Senin, 22 Desember 2008

Dual Currency Deposit

Oleh: Adiwarman A Karim



Di kalangan perbankan syariah, produk deposito dalam berbagai jenis mata uang, terutama rupiah dan dolar AS, telah lama dikenal. Beberapa bank syariah juga telah menyiapkan produk deposito multivaluta. Dalam hal ini, nasabah diberi kebebasan untuk memindahkan depositonya dalam rupiah ke deposito dalam dolar AS, dari deposito dolar AS ke deposito Euro, dan seterusnya.

Untuk memudahkan perhitungan bagi hasilnya, biasanya perpindahan itu dilakukan paling pendek dalam satu kurun waktu bagi hasil yang biasanya satu bulan. Misalnya, nasabah yang memiliki deposito rupiah mengantisipasi kebutuhan untuk membayar uang sekolah anaknya yang kuliah di AS, meminta bank syariah untuk memindahkan depositonya ke dalam deposito dolar AS pada saat deposito rupiahnya jatuh tempo. Bulan depannya nasabah ini memerlukan Euro untuk membayar kuliah anaknya di Jerman, sehingga ia meminta bank untuk memindahkan deposito dolar AS- nya menjadi deposito Euro.

Deposito multivaluta atau sering disebut multi currency deposit (MCD) tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Untuk mencegah terjadinya risiko gejolak kurs, bank syariah menginvestasikan dana deposito tersebut dalam valuta yang sama. Untuk lebih hati-hati lagi, bank syariah membuat tabel bagi hasil yang terpisah untuk setiap jenis valuta.

Produk ini jelas berbeda dengan produk dual currency deposit (DCD) yang ditawarkan oleh beberapa bank konvensional. Produk DCD bukanlah produk deposito, melainkan produk derivatif. Sehingga, tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Yang membedakan DCD dengan MCD adalah adanya hedging dalam produk DCD.

Katakanlah seorang nasabah mendepositokan dananya sejumlah 1 miliar rupiah. Katakan pula kurs ketika itu Rp 9500 per dolar AS, jangka waktu satu bulan, bunga 15 persen per tahun. Ketika nasabah memasukkan dananya, disepakati kurs tertentu, misalnya Rp 11.000 per dolar AS, yang akan menentukan skenario mana yang akan berlaku. Skenario pertama adalah bila kurs yang berlaku pada saat jatuh tempo lebih kecil dari Rp 11.000, misalnya Rp 10.000, nasabah akan menerima dana dalam bentuk dolar AS sejumlah 101.250 dolar AS atau ekuivalen dengan 1 miliar ditambah bunganya. Bunganya dihitung dengan cara 1 miliar dikalikan 15 persen dikalikan 30/360, lalu dibagi dengan kurs 10.000.

Skenario kedua adalah bila kurs yang berlaku pada saat jatuh tempo sama dengan atau lebih besar dari Rp 11.000 per dolar AS, misalnya Rp 12.000, nasabah akan menerima dana dalam bentuk rupiah senilai Rp 1,0125 miliar, yaitu 1 miliar ditambah bunga yang dihitung dengan cara 1 miliar dikalikan 15 persen dikalikan 30/360.

Dalam perbankan syariah, DCD tentu saja tidak dapat dilakukan karena transaksinya mengandung ketidakpastian skenario mana yang akan berlaku. Istilah fikihnya, transaksi ini mengandung gharar. Apalagi bila dalam penawaran produk DCD ini, calon nasabah tidak diberi informasi yang lengkap dalam materi marketing-kit tentang risiko yang harus ditanggung.

Apalagi bila dalam dokumen kontrak yang panjang, biasanya berbahasa Inggris, dan bila tidak pula dijelaskan pasal per pasal, namun dijelaskan dalam rangkaian kalimat hukum risiko yang akan ditanggung nasabah, itupun tanpa diberikan ilustrasi yang mudah dipahami. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan oleh perbankan syariah karena transaksinya mengandung informasi yang tidak diketahui maknanya oleh para pihak. Istilah fikihnya, transaksi ini mengandung tadlis.

Syariah membolehkan hedging asal didasarkan oleh adanya kebutuhan nyata untuk melakukan suatu transaksi riil yang membutuhkan suatu mata uang tertentu. Dalam pandangan syariah, hal itu sesuai dengan tujuan hedginguntuk memberikan lindung nilai. Namun, syariah melarang instrumen hedging diperdagangkan karena tidak ada maksud alaih (ada uang ada barang)-nya. Aneh memang, hedging yang tujuan asalnya untuk lindung nilai dari gejolak kurs, malah diperdagangkan instrumen hedging-nya untuk mendapat keuntungan dari gejolak kurs.

Beragamnya produk derivatif merupakan tantangan bagi regulator dan Dewan Syariah Nasional untuk mengantisipasi masuknya produk-produk tersebut dengan berbagai nama yang mirip dengan nama produk yang bukan produk derivatif. Secara garis besar, produk derivatif dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar. Pertama, produk hasil sekuritasasi yang dikenal sebagai Collateralized Debt Obligations (CDO) yang terdiri atas Collateralized Loan Obligations (CLO) dan Collateralized Bond Obligations (CBO).

Kedua, produk derivatif dari kredit, yaitu Credit Default Swaps (CDS), Total Return Swaps, dan Credit Spread Options. Ketiga, produk hybrid, yaitu regular hybrid yang di pasar dikenal sebagai Credit Linked Notes (CLN) dan Synthetic CDOs. Produk hybrid ini juga ada sub kelompoknya, yaitu Indexed Hybrids yang di pasar dikenal sebagai iTraxx, CDX, hedging, and single-tranche CDOs.

Dan akhirnya, sub kelompok Pools of Pools dan Leveraged Hybrids yang di pasar dikenal sebagai CDOs of CDOs, CDOs of ABSs, dan CDOs on specific CDO tranches. Di banyak negara produk-produk ini sejatinya termasuk produk pasar modal yang diterbitkan oleh bank investasi, bukan produk perbankan komersial. Namun, penjualan produk-produk ini dilakukan oleh bank-bank komersial yang bertindak sebagai agen penjual. Nasabah awam kadang sulit membedakan hal ini, apalagi bila nama bank investasi yang menerbitkan produk sama dengan nama bank komersial yang menjadi agen penjualnya.

Begitu liarnya pengembangan produk-produk derivatif mengharuskan kita memiliki suatu panduan baku. Kini saatnya kita lebih jernih memilah dan memilih kebijakan untuk melindungi pasar kita, dan salah satu alat yang jitu untuk itu adalah nilai-nilai keuangan syariah. Shadaqallah wa shadaqarasul.

Tidak ada komentar: