Rabu, 03 Desember 2008

Kegelisahan Kaderisasi NU


Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia sedang dihadapkan pada problem serius, yakni kaderisasi jamaahnya. Akibat tersedotnya warga NU ke ranah politik kekuasaan, kecenderungan untuk menata organisasi secara profesional terasa semakin menurun. Tren yang terjadi adalah warga NU lebih tertarik dengan kegiatan politik praktis. Tak heran jika di setiap kali ada Pilkada di suatu daerah, maka warga NU memainkan peran yang cukup strategis, khususnya di daerah Jawa. Peran yang dimunculkan, baik sebagai kandidat, pengusung, maupun pendukung. Padahal yang terpenting untuk diperhatikan NU adalah mengurus warganya melalui program penguatan kader dan peningkatan kapasitas organisasi (institusional building) NU.

Kaderisasi NU

Kaderisasi di NU meskipun sekarang ini tidak berjalan dengan baik, tetapi masih ada suatu masa di mana kaderisasi dilakukan secara teratur. Khususnya, setelah NU kembali ke khittah dalam Muktamar XXVII Tahun 1984, yang diwujudkan dengan mendirikan Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM).

Dalam SK PBNU tertanggal 6 April 1985 tentang pembentukan LAKPESDAM tercantum empat tugas pokok. Pertama, melaksanakan Rencana Lima Tahun Program Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM-NU). Kedua, merumuskan sistem pendidikan dan latihan ketenagaan dalam rangka PSDM di lingkungan NU. Ketiga, melakukan langkah-langkah pengarahan dan koordinasi kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan dan latihan ketenagaan di lingkungan NU dalam suatu sistem terpadu. Keempat, memberikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas kepada PBNU.

Sebagai langkah rintisan dalam rangka pelaksanaan Program PSDM-NU, mulai tahun 1986 di selenggarakan pelatihan-pelatihan secara lebih terencana dan terkoordinasi. Mulai tahun 1989 dengan berpedoman pada SK PBNU No: 37/a.II.04.d/VII/1985 tentang Pokok-Pokok Ketentuan Sistem Pendidikan dan Latihan Ketenagaan (SPLK-NU), intensitas penyelenggaraan pelatihan mulai di tingkatkan. Latihan Kepemimpinan dan Manajemen NU di lakukan di beberapa ibukota propinsi dengan peserta utusan dari cabang NU dan badan otonom di seluruh Indonesia. Selain Pelatihan Kepemimpinan dan Manajemen NU, PBNU melalui LAKPESDAM juga menyelenggarakan Latihan Motivator Pengembangan Masyarakat, Latihan Magang Pengembangan Masyarakat, Pelatihan Pelatih dan Pelatihan untuk Peningkatan Ekonomi (income generating).

Tahun 1992 LAKPESDAM telah selesai melaksanakan penyusunan SPLK-NU yang kemudian di beri nama Sistem Pelatihan Nahdhatul Ulama (SP-NU). SP-NU ini berisi tentang ruang lingkup dan kedudukan SP-NU, arah dan tujuan program pelatihan NU, ikhtiar dan pendekatan yang menguraikan aspek dan pendekatan modul dan panduan, asas pelatihan, prinsip dasar metodologi dan peran pelatih. Hal lain yang tercantum dalam SP-NU adalah mekanisme pelaksanaan program pelatihan NU yang menguraikan aspek pengaturan pelaksanaan pelatihan NU, pemanfaatan SDM NU terlatih serta faktor pendukung SP-NU. Di tahun 1998-2000 PBNU melalui PP. Lakpesdam NU berhasil melaksanakan Pelatihan Manajemen bagi kader NU dalam konteks menyiapkan NU bisa merespon krisis yang terjadi sejak tahun 1997 dan Halaqah Perubahan Sosial.

Kegelisahan

Di tahun 2001 muncul kegelisahan di kalangan PBNU bahwa setelah organisasi NU menyatakan kembali ke khittah sebagai organisasi sosial keagamaan, ternyata NU belum mampu merumuskan sistem pengkaderan yang mantap. Untuk menjawab kegelisahan ini, pada pertengahan tahun 2001 PBNU membentuk tim perumus konsep pengkaderan NU dengan menyerahkan kepada PP. Lakpesdam NU untuk mengkoordinir proses ini. Proses perumusan sistem kaderisasi NU membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebelum draft di rumuskan, terlebih dahulu di lakukan evaluasi pelaksanaan pengkaderan di NU dan badan-badan otonom di lingkungan NU. Selain proses evaluasi pengkaderan di lingkungan NU, tim perumus konsep pengkaderan juga mengadakan diskusi dengan kalangan di luar NU bahkan kalangan non muslim dan komunitas ideologi lain serta kelompok profesional.

Sistem pengkaderan yang dirumuskan merupakan jawaban NU terhadap perubahan situasi sosial dan politik saat itu. Sebelum di bawa pada Konbes dan Munas Ulama NU, draft ini di presentasikan di hadapan PBNU, baik kalangan Syuriyah maupun Tanfidziyah. Selanjutnya pada Bulan Agustus 2002 draft Pedoman Kaderisasi Nahdahtul Ulama di putuskan dalam Konbes NU dan Munas Ulama NU 2002 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.

Setelah dua tahun Pedoman Kaderisasi Nahdhatul Ulama, keluhan tentang lemahnya pengkaderan di lingkungan NU masih mucul. Analisis SWOT Program PBNU Periode 2004 – 2009 yang di putuskan oleh Muktamar XXXI Tahun 2004 menyebutkan beberapa kelemahan NU, di antaranya adalah: (1) Dalam kepengurusan NU terdapat kesenjangan yang cukup signifikan antara pelaksanaan program dan rencana yang telah di rumuskan. Kesenjangan tersebut disebabkan oleh lemahnya sikap profesionalitas dan manajemen organisasi. (2) Lemahnya sistem rekruitmen dalam kepengurusan NU tidak lepas dari kurang berkembangnya kemampuan fungionaris NU dalam proses kaderisasi dan tidak tepatnya cara dan perolehan rekruitmen personel pengurus pada masa lalu.

Selain dua hal tersebut di atas, sebagai organisasi sosial keagamaan, NU belum mempunyai rumusan visi sosial yang operasional dan jelas yang dipahami dan disepakati oleh pemimpin NU di semua level untuk di perjuangkan di semua tingkatan. Masih sering terjadi salah persepsi dan salah paham antar pemimpin NU tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh NU dan apa yang seharusnya tidak boleh di kerjakan oleh NU. Maka tidak heran sering terjadi ketegangan dan miskomunikasi di lingkungan NU. Padahal secara riil, NU memiliki jama’ah yang tersebar di seluruh tanah air, bahkan di luar negeri dengan di dukung oleh struktur kepengurusan dari tingkat pusat sampai tingkat ranting dan kepemimpinan kharismatik serta ketauladanan.

Dalam sebuah Rapat Syuriyah PBNU, KH. Tolhah Hasan selaku Wakil Rais ‘Aam PBNU mengungkapkan beberapa hal yang mesti diperkuat agar Syuriyah bisa menjalankan fungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas, dan penentu kebijakan NU. Menurut Wakil Rais ‘Aam PBNU, masih banyak pengurus syuriyah di berbagai tingkatan belum memahami syuriyah sebagai satu institusi. Pemahaman organisasi pengurus syuriyah masih kurang. Ini berakibat syuriyah seolah-olah personel rais syuriyah dan pembagian tugas antar pengurus tidak jalan. Realitas ini sebetulnya tidak hanya di syuriyah, tanfidziyah, badan otonom, lembaga dan lajnah juga tidak jauh berbeda.

Di sisi lain, modernisasi dan globalisasi dengan nilai–nilai baru di pastikan akan mempengaruhi perilaku, moral dan ideologi NU yang mengacu pada nilai-nilai Islam ahlussunah wal jama’ah. Yang tak kalah penting dari sisi ekternal organisasi adalah fenomena munculnya gerakan Islam “radikal dan fundamentalis”.

Berpijak pada kondisi inilah, maka sudah seharusnya, NU sebagai ormas Islam yang besar menggalakkan kembali pengkaderan untuk membentuk kader NU yang tangguh, loyal dan militan. Dengan kader yang loyal, tangguh, dan militant ini di harapkan organisasi NU akan mampu menjaga dan merawat warganya tetap dalam sikap dan perilaku keagamaan yang tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Dengan kader yang loyal, tangguh, dan militant ini juga di harapkan organisasi NU akan mampu meningkatkan pelayanan (khidmah) kepada warganya (jama’ah) dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan atas dasar Islam ahlussunah wal jama’ah (khoiro ummat).

Miftahudin Bisri

Manajer Program Penguatan Basis, Kader,dan Kelembagaan
PP Lakpesdam NU

Tidak ada komentar: