Menurut Imam Nawawi al-Bantani dalam Kitab QomiĆ­ al-Thughyan, apabila pemerintah menginstruksikan perkara haram dan makruh, tidak boleh ditaati. Namun dalam masalah mubah (boleh), jika ada sisi kemaslahatan umum bagi umat Islam, maka wajib menaatinya; jika tidak, maka tidak wajib. Misalnya, penguasa memerintahkan melarang mengisab rokok yang sudah umum sekarang, maka wajib menaatinya, karena membawa kemaslahatan umum. Membiarkan merokok akan mengakibatkan derajat orang-orang baik dan tokoh publik menjadi rendah. Keterangan itu disampaikan oleh Imam al-Bajuri.

Melihat Akibat

Menurut Dr Ir M Romli Msc (2006), pendekatan yang digunakan untuk menetapkan hukum merokok, adalah dengan melihat akibat yang tampak ditimbulkan oleh kebiasaan tersebut.

Diketahui bahwa merokok menyebabkan bau napas yang kurang sedap. Fakta itu kemudian dianalogkan dengan gejala serupa yang dijumpai pada masa Rasulullah Saw, yaitu larangan mendatangi masjid bagi orang-orang yang habis makan bawang putih/ bawang merah mentah, karena bau tak sedap yang ditimbulkannya.

Hadis mengenai hal itu diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Umar, saat Nabi bersabda: ”Siapa yang makan dari tanaman itu (bawang putih), maka jangan mendekat masjid kami.” (HR Bukhari-Muslim). Demikianlah hukum merokok yang sampai saat ini kita pahami, makruh. Lima ratus tahun berselang, fakta-fakta medis menunjukkan bahwa rokok tidak sekadar menyebabkan bau napas tak sedap, tetapi juga berakibat negatif secara lebih luas kepada kesehatan manusia.

Sebenarnya pengaruh buruk dari merokok terhadap kesehatan telah diperkirakan sejak awal Abad XVII (Encyclopedia Americana, Smoking and Health, hlm 70, 1989). Namun demikian, rupanya perlu waktu hingga 350 tahun untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang cukup untuk meyakinkan dugaan-dugaan itu.

Kenaikan jumlah kematian akibat kanker paru-paru yang diamati pada awal Abad XX telah menggelitik dimulainya penelitian-penelitian ilmiah tentang hubungan antara merokok dan kesehatan. Sejalan dengan peningkatan pesat penggunaan tembakau, penelitian pun lebih dikembangkan, khususnya pada 1950-an dan 1960-an.

Laporan penting tentang akibat merokok terhadap kesehatan dikeluarkan oleh The Surgeon General’s Advisory Committee on Smoking and Health di Amerika Serikat (AS) pada 1964. Dua tahun sebelumnya The Royal College of Physician of London di Inggris telah pula mengeluarkan suatu laporan penelitian penting yang mengungkapkan bahwa merokok menyebabkan penyakit kanker paru-paru, bronkitis, dan berbagai penyakit lainnya.

Hingga 1985, sudah lebih dari 30.000 paper tentang rokok dan kesehatan dipublikasikan. Sekarang, tanpa ada keraguan sedikit pun disimpulkan bahwa merokok menyebabkan kanker paru-paru, baik pada laki-laki maupun wanita.
Diketahui juga bahwa kanker paru-paru adalah penyebab utama kematian akibat kanker pada manusia. Merokok juga dihubungkan dengan kanker mulut, tenggorokan, pankreas, ginjal, dan lain-lain.

Sulit Meninggalkan

Walaupun demikian, kalau MUI berencana mengharamkan rokok secara radikal, maka efek sosial, ekonomi, dan politik sangat besar. Saya pikir pemerintah tidak berani melakukan hal itu, karena banyak aspek terkait yang harus dipertimbangkan; tidak hanya aspek agama dan medis.

Idealnya memang begitu, Negara ini bebas dari segala sesuatu yang menyebabkan hal-hal yang membahayakan masa depan. Fakta membuktikan, betapa sulitnya orang meninggalkan budaya merokok kalau sudah menjadi kebiasaan. Namun, dengan sendiri orang akan meninggalkan merokok kalau sudah ditetapkan medis ia akan sakit keras jika tidak berhenti merokok. Masyarakat memang lebih suka tindakan kuratif (penyembuhan) daripada preventif (pencegahan).

Untuk anak-anak, sebaiknya memang dilarang merokok, karena efek negatifnya besar sekali. Dalam bahasa agama, mencegah kerusakan harus diprioritaskan daripada mendatangkan kemanfaatan (daful mafsadah muqaddam ala jalbil maslahah).

Merokok bisa menjadi jalan menuju pergaulan bebas, melupakan tugas mengajar, menghancurkan moralitas, dan terlibat dalam kejahatan yang tidak disangka-sangka.

Orang tua sedini mungkin harus melarang anak-anaknya merokok atau berteman dan bergaul dengan para perokok, karena pergaulan adalah gerbang kebaikan dan keburukan. Orang tua jangan menganggap remeh merokok. Perhatikan perilaku anak-anak merokok, mereka biasanya nongkrong di pinggir jalan, senang bergerombol, nonton orkes, dan melupakan tugas utama belajar.
Anak adalah investasi masa depan. Kalau bisa mengelola dengan baik dan professional, hasilnya di luar dugaan, keuntungannya berlipat ganda, baik material, sosial, maupun (lebih-lebih) spiritual. Dalam bahasa agama, anak saleh akan mampu menyelamatkan orang tua dari siksa neraka.

Efektivitas Fatwa

Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak akan berpengaruh apa-apa kalau tidak didukung oleh pemerintah sebagai pihak berwajib yang bisa mengeluarkan dan melaksanakan sebuah aturan yang menyeluruh dan mengikat seluruh warga negara.

Apa pun yang difatwakan MUI, kalau pemerintah apatis pasif, maka tidak akan efektif. Ia hanya menjadi guyonan belaka. Kita melihat Fatwa Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) yang mengharamkan acara selebritas di media elektronik, yang di dalamnya unsur ghibah (mengguncing) dan membuka aib keluarga terasa kental; namun karena tidak menjadi kebijakan negara, maka fatwa itu tinggal fatwa, sekadar nasihat yang tidak punya bargaining power sama sekali.

Hanya umat Islam yang sadar bahaya merokok dan peduli hukum agamanya sajalah, yang akan menerima dan mematuhi fatwa dari lembaga bergengsi seperti MUI.(68)

–– Jamal Ma’mur Asmani, peneliti Cepdes (Center for Pesantren and Democracy Studies) Jakarta.

Rabu, 17 Desember 2008

DPR Ajukan Hak Angket


Pemerintah Dinilai Gagal
Selenggarakan Ibadah Haji 2008

Jakarta, Kompas - Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla dinilai gagal menyelenggarakan ibadah haji 2008. Penyelenggaraan haji tahun ini bahkan dianggap yang terburuk.

Menyikapi keluhan sejumlah anggota jemaah, 122 anggota DPR dari delapan fraksi mengajukan hak angket atau hak penyelidikan. Mereka juga mendorong Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigasi dan penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bila ada indikasi penyimpangan.

Ketua DPR Agung Laksono turut menandatangani usulan hak angket ini. Hanya anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera yang tidak ikut menandatangani usulan itu. Dasrul (F-PD) sempat memberikan tanda tangan, tetapi lalu menarik dukungannya.

Usulan hak angket diserahkan pengusul yang diwakili Abdullah Azwar Anas dari Fraksi Kebangkitan Bangsa kepada Agung, Selasa (16/12) di Jakarta.

”Ini bukan soal keteledoran, tetapi negara gagal melindungi warganya melaksanakan ibadah dengan tenang,” kata Anas.

Menurut Hasib Wahab dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang memantau langsung penyelenggaraan haji, pemondokan jemaah kali ini sangat jauh, yaitu sampai 16 kilometer dari Masjidil Haram. Hal ini menyulitkan jemaah beribadah.

Fasilitasnya pun tak memadai. Ada pemondokan yang jauh dari kedai makan sehingga ada jemaah yang tak makan selama dua hari. Fasilitas transportasi pun sangat minim.

Langgar kesepakatan

Menurut Umung Anwar Sanusi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, pemerintah melanggar sejumlah kesepakatan dengan Komisi VIII DPR. Misalnya, pemondokan jemaah seharusnya 50 persen dalam ring satu (dekat dari Masjidil Haram). Realisasinya hanya 17 persen.

Imam Syuja dari Fraksi Partai Amanat Nasional juga menegaskan, pemerintah sesungguhnya gagal menyelenggarakan haji karena persoalan terus muncul selama bertahun-tahun. Sudah saatnya penyelenggaraan haji dilimpahkan ke daerah atau swasta.

Agung menyambut baik pengusulan hak angket ini. Usulan ini akan dibacakan dalam rapat paripurna terdekat. Mengingat DPR pekan depan akan memasuki masa reses, tidak tertutup kemungkinan diadakan pengumpulan data saat reses.

”Hak angket itu bukan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi untuk memperbaiki penyelenggaraan haji,” kata Agung.

Ketua Komisi VIII DPR Hasrul Azwar menuturkan, pengalaman memperoleh pemondokan yang sangat jauh pada pelaksanaan haji tahun ini jangan sampai terulang. Pemerintah jangan menjadikan pelaksanaan pelayanan haji sebagai coba-coba. Apalagi, ada dana yang bisa dipakai pemerintah untuk membayar lebih awal tempat pemondokan yang dekat.

Media Center Haji Departemen Agama melaporkan, menurut Direktur Pelayanan Haji dan Umrah Depag Zakaria Anshar, jauhnya pemondokan juga dialami jemaah haji dari sejumlah negara lain. (sut/mam)

Minggu, 14 Desember 2008

Haji, Sekali Seumur Hidup?


  • Oleh Muhammadun AS

BEBERAPA waktu lalu, Departemen Agama (Depag) menggelindingkan isu krusial yang langsung mendapatkan respon balik dari publik. Dalam hal ini, Depag akan memberlakukan aturan tegas dalam pelaksanaan ibadah haji, yakni dilakukan sekali dalam seumur hidup.

Pernyataan ini dikatakan Menteri Agama Maftuh Basyuni, melihat makin tingginya animo masyarakat untuk melaksanakan rukun Islam kelima itu, sehingga kerap memunculkan permasalahan yang menyertai penyelenggaraan haji.

Menurut Maftuh, kalau misalnya orang yang sudah haji itu tidak berhaji lagi, maka kuota 210.000 orang sudah memadai. Sehingga calon jamaah haji yang belum pernah haji tidak harus menunggu dua atau tiga tahun untuk masuk dalam kuota haji. Publik merespon dengan beragam, tentu saja ada yang mendukung (pro) dan menolak (kontra).

Terlepas dari pro-kontra tersebut, wacana yang digulirkan Menteri Agama menyiratkan makna mendalam bahwa ternyata animo masyarakat dalam menjalankan ibadah haji sangat tinggi.

Mereka sampai harus berdesak-desakan dan berderet-deret untuk antre dalam waktu dua sampai tiga tahun. Animo ini sungguh sebuah ironi, karena spirit kesalihan para haji yang berderet-deret sampai 2-3 tahun itu ternyata tak berbanding dengan kesalihan sosial para haji di tengah kondisi krisis dimensional di Indonesia.

Animo mendapatkan predikat gelar ”Pak Haji” dan ”Ibu Hajjah” menyiratkan bahwa umat Islam Indonesia masih terjebak dalam ritus kesalihan personal. Ironisnya, predikat itu justru dijadikan modal sosial dalam merengkuh penghormatan dan previlise lain di masyarakat. Mereka lupa bahwa ”gelar” haji dan hajjah mempunyai beban teologis dan beban sejarah yang tidak ringan.

Perlu Kesalihan Sosial

Secara teologis, melaksanakan haji memang untuk menunaikan rukun Islam kelima. Berarti, Pak Haji dan Ibu Hajjah dinilai telah cukup standar kesalihan personalnya, sehingga ”gelar” itu mestinya menjadi media atau sarana untuk meneguhkan spirit kesalehan sosialnya kepada masyarakat.

Pertanyaan lebih menusuk apabila mereka disodori ihwal banyaknya kaum miskin yang bergentayangan dinegeri ini. Kaum miskin yang disia-siakan, dinistakan hak-haknya, dimarjinalkan statusnya, dan hanya dijadikan proposal proyek kekuasaan kaum elit politik. Mereka kini tinggal di tempat-tempat kumuh, kolong jembatan, dan selalu meminta-minta kepada orang kaya yang berderet-deret mobilnya di sepanjang jalan raya.

Sungguh ironis, mereka mengemis sambil merengek-rengek di negeri sendiri. Mereka menjadi bahan cemoohan, bahan seminar, bahan diskusi, yang tak kunjung mendapatkan solusi strategisnya. Tragis! Ya, nasib mereka memang sangat tragis, karena dijajah oleh saudaranya sendiri.

Apa yang dapat diberikan Pak Haji dan Ibu Hajjah kepada mereka? Bukankah Pak Haji dan Ibu Hajjah hidup secara berkecukupan, tetapi mengapa masih ingin ke Tanah Suci lagi, meski harus berderet-deret antre dan menunggu sampai dua-tiga tahun untuk diberangkatkan? Pertanyaan ini dapat menjadi kerangka refleksi untuk melakukan revolusi teologis haji yang selama ini disalahpahami umat Islam.

Refleksi ini bisa kita telaah dari apa yang dijalankan Nabi Muhammad. Ingat, Rasulullah ternyata hanya sekali menjalankan ibadah haji seumur hidup beliau, yakni ketika haji wada’ (haji terakhir), yang mana beliau kemudian menyerahkan kewarisan Islam kepada umatnya.

Bukan berarti Nabi melarang umatnya untuk berhaji berkali-kali, tetapi haji Nabi merupakan simbol bahwa lebih baik mendermakan harta kita kepada kaum miskin yang masih terlantar.

Spirit pemberdayaan kepada kaum mustad’afin ini juga tercermin dalam sebuah kisah sufi yang terjadi pada diri Abdullah bin Mubarok. Di pertengahan jalan, Ibn Mubarok melihat ada sebagian warganya terlihat kelaparan. Setelah ditanya, ternyata sang ibu dan anak-anaknya belum makan selama beberapa hari.

Kisah Ibn Mubarok

Melihat peristiwa itu, maka ongkos (ujroh) haji Ibn Mubarok diberikan kepada si ibu dan anak-anaknya. Ibn Mubarok akhirnya pulang: gagal pergi haji. Suatu malam, Ibn Mubarok bermimpi bahwa dia sudah dianggap haji, karena keikhlasannya kepada fakir miskin. Sontak saja, Ibn Mubarok bangun dan merenungi yang telah terjadi malam itu.

Terlepas dari sahih dan tidaknya cerita sufi tersebut, spirit Ibn Mubarok merupakan kritik pedas bagi bangsa Indonesia yang sedang antre 2-3 tahun untuk berangkat haji, khususnya bagi mereka yang sudah pernah menunaikannya. Apa yang terjadi pada masyarakat muslim di Indonesia?

Pertama, ini adalah bukti betapa umat Islam sedang terjebak dalam keberagamaan formalistik. Beragama secara formalis, hanya mengedepankan keberagamaan yang fiqh oriented: halal-haram, hitam-putih.

Dalam analisis Kang Jalal (Dr Jalaluddin Rahmat—Red), sudah seharusnya umat Islam mengedepankan akhlak (etika) daripada fikih. Tesis Kang Jalal yang ditulis dalam sebuah buku ini karena menganalisis berbagai fakta sosial umat Islam yang begitu bersemangat dalam menjalankan ajaran fikih, tetapi lupa dengan tugas berakhlak. Sering sekali orang kelihatan rajin dan khusyuk shalatnya, ternyata juga rajin dan ”khusyuk” korupsinya. Sungguh sebuah fakta beragama yang mengenaskan!

Kedua, umat Islam gagal menangkap pesan transformatif dari ritualitas haji. Mulai dari ihram, thawaf, saĆ­i, melontar jumrah, mabit, sampai wukuf, semuanya menyimpan pesan filosofis, pesan transformatif, dan pesan sosial.

Pesan-pesan itu sangat mendalam artinya, sebagaimana dijelaskan Prof Quraiys Shihab (1999) dalam Membumikan al-Quran, yang apabila dilewatkan begitu saja sungguh sangat merugi.

Dalam analisis Ali Syariati, ritualitas haji menyiratkan pesan universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Gagal menangkap pesan dalam ritualitas haji berarti gagal memahami kosmopolitanisme peradaban Islam yang begitu megah dan menyejarah di Timur Tengah.

Kalau memahami minimal dua hal tersebut, maka pernyataan Maftuh Basyuni sungguh tepat. Sangat tepat kalau dia berani mengampanyekan agar umat Islam lebih mengedepankan kesalihan sosial, dengan berderma dan memberdayakan warga miskin, di tengah gejolak sosial sekarang ini. Sungguh, haji akan lebih bermakna dan berarti. (32)

—Muhammadun AS, peneliti pada Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta.

Sabtu, 13 Desember 2008

Indonesia Menjadi Pusat Halal Dunia?


Sucipto
Mahasiswa Program Doktor Teknologi Industri Pertanian IPB & Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian FTP Universitas Brawijaya.


Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, produk dengan jaminan halal mestinya mudah didapat di Indonesia. Bahkan Mentan Anton Apriyantono di sela-sela The 2nd Indonesia International Halal Exhibition 3-6 Juli lalu menyatakan sudah selayaknya Indonesia menjadi leader sebab konsumen Muslim kita terbesar sehingga produk-produk di Indonesia harus halal.

Namun, fakta berbicara lain. Misalnya, dari data Perkosmi (Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia) jumlah perusahaan kosmetika dan toiletries di Indonesia berjumlah 744, tetapi menurut LPPOM MUI yang bersertifikat halal baru 23 perusahaan (3 persen). Artinya, 97 persen produk kosmetika yang beredar di pasaran tidak jelas kehalalnnya.

Dari Data BPS (2006), industri pangan skala besar, sedang, kecil, dan rumah tangga sebanyak 1.209.172. Namun, menurut LPPOM MUI baru tersertifikasi halal 874 usaha (0.070 persen).Di sinilah RUU Jaminan Produk Halal (JPH) yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) DPR menuai maknanya. Harapan umat Islam agar tenteram dengan mengonsumsi produk halal perlu didukung regulasi yang memadai mengenai mekanisme pemberian sertifikat bagi setiap produk. Untuk itu, MUI mendesak RUU JPH segera diselesaikan akhir 2008. "Kalau sudah rampung penerapan produk halal menjadi wajib, kalau saat ini sifatnya masih sukarela, " kata Ketua MUI H Amidhan.

Kadang kita sedikit iri dengan Thailand, Brunei, Filipina, Singapura, dan Malaysia yang berupaya mengampanyekan produk halal sebagai bagian dari hak Muslim dan kesempatan bisnis yang besar. Bahkan Malaysia berupaya serius menjadi Word Halal Hub dengan mengintegrasikan kebijakan antardepartemen, membuka program magister dan doktor halal food analysis dan halal food management di University Putera Malaysia (UPM). Malaysia juga menyiapkan HDC (Halal Development Corporation) untuk mengembangkan sertifikasi halal dan membangun pelabuhan halal di Penang, serta melakukan pembinaan intensif ke small medium enterprise mengenai produk halal.

Secara mikro Indonesia sebenarnya punya sumber daya manusia di perguruan tinggi, LPPOM MUI, dan Komisi Fatwa MUI, serta Sistem Jaminan Halal (SJH) yang cukup disegani dunia. LPPOM MUI telah menerapkan Halal Assurance System (HAS) atau Sistem Jaminan Halal (SJH) bagi perusahaan yang ingin dan sudah mendapatkan sertifikasi halal di LPPOM MUI.

Secara umum SJH adalah sistem manajemen untuk mempertahankan status halal dari produk-produk yang telah mendapatkan sertifikasi halal LP POM MUI. Secara operasional SJH adalah satu sistem yang dirancang, diimplementasikan, dan dijaga oleh pihak produsen dengan tujuan menjaga kelangsungan status halal dari proses maupun manajemen produksi, guna menjamin kehalalannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh LP POM MUI (LPPOM MUI, 2004).

Sistem ini dibuat agar selama dua tahun rentang berlakunya sertifikasi halal produsen tetap konsisten menjalankan produksi dan manajemen usaha dengan cara yang dapat menjamin kehalalannya. Sistem ini dikembangkan dari Total Quality Manajemen (TQM) yang terdiri dari empat unsur utama, yaitu komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan mutu tanpa tambahan biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu tanpa reject, tanpa rework meski tanpa ada inspection sekalipun.

Dalam menghasilkan produk halal diterapkan three zero's concept. Bahan haram tidak boleh ada pada level mana pun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada risiko yang merugikan jika mengimplementasikan sistem ini (zero risk).

Respons positif Industri
Kalangan industri pangan dunia telah mendukung implementasi SJH ini, terutama saat International Trainning on Halal Assurance System Juli 2008 di Jakarta yang diikuti lebih dari 100 peserta dari dalam dan luar negeri. Wilfred A Van Wing, MSc, Quality Assurance Manajer DSM Food Specialisties BV Netherlands, menyatakan kebanggaannya mendapatkan sertifikasi halal dari LPPOM MUI dan mengaku mengimplementasikan SJH dengan diintregrasikan dengan sistem mutu bertaraf internasional lainnya, seperti ISO dan HACCP.

Demikian juga dengan Edison Geromel dari The Coca Cola Company Georgia USA, telah berusaha mengintegrasikan semua sistem quality yang diakui secara internasional, seperti ISO dengan berbagai versinya dan termasuk juga Halal Assurance System. SJH tidak dipandang dan diimplementasikan sebagai satu sistem mutu yang tersendiri, yang terpisah dari sistem mutu lainnya.

SJH ke level internasional
Dukungan untuk terus mengembangkan dan mengenalkan lebih luas SJH juga terlihat dari beberapa pihak. Mahmoud Tatari, general manager Halal Control of European Union Ruesselsheim Germany, berharap SJH yang dikembangkan LPPOM MUI dibawa ke komisi Eropa sehingga dapat menjadi komponen mutu makanan yang diakui setara dengan ISO. Demikian juga dibawa ke Organisasi Konferensi Islam (OKI) sehingga dapat diadopsi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, yang akhirnya lebih diterima dunia internasional.

Dengan modal di atas sesungguhnya Indonesia didorong untuk menjadi leader sekaligus pusat halal dunia yang mencakup pengembangan sistem audit, sertifikasi, dan jaminan halal. Hal ini tidak berlebihan karena LPPOM MUI khususnya dan Indonesia umumnya memiliki kredibilitas yang diakui dunia internasional, dengan kapasitas pakar sains dan teknologi, serta para ulama yang mumpuni. Apalagi didukung jumlah Muslim terbesar di dunia, menjadi ajang bisnis dan target pasar produk halal potensial dunia bagi para produsen halal.

Hingga akhir 2007 pertumbuhan pasar halal dunia mencapai nilai transaksi tidak kurang dari satu triliun dolar AS. Pada 2009 diperkirakan mencapai dua triliun dolar AS. Tentu Indonesia yang berpenduduk Muslim tak kurang dari 190 juta jiwa (12 persen Muslim dunia) merupakan salah satu pasar pertumbuhan produk halal ini.

Melimpahnya potensi sumber daya alam dan besarnya pangsa pasar produk halal, Indonesia juga berpeluang menjadi produsen produk halal terbesar di dunia. Karena itu, berbagai pihak mengusulkan agar aturan mengenai jaminan produk halal dicantumkan kewajiban bagi setiap pengusaha untuk mencantumkan label pada produk yang dihasilkan. Hal ini akan menjadi keunggulan Indonesia dibanding negara lain.

Memang persaingan untuk menjadi pusat halal dunia cukup ketat, misalnya dengan Malaysia, Brunei, dan Singapura selalu ada. Namun, masyarakat internasional akan melihat kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi negara-negara tersebut. Kiranya Indonesia cukup memiliki syarat dasar untuk hal ini. Pertanyaan besarnya, siapkah masyarakat umumnya, LPPOM MUI dan pemerintah mengemban amanah dan memanfaatkan peluang ini? Atau kita lebih suka menjadi penonton Indonesia dibanjiri produk impor bersertifikasi halal.

Ikhtisar:
- Kalangan industri pangan dunia telah mendukung implementasi sistem jaminan halal.
- Indonesia berpeluang menjadi produsen produk halal terbesar di dunia meski harus bersaing dengan negara-negara lain.

(-)

Kamis, 11 Desember 2008

Jangan Lagi Sekadar Manasik Haji




AP Photo/Hassan Ammar / Kompas Images

Kawasan Mina, di mana terdapat jumrah yang harus dilempar jemaah haji sebagai simbol perlawanan terhadap setan, terus direnovasi oleh Pemerintah Arab Saudi untuk memudahkan dan membuat nyaman jemaah melakukan pelontaran, Selasa (9/12).

Oleh M Syaifullah


Datang ke Masjidil Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah, atau melontar jumrah di Mina, kita pasti takjub melihat perubahan yang terjadi. Perubahan itu berwujud renovasi besar-besaran dan perluasan tempat-tempat dan fasilitas ibadah di kawasan tersebut.

Tujuan dari pembangunan yang menelan biaya triliunan riyal dan baru akan selesai beberapa tahun mendatang itu untuk membuat kenyamanan berhaji dan umrah.

Pemerintah Arab Saudi sebagai pihak yang bertanggung jawab menjaga dan memelihara tempat-tempat suci untuk ibadah tersebut juga berkepentingan untuk memberikan pelayanan terbaik buat tiga juta warga Muslim sedunia setiap tahunnya.

Namun, perubahan-perubahan tersebut kini membawa konsekuensi sendiri. Konsekuensi yang paling nyata adalah terkait lokasi pemondokan jemaah haji yang makin jauh.

Jika tahun-tahun sebelumnya jemaah cukup dengan berjalan kaki, sekarang tidak bisa lagi sebab pemondokan haji Indonesia, misalnya, ada yang berjarak 8 kilometer.

Kondisi pemondokan sendiri beragam, fasilitasnya juga tidak sama. Ada pemondokan yang satu kamar dihuni lima orang, ada juga yang dihuni hingga 15 orang. Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan masalah, seperti keterbatasan air, kamar mandi, dan tempat memasak.

Jemaah memang tidak bisa berbuat apa-apa. Kondisi pemondokan yang demikian harus mereka terima sebab pemondokan yang didapatkan merupakan hasil keputusan pemerintah dan DPR. Dampak dari pemondokan yang jauh itu adalah muncul masalah krusial, yakni penyediaan transportasi. Pada tahun-tahun lalu jemaah haji dengan mudah bisa melaksanakan shalat wajib lima waktu di Masjidil Haram, tetapi pada tahun ini hal itu sulit dilakukan.

”Dulu, ke Masjidil Haram saya hanya menyeberang jalan, sekarang harus antre dan berebut karena pemondokan jauh. Saya sendiri pernah tersesat karena kekacauan transportasi ini,” kata Darmansyah (63), anggota jemaah haji asal Kabupaten Barito Selatan. Kalimantan Tengah.

Darmansyah pernah menunaikan ibadah haji tahun 1978 atau 30 tahun lalu.

Untuk 210.000 anggota jemaah Indonesia hanya disediakan sekitar 600 bus, juga pengaturan arus pengangkutan jemaah sendiri mengalami kekacauan sehingga terjadi penumpukan. Sementara itu, jemaah sendiri tidak sabar mengantre sehingga berebutan untuk masuk bus.

Hasil diskusi dengan Prof Dr Masykuri Abdilah dari Dewan Pertimbangan Presiden terungkap masalah yang paling menonjol dan menjadi sorotan dalam pelaksanaan haji tahun ini, yakni soal pemondokan.

Dua masalah ini, transportasi dan pemondokan, memang harus mendapat perbaikan.

Munculnya dua masalah juga diakui sendiri Menteri Agama (Menag) M Maftuh Basyuni. Bahkan, Menag selaku pemimpin jemaah haji (amirul haj) meminta kepada pejabat Departemen Agama yang terkait dan terlibat pelaksanaan haji untuk tidak lagi memberikan laporan baik-baik saja.

Seperti dikutip Antara, Menag menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan kontrak pemondokan bagi 100.000 anggota jemaah haji Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun. ”Saya enggak mau lagi jatuh ke lubang yang sama dengan pemondokan seperti Syauqiyah, Ka’kiah, dan yang jauh-jauh itu,” katanya di Mekkah.

Ia menyatakan, pihaknya telah mengutus tim untuk itu. ”Tim itulah yang melakukan negosiasi soal kontrak yang berada di ring I dekat Misfalah itu. Saya minta tim untuk tidak pulang sampai berhasil,” katanya.

Di sela-sela pertemuan yang dihadiri pengawas haji dari Komisi VIII DPR dan DPD, Dubes RI untuk Arab Saudi DR Salim Assegaf Aldjufri, Dubes RI untuk Qatar Rozy Munir, dan KJRI Jeddah Gatot Abdullah itu, ia mengaku bahwa pemilik rumah sudah menyetujui dan tinggal membuat perjanjian.

”Kalau sudah, saya akan tanda tangan. Untuk jemaah lainnya, rasanya tidak mungkin untuk menyewa pemondokan di ring I bagi 200.000 orang. Karena itu, sisanya akan di ring II, tapi tidak akan sejauh sekarang,” katanya.

Untuk pemondokan di Madinah, pihaknya sudah ada komitmen dengan DPR untuk menempatkan seluruh jemaah pada kawasan Markaziyah (ring I) dengan menaikkan biaya.

Menyeluruh

Menag juga meminta pelaksanaan haji tahun ini dievaluasi menyeluruh. Jika keinginan Menag itu dijalankan sungguh-sungguh, tidak ada pilihan lain bagi penyelenggara haji kecuali melakukan perbaikan.

Perubahan itu bukan hanya soal pemondokan dan transportasi, tetapi juga menyangkut manajemen penyelenggaraan sehingga benar-benar profesional.

Hal itu sangat diperlukan sebagai konsekuensi penciptaan penyelenggaraan haji yang modern yang diselenggarakan Pemerintah Arab Saudi.

Layanan haji bukan lagi sekadar pelaksanaan manasik. Selama ini, perhatian para haji dari tingkat kabupaten lebih fokus dan paling utama adalah belajar manasik haji.

Padahal, di luar manasik, informasi lain yang terkait erat dan tidak kalah urgensinya dengan proses penyelenggaraan ibadah haji sangat minim mereka terima. Apalagi, latar belakang, tingkat pendidikan, pengalaman, dan bahasa adalah sederet persoalan internal jemaah itu sendiri.

Mengurus ratusan ribu anggota jemaah, yang kemudian berbaur dengan jutaan anggota jemaah haji lainnya dari berbagai belahan bumi, memang tidak mudah. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa pula.

Sangat bijak pula jika penyelenggara haji tidak menutupi segala macam kekurangannya dengan memanfaatkan kesabaran dan keikhlasan jemaah haji yang senantiasa dipesankan.

Dengan begitu, perbaikan mekanisme, sistem manajemen, dan peningkatan pelayanan haji harus terus-menerus diupayakan sekeras-kerasnya. (DIS)

Minggu, 07 Desember 2008

Panggilan Berkurban untuk Bangsa


Komaruddin Hidayat

Menurut Thomas Hobbes, banyak orang berebut kekuasaan dengan motif untuk memenuhi tuntutan bermegah diri (self-glory). Dorongan ini, sebagaimana ditulis dalam Leviathan, bersifat laten dan ada dalam bawah sadar sehingga seseorang akan berusaha dengan cara apa pun untuk mendapatkannya meski harus membayar mahal, bahkan kalau perlu dengan perang atau membinasakan yang lain.

Teori itu sungguh berbeda dari ajaran para rasul Tuhan yang menempatkan kekuasaan hanya sebagai instrumen untuk mengabdi dan melayani masyarakat sehingga yang lebih substansial dan fungsional bukan untuk berkuasa, tetapi untuk memimpin dan membimbing rakyat. Para rasul Tuhan telah memberi contoh dan meletakkan fondasi dalam sejarah politik dan perubahan sosial bahwa memimpin itu berkurban.

Mereka memimpin dengan hati, keteladanan, dan panduan moral agung sehingga para pengikutnya menerima dan meyakininya dengan nalar sehat dan nurani sehingga melahirkan kesetiaan pada cita-cita besar yang diperjuangkan, bukan semata pada figurnya. Karena itu, meski para rasul Tuhan itu telah tiada, pengikutnya masih setia meneruskan perjuangannya.

Keteladanan para rasul Tuhan itu telah menginspirasi banyak pemimpin dunia sehingga mereka telah memperkaya peradaban manusia dan riwayat hidupnya selalu memancarkan pesan optimisme saat kapal sejarah diterpa turbulensi. Mereka tidak saja mengajak untuk membangun peradaban di muka bumi, tetapi ajarannya melampaui batas sejarah (transhistoris) menjangkau kehidupan ruhani yang bersifat abadi karena hakikatnya manusia tercipta untuk hidup abadi. Figur-figur penggubah sejarah sebuah bangsa semacam Gandhi, Ayatullah Khomaini, dan Nelson Mandela adalah penggerak perubahan politik yang hidupnya amat sederhana. Mereka terinspirasi nilai-nilai luhur agama dan terpanggil untuk membela rakyatnya dari penindasan politik, ekonomi, dan pendidikan.

Demikian halnya yang dicontohkan Nabi Ibrahim dan keturunannya yang melahirkan sosok Musa, Isa (Yesus), dan Muhammad, yang ketiganya merupakan tokoh sejarah yang telah menginspirasi para pemimpin dunia untuk membangun peradaban dengan semangat pengabdian dan pengurbanan, bukan menempatkan kekuasaan sebagai tujuan untuk meraih self-glory dan mengakumulasi kekayaan.

Semangat pengurbanan

Ingatan kolektif kita masih segar bahwa kedaulatan Indonesia ini diraih karena pengurbanan tak ternilai oleh para pejuang yang mendahului kita. Kemerdekaan Indonesia bukan didapat cuma-cuma sebagai hadiah pihak asing. Para pejuang itu terpanggil berkurban dan menghadang segala risiko karena panggilan suci demi mengangkat harkat sesama anak bangsa. Mereka sadar, anugerah dan amanat hidup ini akan bermakna hanya saat diisi amal kebajikan yang mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain. Para pejuang itu yakin, jalan terbaik untuk mensyukuri karunia Tuhan adalah dengan meringankan penderitaan sesama hamba Tuhan.

Kata kurban, seakar dengan kata karib, berarti upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya pada Tuhan, lalu Tuhan menjawab bahwa kalau seorang hamba ingin dekat dengan-Nya, dekatilah mereka yang hidupnya merana dan membutuhkan pertolongan. Karena itu, siapa pun yang melakukan pengurbanan yang sampai pada Tuhan adalah niat dan catatan amal kebaikannya, sementara wujud pengurbanannya harus dirasakan oleh mereka yang menderita dan memerlukan pertolongan.

Semangat pengurbanan inilah yang juga melekat pada diri rasul Tuhan dan telah menginspirasi para pejuang kemerdekaan di muka bumi. Panggilan dan dorongan untuk menyumbangkan yang terbaik bagi hidupnya membuat tidak sempat berpikir untuk hidup mewah bergelimang harta. Kekayaan mereka adalah deposito kebaikan yang tersimpan dalam hati rakyat yang menjadi penyangga dalam perjuangannya dan menjadi penghubung kasih antara pemimpin dan pengikutnya. Mereka menaklukkan dan mengendalikan massanya bukan dengan kekuatan uang dan legalitas jabatan, tetapi dengan kekuatan cinta, cita-cita mulia, dan integritasnya.

Saat ini Indonesia amat menanti tampilnya pemimpin yang maju karena panggilan mulia dan siap berkurban, bukannya pencari pekerjaan, popularitas, dan sekadar meramaikan demokrasi serta mengisi waktu senggang setelah memasuki pensiun. Kita memerlukan presiden yang bisa membuat terobosan dari suasana mandek dan limbung, yaitu presiden yang memenuhi kebutuhan three in one, yang mampu membangun kebanggaan berbangsa yang dimotori Bung Karno, menyejahterakan rakyat yang dibayangkan Pak Harto, dan memajukan pendidikan dan peradaban yang menjadi tantangan berat di era global ini.

Kita pantas bangga pada para pejuang bangsa yang telah mengurbankan jiwa, raga, dan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka bahkan pernah menjadi penghuni tahanan karena memegang prinsip dan tidak mau berdamai dengan penguasa sehingga penjara banyak diisi putra terbaik bangsa. Namun, sungguh membuat sedih setelah merdeka kita menyaksikan banyak rumah tahanan dihuni pejabat tinggi negara dan politisi yang terbukti korupsi serta pengedar dan pemakai narkoba.

Menihilkan ego

Alih-alih berkurban untuk bangsa dan masyarakat, di antara politisi dan pejabat negara justru sepak terjangnya telah mengurbankan rakyat demi mendapatkan self-glory. Bahkan, kemuliaan agama pun dimanipulasi dan dikurbankan. Setiap datang idhul qurban, siapa pun orang yang sedang atau sudah berhaji diajak melakukan dialog imajiner dengan Nabi Ibrahim, nabi agung dari ketiga agama besar dunia, bahwa untuk meraih pembebasan diri (self liberation) dan derajat kemuliaan, seseorang harus berani menekan egonya serendah mungkin sampai ke titik nadir.

Proses dan tindakan untuk menihilkan ego ini secara dramatis ditandai dengan kesanggupan, keberanian, dan tekad Ibrahim menjalankan perintah Tuhan untuk menyembelih anak kandungnya yang kelahirannya telah lama dinanti-nantikan.

Bayangkan, kekayaan apa yang lebih berharga ketimbang anak? Spirit Ibrahim inilah yang mestinya yang wujudnya adalah pembelaan dan layanan buat manusia, terutama fakir dan miskin.

Itulah salah satu rahasia mengapa perintah haji jatuh pada urutan kelima mengingat puncak dan buah dari keberagamaan seseorang adalah berbuat ihsan, yaitu kesediaan berkurban untuk meringankan beban hidup orang lain. Dan, ini paralel dengan Pancasila, bahwa muara dari lima sila adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sila pertama adalah ketuhanan paralel dengan rukun Islam pertama, yaitu syahadat, diakhiri dengan haji dan sila keadilan sosial.

Jadi, muara dari keimanan dan kehidupan berpolitik adalah bagaimana menyejahterakan rakyat. Apakah para politisi yang begitu bersemangat benar-benar menghayati ajaran agamanya serta Pancasila, lihat saja komitmen mereka dalam berkurban untuk kepentingan bangsa dan masyarakat.s

Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Arafah bagai Lautan Putih


Diperkirakan Tiga Juta Umat Islam Wukuf


AP PHOTO/HASSAN AMMAR / Kompas Images
Transportasi merupakan salah satu problem bagi jutaan jemaah haji sehingga menumpang di atas kap mobil pun tak menjadi masalah. Sejak Sabtu, mereka bergerak ke Arafah untuk wukuf, Minggu (7/12).
Minggu, 7 Desember 2008 | 03:00 WIB

M Syaifullah

Mekkah, Kompas - Kawasan Arafah tak ubahnya lautan manusia yang didominasi warna putih. Sekitar tiga juta umat Islam dari seluruh dunia, Ahad (7/12), melaksanakan wukuf dengan berpakaian ihram warna putih. Secara bergelombang, sejak Sabtu siang, mereka meninggalkan Kota Suci Mekkah menuju Arafah.

Ada yang naik bus, truk, mobil bak terbuka, hingga yang sengaja berjalan kaki sejauh sekitar 20 kilometer. Ada pula yang menumpang di atas bus karena tidak kebagian kendaraan.

Jemaah haji Indonesia sendiri diangkut dengan bus. Sampai berita ini diturunkan, sebagian jemaah Indonesia masih terjebak kemacetan akibat padatnya lalu lintas karena kendaraan yang bergerak serentak menuju Arafah, sebuah kawasan yang luasnya sekitar 36 kilometer persegi. Panitia berupaya keras agar semua jemaah terangkut dan tidak telat masuk Arafah.

Selama wukuf, jemaah berdiam diri merenung dan berdoa dengan mengenakan pakaian ihram berupa dua lembar kain putih tak berjahit bagi laki-laki dan pakaian perempuan dengan hanya wajah dan telapak tangan yang boleh kelihatan, dari sejak dzuhur sampai maghrib.

Mereka akan bergerak lagi menuju Mina, tetapi terlebih dahulu singgah di Muzdalifah mengambil kerikil untuk melontar jumrah, sampai lewat tengah malam baru menuju Mina untuk menginap sampai tiga malam. Di Mina, mereka akan melontar jumrah, simbol perlawanan manusia terhadap godaan setan.

Untuk mengamankan lautan manusia tersebut, pihak Kerajaan Arab Saudi telah menurunkan sedikitnya 100.000 personel keamanan. Sementara tiap-tiap negara juga mengerahkan petugasnya untuk mengatur ketertiban jemaahnya sehingga proses inti ibadah sesuai jadwal, tertib, dan rukun haji.

Lima puluh tahun silam hanya 10.000 orang menunaikan ibadah haji. Tahun ini kedutaan besar Arab Saudi di seluruh dunia dilaporkan mengeluarkan visa haji hampir 2 juta. Warga Arab Saudi sendiri yang berhaji tahun ini diperkirakan tidak sampai sejuta orang. Namun, banyak yang datang berhaji tanpa dokumen perjalanan lengkap.

Total anggota jemaah haji Indonesia di Mekkah mencapai 191.365 orang. Kuota haji Indonesia tahun ini 210.000 orang, sebagian diberangkatkan oleh perusahaan perjalanan ibadah haji khusus.

103 orang meninggal

Dua hari menjelang pelaksanaan wukuf di Arafah, tercatat 103 anggota jemaah haji Indonesia meninggal dunia karena berbagai sebab. ”Lebih dari separuh kematian karena sistem pernapasan,” kata dr Ramon, petugas kesehatan haji.

Angka tersebut merupakan gabungan dari mereka yang meninggal di Madinah, Mekkah, dan Jeddah. Sekitar 60 persen yang meninggal dunia adalah jemaah perempuan dan mereka yang berusia lanjut. Tahun lalu menjelang wukuf, kata Ramon, angka kematian di bawah 100 orang.

Dilaporkan pula, bagi jemaah yang berusia lanjut dan sakit, panitia akan melakukan safari wukuf bagi sekitar 200 anggota jemaah.

Jemaah yang sakit peserta safari wukuf akan diberangkatkan hari Minggu. Untuk safari wukuf ini disediakan 19 ambulans bagi mereka yang mesti berbaring dan tiga bus besar untuk jemaah yang masih bisa duduk.

”Jemaah yang sakit dan berbaring ada 70 orang, sedangkan yang masih bisa duduk 130 orang,” kata Wakil Kepala Daerah Kerja (Daker) Mekkah Bidang Kesehatan Zainuswir Zainoen kepada Media Centre Haji Mekkah.

Dari dalam negeri dilaporkan, sebanyak 102 orang yang gagal berangkat haji diduga karena ditipu. Di antara mereka, 40 orang berasal dari Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sementara lainnya berasal dari Ternate (Maluku Utara) dan Makassar (Sulawesi Selatan). Polisi telah menangkap tiga orang tersangka yang diduga menipu mereka. (NIT/W

Rabu, 03 Desember 2008

Kegelisahan Kaderisasi NU


Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia sedang dihadapkan pada problem serius, yakni kaderisasi jamaahnya. Akibat tersedotnya warga NU ke ranah politik kekuasaan, kecenderungan untuk menata organisasi secara profesional terasa semakin menurun. Tren yang terjadi adalah warga NU lebih tertarik dengan kegiatan politik praktis. Tak heran jika di setiap kali ada Pilkada di suatu daerah, maka warga NU memainkan peran yang cukup strategis, khususnya di daerah Jawa. Peran yang dimunculkan, baik sebagai kandidat, pengusung, maupun pendukung. Padahal yang terpenting untuk diperhatikan NU adalah mengurus warganya melalui program penguatan kader dan peningkatan kapasitas organisasi (institusional building) NU.

Kaderisasi NU

Kaderisasi di NU meskipun sekarang ini tidak berjalan dengan baik, tetapi masih ada suatu masa di mana kaderisasi dilakukan secara teratur. Khususnya, setelah NU kembali ke khittah dalam Muktamar XXVII Tahun 1984, yang diwujudkan dengan mendirikan Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM).

Dalam SK PBNU tertanggal 6 April 1985 tentang pembentukan LAKPESDAM tercantum empat tugas pokok. Pertama, melaksanakan Rencana Lima Tahun Program Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM-NU). Kedua, merumuskan sistem pendidikan dan latihan ketenagaan dalam rangka PSDM di lingkungan NU. Ketiga, melakukan langkah-langkah pengarahan dan koordinasi kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan dan latihan ketenagaan di lingkungan NU dalam suatu sistem terpadu. Keempat, memberikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas kepada PBNU.

Sebagai langkah rintisan dalam rangka pelaksanaan Program PSDM-NU, mulai tahun 1986 di selenggarakan pelatihan-pelatihan secara lebih terencana dan terkoordinasi. Mulai tahun 1989 dengan berpedoman pada SK PBNU No: 37/a.II.04.d/VII/1985 tentang Pokok-Pokok Ketentuan Sistem Pendidikan dan Latihan Ketenagaan (SPLK-NU), intensitas penyelenggaraan pelatihan mulai di tingkatkan. Latihan Kepemimpinan dan Manajemen NU di lakukan di beberapa ibukota propinsi dengan peserta utusan dari cabang NU dan badan otonom di seluruh Indonesia. Selain Pelatihan Kepemimpinan dan Manajemen NU, PBNU melalui LAKPESDAM juga menyelenggarakan Latihan Motivator Pengembangan Masyarakat, Latihan Magang Pengembangan Masyarakat, Pelatihan Pelatih dan Pelatihan untuk Peningkatan Ekonomi (income generating).

Tahun 1992 LAKPESDAM telah selesai melaksanakan penyusunan SPLK-NU yang kemudian di beri nama Sistem Pelatihan Nahdhatul Ulama (SP-NU). SP-NU ini berisi tentang ruang lingkup dan kedudukan SP-NU, arah dan tujuan program pelatihan NU, ikhtiar dan pendekatan yang menguraikan aspek dan pendekatan modul dan panduan, asas pelatihan, prinsip dasar metodologi dan peran pelatih. Hal lain yang tercantum dalam SP-NU adalah mekanisme pelaksanaan program pelatihan NU yang menguraikan aspek pengaturan pelaksanaan pelatihan NU, pemanfaatan SDM NU terlatih serta faktor pendukung SP-NU. Di tahun 1998-2000 PBNU melalui PP. Lakpesdam NU berhasil melaksanakan Pelatihan Manajemen bagi kader NU dalam konteks menyiapkan NU bisa merespon krisis yang terjadi sejak tahun 1997 dan Halaqah Perubahan Sosial.

Kegelisahan

Di tahun 2001 muncul kegelisahan di kalangan PBNU bahwa setelah organisasi NU menyatakan kembali ke khittah sebagai organisasi sosial keagamaan, ternyata NU belum mampu merumuskan sistem pengkaderan yang mantap. Untuk menjawab kegelisahan ini, pada pertengahan tahun 2001 PBNU membentuk tim perumus konsep pengkaderan NU dengan menyerahkan kepada PP. Lakpesdam NU untuk mengkoordinir proses ini. Proses perumusan sistem kaderisasi NU membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebelum draft di rumuskan, terlebih dahulu di lakukan evaluasi pelaksanaan pengkaderan di NU dan badan-badan otonom di lingkungan NU. Selain proses evaluasi pengkaderan di lingkungan NU, tim perumus konsep pengkaderan juga mengadakan diskusi dengan kalangan di luar NU bahkan kalangan non muslim dan komunitas ideologi lain serta kelompok profesional.

Sistem pengkaderan yang dirumuskan merupakan jawaban NU terhadap perubahan situasi sosial dan politik saat itu. Sebelum di bawa pada Konbes dan Munas Ulama NU, draft ini di presentasikan di hadapan PBNU, baik kalangan Syuriyah maupun Tanfidziyah. Selanjutnya pada Bulan Agustus 2002 draft Pedoman Kaderisasi Nahdahtul Ulama di putuskan dalam Konbes NU dan Munas Ulama NU 2002 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.

Setelah dua tahun Pedoman Kaderisasi Nahdhatul Ulama, keluhan tentang lemahnya pengkaderan di lingkungan NU masih mucul. Analisis SWOT Program PBNU Periode 2004 – 2009 yang di putuskan oleh Muktamar XXXI Tahun 2004 menyebutkan beberapa kelemahan NU, di antaranya adalah: (1) Dalam kepengurusan NU terdapat kesenjangan yang cukup signifikan antara pelaksanaan program dan rencana yang telah di rumuskan. Kesenjangan tersebut disebabkan oleh lemahnya sikap profesionalitas dan manajemen organisasi. (2) Lemahnya sistem rekruitmen dalam kepengurusan NU tidak lepas dari kurang berkembangnya kemampuan fungionaris NU dalam proses kaderisasi dan tidak tepatnya cara dan perolehan rekruitmen personel pengurus pada masa lalu.

Selain dua hal tersebut di atas, sebagai organisasi sosial keagamaan, NU belum mempunyai rumusan visi sosial yang operasional dan jelas yang dipahami dan disepakati oleh pemimpin NU di semua level untuk di perjuangkan di semua tingkatan. Masih sering terjadi salah persepsi dan salah paham antar pemimpin NU tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh NU dan apa yang seharusnya tidak boleh di kerjakan oleh NU. Maka tidak heran sering terjadi ketegangan dan miskomunikasi di lingkungan NU. Padahal secara riil, NU memiliki jama’ah yang tersebar di seluruh tanah air, bahkan di luar negeri dengan di dukung oleh struktur kepengurusan dari tingkat pusat sampai tingkat ranting dan kepemimpinan kharismatik serta ketauladanan.

Dalam sebuah Rapat Syuriyah PBNU, KH. Tolhah Hasan selaku Wakil Rais ‘Aam PBNU mengungkapkan beberapa hal yang mesti diperkuat agar Syuriyah bisa menjalankan fungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas, dan penentu kebijakan NU. Menurut Wakil Rais ‘Aam PBNU, masih banyak pengurus syuriyah di berbagai tingkatan belum memahami syuriyah sebagai satu institusi. Pemahaman organisasi pengurus syuriyah masih kurang. Ini berakibat syuriyah seolah-olah personel rais syuriyah dan pembagian tugas antar pengurus tidak jalan. Realitas ini sebetulnya tidak hanya di syuriyah, tanfidziyah, badan otonom, lembaga dan lajnah juga tidak jauh berbeda.

Di sisi lain, modernisasi dan globalisasi dengan nilai–nilai baru di pastikan akan mempengaruhi perilaku, moral dan ideologi NU yang mengacu pada nilai-nilai Islam ahlussunah wal jama’ah. Yang tak kalah penting dari sisi ekternal organisasi adalah fenomena munculnya gerakan Islam “radikal dan fundamentalis”.

Berpijak pada kondisi inilah, maka sudah seharusnya, NU sebagai ormas Islam yang besar menggalakkan kembali pengkaderan untuk membentuk kader NU yang tangguh, loyal dan militan. Dengan kader yang loyal, tangguh, dan militant ini di harapkan organisasi NU akan mampu menjaga dan merawat warganya tetap dalam sikap dan perilaku keagamaan yang tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Dengan kader yang loyal, tangguh, dan militant ini juga di harapkan organisasi NU akan mampu meningkatkan pelayanan (khidmah) kepada warganya (jama’ah) dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan atas dasar Islam ahlussunah wal jama’ah (khoiro ummat).

Miftahudin Bisri

Manajer Program Penguatan Basis, Kader,dan Kelembagaan
PP Lakpesdam NU