Irfan Syauqi Beik
Dosen FEM IPB, Kandidat Doktor IIUM dan Ketua PPI Malaysia
Krisis berkepanjangan yang menimpa sejumlah negara besar masih meninggalkan sejumlah persoalan yang sangat serius bagi bangsa Indonesia. Dalam bahasa ekonom FEM IPB, Iman Sugema, ada tiga kiamat (trio doom) yang menimpa perekonomian dunia akibat krisis finansial yang bermula dari AS, yang boleh jadi menjadi penyebab turning pointatau titik balik perekonomian nasional pada 2009.
Kiamat pertama adalah property doom atau kiamat properti, yang ditandai dengan jatuhnya harga properti di AS. Kemudian, financial doom atau kiamat finansial, yang ditandai dengan menurunnya indeks bursa dunia pascakrisis dan belum menunjukkan tanda akan pulih sepenuhnya dalam waktu dekat. Beberapa bursa mengalami penurunan indeks lebih dari 30 persen, seperti Cina (62,9%), Jepang (38,3%), dan Jerman (35,6%). Kiamat yang ketiga adalah commodity doom, di mana harga sejumlah komoditas mengalami penurunan, seperti turunnya harga CPO dan kopi robusta sejak Juli 2008, masing-masing sebesar 61,9 persen dan 15 persen.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya dry up pada likuiditas global, di mana banyak perusahaan keuangan besar dunia menarik likuiditasnya demi mengatasi kerugian yang terjadi. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan di sektor riil pun terganggu.
Hal tersebut ditandai dengan semakin melemahnya permintaan di sejumlah pasar tujuan ekspor, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Memang jika dianalisis, kinerja perdagangan bilateral Indonesia dan AS tidak terlalu memengaruhi kinerja ekspor nasional. Ini karena total ekspor kita ke AS hanya 9-10 persen dalam dua tahun terakhir, di mana angka ini kurang dari tiga persen PDB kita.
Namun, melemahnya perekonomian AS membawa efek berantai pada sejumlah negara mitra dagang Indonesia. Dengan lemahnya permintaan di negara-negara tersebut, tidaklah mengherankan jika persentase tren ekspor Indonesia turun, bahkan drop 11,6 persen per Oktober 2008.
Diperkirakan memasuki semester pertama 2009 akan terjadi gelombang PHK besar-besaran, sebagaimana yang diprediksi Aviliani, akibat berakhirnya kontrak ekspor sejumlah perusahaan Indonesia. Jika ini terjadi, angka pengangguran diperkirakan akan naik. Sudah pasti keadaan ini akan mengundang demonstrasi buruh dalam skala yang lebih besar. Dipastikan kondisi sosial ekonomi bangsa ini akan semakin berat.
Sejumlah tantangan
Tantangan lain yang juga berat adalah masih rendahnya daya saing produk bangsa kita. Akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, akan terjadi persaingan memperebutkan pasar ekspor. Sebagai negara yang besar, tentu Indonesia berpotensi menjadi pasar potensial sejumlah produk impor.
Diperkirakan Cina akan tetap merajai produk impor ke Tanah Air. Selama beberapa tahun terakhir ini dominasi Cina belum mampu dipatahkan. Ini menjadi tantangan mengingat penguatan pasar domestik menjadi salah satu solusi dalam menghadapi krisis global, di mana produk lokal yang mampu menjadi substitusi barang impor sangat dibutuhkan.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah peningkatan daya saing UKM. Indeks skor UKM kita terkecil bila dibandingkan dengan sejumlah negara anggota APEC. Padahal,share UKM terhadap PDB Indonesia lebih dari 50 persen. Tanpa perbaikan daya saing ini, UKM kita akan menghadapi sejumlah kesulitan dalam memasarkan produknya.
Meski demikian, kondisi berat tersebut bukan berarti akhir dari segalanya. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh oleh bangsa ini untuk keluar dari situasi krisis global. Banyak potensi bangsa yang masih dapat dioptimalkan. Misalnya, tingginya tingkat saving yang mencapai 34 persen dari rasio PDB. Ini menunjukkan dana-dana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai modal peningkatan investasi produktif.
Kemudian, Indonesia dapat pula memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada sebagai underlying assetuntuk menarik investasi Timur Tengah berbasis sukuk. Meski ada permasalahan likuiditas global, kondisi Timteng relatif lebih baik.
Tidaklah mengherankan beberapa waktu lalu PM Inggris Gordon Brown sempat melakukan 'safari' ke Timteng, meminta mereka secara aktif berinvestasi di Inggris dan terlibat dalam upaya mengurangi tekanan resesi global. Meski demikian, ada tiga kendala utama yang harus diperhatikan, mengingat ketiga hal ini sering menjadi bahan pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Pertama, instabilitas makro yang diindikasikan dengan tingginya laju inflasi dalam tiga tahun terakhir. Kedua, problematika infrastruktur yang ditandai dengan keterbatasan sejumlah sarana dan prasarana, seperti jalan, jalur kereta api, dan pasokan listrik. Ketiga, persoalan korupsi yang sangat akut.
Survei Transparency International menunjukkan posisi Indonesia berada di urutan 134 dari 163 negara yang disurvei. Khusus mengenai korupsi ini, penulis berharap peran KPK dapat lebih dioptimalkan dan upaya pelemahan fungsi KPK yang saat ini tampak harus segera diakhiri.
Kebijakan proekonomi syariah
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kondisi perekonomian. Pertama, memperkuat industri keuangan syariah secara umum yang lebih prosektor riil. Penguatan ini antara lain bisa dilakukan dengan meningkatkan volume aset perbankan syariah, antara lain melalui pendirian BUS baru (seperti Bank Bukopin Syariah), memperbesar volume UUS, serta menempatkan dana pemerintah di perbankan syariah. Kemudian, memperkuat posisi lembaga keuangan mikro syariah dan BPRS dengan konsolidasi dan pembentukan jaringan LKMS dan BPRS di tingkat nasional.
Selanjutnya, penguatan pasar modal syariah. Ada kecenderungan pada jangka panjang peran pasar modal akan semakin dominan. Namun, pelajaran yang dapat diambil dari krisis ini adalah ketika transaksi di lantai bursa dilakukan dengan tanpa adanya kejelasan underlying asset, yang terjadi adalah penggelembungan-penggelembungan nilai aset yang pada akhirnya justru merugikan. Bubble economy yang sangat rentan ini harus diatasi dengan penguatan pasar keuangan syariah.
Kedua, sukuk dapat dijadikan sebagai alat investasi untuk pembangunan sarana infrastruktur. Kita menyambut baik penerbitan perdana sukuk negara beberapa waktu lalu. Namun, jika dana sukuk digunakan untuk menutup defisit APBN pada pos-pos yang kurang produktif, dampaknya terhadap perekonomian kurang terasa.
Seharusnya pemerintah menerbitkan sukuk yang digunakan untuk membangun pelabuhan, bandara, jalan raya, pembangkit listrik, dan sarana infrastruktur lainnya. Ini akan menciptakan multiplier effect yang sangat baik bagi perekonomian.
Ketiga, optimalisasi potensi zakat dan wakaf. Zakat harus dijadikan instrumen perlindungan hak-hak ekonomi kaum dhuafa, sekaligus sebagai alat mempertahankan daya beli kelompok miskin. Beban kemiskinan pun dapat dikurangi dengan memanfaatkan dana zakat melalui program-program karitatif, seperti layanan kesehatan gratis dan beasiswa pendidikan.
Peningkatan produktivitas kelompok miskin dapat difasilitasi melalui program pendayagunaan zakat produktif, seperti pembiayaan dan pendampingan usaha kecil dan mikro. Secara makro, proses people to people transfer diyakini akan banyak membantu meningkatkan kondisi perekonomian.
Selama ini kebijakan yang dilaksanakan berbasis pada konsep government to people transfer, yang dananya bersumber dari pajak dan utang luar negeri. Yang menjadi masalah, ketika utang luar negeri digunakan untuk pos bantuan sosial, beban APBN yang notabene beban rakyat, akan bertambah. Karena itu, zakat merupakan jalan keluar terbaik sehingga beban defisit APBN akan dapat dikurangi secara signifikan.
Wakaf, baik wakaf barang maupun uang, dapat dimanfaatkan sebagai engine of growth. Selama hampir empat abad sejarah mencatat wakaf uang mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu pada zaman Khilafah Turki Usmani yang menguasai sepertiga dunia. Penulis yakin insya Allah dengan menerapkan kebijakan ekonomi syariah secara serius, kepentingan ekonomi rakyat akan terangkat.
Rabu, 24 Desember 2008
Pro Ekonomi Syariah Pro Rakyat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar