Kamis, 18 Desember 2008

Haji Sekali Dalam Hidup


  • Oleh Muhammadun AS

BEBERAPA waktu lalu, Departemen Agama (Depag) menggelindingkan isu krusial yang langsung mendapatkan respon balik dari publik. Dalam hal ini, Depag akan memberlakukan aturan tegas dalam pelaksanaan ibadah haji, yakni dilakukan sekali dalam seumur hidup.

Pernyataan ini dikatakan Menteri Agama Maftuh Basyuni, melihat makin tingginya animo masyarakat untuk melaksanakan rukun Islam kelima itu, sehingga kerap memunculkan permasalahan yang menyertai penyelenggaraan haji.

Menurut Maftuh, kalau misalnya orang yang sudah haji itu tidak berhaji lagi, maka kuota 210.000 orang sudah memadai. Sehingga calon jamaah haji yang belum pernah haji tidak harus menunggu dua atau tiga tahun untuk masuk dalam kuota haji. Publik merespon dengan beragam, tentu saja ada yang mendukung (pro) dan menolak (kontra).

Terlepas dari pro-kontra tersebut, wacana yang digulirkan Menteri Agama menyiratkan makna mendalam bahwa ternyata animo masyarakat dalam menjalankan ibadah haji sangat tinggi.

Mereka sampai harus berdesak-desakan dan berderet-deret untuk antre dalam waktu dua sampai tiga tahun. Animo ini sungguh sebuah ironi, karena spirit kesalihan para haji yang berderet-deret sampai 2-3 tahun itu ternyata tak berbanding dengan kesalihan sosial para haji di tengah kondisi krisis dimensional di Indonesia.

Animo mendapatkan predikat gelar ”Pak Haji” dan ”Ibu Hajjah” menyiratkan bahwa umat Islam Indonesia masih terjebak dalam ritus kesalihan personal. Ironisnya, predikat itu justru dijadikan modal sosial dalam merengkuh penghormatan dan previlise lain di masyarakat. Mereka lupa bahwa ”gelar” haji dan hajjah mempunyai beban teologis dan beban sejarah yang tidak ringan.

Perlu Kesalihan Sosial

Secara teologis, melaksanakan haji memang untuk menunaikan rukun Islam kelima. Berarti, Pak Haji dan Ibu Hajjah dinilai telah cukup standar kesalihan personalnya, sehingga ”gelar” itu mestinya menjadi media atau sarana untuk meneguhkan spirit kesalehan sosialnya kepada masyarakat.

Pertanyaan lebih menusuk apabila mereka disodori ihwal banyaknya kaum miskin yang bergentayangan dinegeri ini. Kaum miskin yang disia-siakan, dinistakan hak-haknya, dimarjinalkan statusnya, dan hanya dijadikan proposal proyek kekuasaan kaum elit politik. Mereka kini tinggal di tempat-tempat kumuh, kolong jembatan, dan selalu meminta-minta kepada orang kaya yang berderet-deret mobilnya di sepanjang jalan raya.

Sungguh ironis, mereka mengemis sambil merengek-rengek di negeri sendiri. Mereka menjadi bahan cemoohan, bahan seminar, bahan diskusi, yang tak kunjung mendapatkan solusi strategisnya. Tragis! Ya, nasib mereka memang sangat tragis, karena dijajah oleh saudaranya sendiri.

Apa yang dapat diberikan Pak Haji dan Ibu Hajjah kepada mereka? Bukankah Pak Haji dan Ibu Hajjah hidup secara berkecukupan, tetapi mengapa masih ingin ke Tanah Suci lagi, meski harus berderet-deret antre dan menunggu sampai dua-tiga tahun untuk diberangkatkan? Pertanyaan ini dapat menjadi kerangka refleksi untuk melakukan revolusi teologis haji yang selama ini disalahpahami umat Islam.

Refleksi ini bisa kita telaah dari apa yang dijalankan Nabi Muhammad. Ingat, Rasulullah ternyata hanya sekali menjalankan ibadah haji seumur hidup beliau, yakni ketika haji wada’ (haji terakhir), yang mana beliau kemudian menyerahkan kewarisan Islam kepada umatnya.

Bukan berarti Nabi melarang umatnya untuk berhaji berkali-kali, tetapi haji Nabi merupakan simbol bahwa lebih baik mendermakan harta kita kepada kaum miskin yang masih terlantar.

Spirit pemberdayaan kepada kaum mustad’afin ini juga tercermin dalam sebuah kisah sufi yang terjadi pada diri Abdullah bin Mubarok. Di pertengahan jalan, Ibn Mubarok melihat ada sebagian warganya terlihat kelaparan. Setelah ditanya, ternyata sang ibu dan anak-anaknya belum makan selama beberapa hari.

Kisah Ibn Mubarok

Melihat peristiwa itu, maka ongkos (ujroh) haji Ibn Mubarok diberikan kepada si ibu dan anak-anaknya. Ibn Mubarok akhirnya pulang: gagal pergi haji. Suatu malam, Ibn Mubarok bermimpi bahwa dia sudah dianggap haji, karena keikhlasannya kepada fakir miskin. Sontak saja, Ibn Mubarok bangun dan merenungi yang telah terjadi malam itu.

Terlepas dari sahih dan tidaknya cerita sufi tersebut, spirit Ibn Mubarok merupakan kritik pedas bagi bangsa Indonesia yang sedang antre 2-3 tahun untuk berangkat haji, khususnya bagi mereka yang sudah pernah menunaikannya. Apa yang terjadi pada masyarakat muslim di Indonesia?

Pertama, ini adalah bukti betapa umat Islam sedang terjebak dalam keberagamaan formalistik. Beragama secara formalis, hanya mengedepankan keberagamaan yang fiqh oriented: halal-haram, hitam-putih.

Dalam analisis Kang Jalal (Dr Jalaluddin Rahmat—Red), sudah seharusnya umat Islam mengedepankan akhlak (etika) daripada fikih. Tesis Kang Jalal yang ditulis dalam sebuah buku ini karena menganalisis berbagai fakta sosial umat Islam yang begitu bersemangat dalam menjalankan ajaran fikih, tetapi lupa dengan tugas berakhlak. Sering sekali orang kelihatan rajin dan khusyuk shalatnya, ternyata juga rajin dan ”khusyuk” korupsinya. Sungguh sebuah fakta beragama yang mengenaskan!

Kedua, umat Islam gagal menangkap pesan transformatif dari ritualitas haji. Mulai dari ihram, thawaf, saĆ­i, melontar jumrah, mabit, sampai wukuf, semuanya menyimpan pesan filosofis, pesan transformatif, dan pesan sosial.

Pesan-pesan itu sangat mendalam artinya, sebagaimana dijelaskan Prof Quraiys Shihab (1999) dalam Membumikan al-Quran, yang apabila dilewatkan begitu saja sungguh sangat merugi.

Dalam analisis Ali Syariati, ritualitas haji menyiratkan pesan universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Gagal menangkap pesan dalam ritualitas haji berarti gagal memahami kosmopolitanisme peradaban Islam yang begitu megah dan menyejarah di Timur Tengah.

Kalau memahami minimal dua hal tersebut, maka pernyataan Maftuh Basyuni sungguh tepat. Sangat tepat kalau dia berani mengampanyekan agar umat Islam lebih mengedepankan kesalihan sosial, dengan berderma dan memberdayakan warga miskin, di tengah gejolak sosial sekarang ini. Sungguh, haji akan lebih bermakna dan berarti. (32)

—Muhammadun AS, peneliti pada Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta.

Tidak ada komentar: