MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) akan membuat terobosan dengan mengharamkan merokok, setelah melihat banyaknya anak-anak yang merokok, dampak negatif merokok dari aspek medis, dan masalah sosial yang muncul akibat merokok. Bagaimana perspektif agama dalam masalah itu?
Menurut Prof KH Musthofa Ali Yaíqub (2008), Alquran dan hadis tidak ada yang menyebut larangan merokok. Yang ada hanya penjelasan QS Al-Baqarah 195 bahwa manusia jangan sampai menjatuhkan diri dalam kebinasaan; juga Hadis Nabi yang menjelaskan jangan sampai manusia membahayakan dirinya dan orang lain.
Dengan demaikian, menurut Prof Ali Yaíqub, kalau seseorang dinyatakan sakit oleh medis akibat merokok, maka ia wajib menghentikan rokoknya; namun kalau tidak, diperbolehkan.
Senada dengan Prof Ali Yaíqub adalah pandapat Prof Said Aqil al-Munawar (2008), bahwa merokok sangat erat hubungannya dengan aspek medis. Jadi, bagaimana aspek medis menetapkan maka agama menjustifikasi. Hal itu juga berkaitan dengan masalah sosial yang ditimbulkan, misalnya industri rokok yang menyerap jutaan pekerja, kemudian pajaknya yang menyumbang APBN sangat besar.
Peraturan Daerah (Perda) Merokok di Tempat Khusus sebagaimana diterapkan di DKI Jakarta adalah solusi terbaik, karena negara ini masih bergantung kepada pajak besar dari industri rokok, dan jumlah pengangguran akan membengkak jika industri tersebut ditutup.
Larangan merokok di tempat umum dan hanya diperbolehkan ditempat khusus harus dipatuhi rakyat. Kebijakan pemerintah tidak lain adalah demi kenyamanan, keselamatan, dan kesehatan rakyatnya.
Menurut Imam Nawawi al-Bantani dalam Kitab Qomií al-Thughyan, apabila pemerintah menginstruksikan perkara haram dan makruh, tidak boleh ditaati. Namun dalam masalah mubah (boleh), jika ada sisi kemaslahatan umum bagi umat Islam, maka wajib menaatinya; jika tidak, maka tidak wajib. Misalnya, penguasa memerintahkan melarang mengisab rokok yang sudah umum sekarang, maka wajib menaatinya, karena membawa kemaslahatan umum. Membiarkan merokok akan mengakibatkan derajat orang-orang baik dan tokoh publik menjadi rendah. Keterangan itu disampaikan oleh Imam al-Bajuri.
Melihat Akibat Menurut Dr Ir M Romli Msc (2006), pendekatan yang digunakan untuk menetapkan hukum merokok, adalah dengan melihat akibat yang tampak ditimbulkan oleh kebiasaan tersebut.
Diketahui bahwa merokok menyebabkan bau napas yang kurang sedap. Fakta itu kemudian dianalogkan dengan gejala serupa yang dijumpai pada masa Rasulullah Saw, yaitu larangan mendatangi masjid bagi orang-orang yang habis makan bawang putih/ bawang merah mentah, karena bau tak sedap yang ditimbulkannya.
Hadis mengenai hal itu diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Umar, saat Nabi bersabda: ”Siapa yang makan dari tanaman itu (bawang putih), maka jangan mendekat masjid kami.” (HR Bukhari-Muslim). Demikianlah hukum merokok yang sampai saat ini kita pahami, makruh. Lima ratus tahun berselang, fakta-fakta medis menunjukkan bahwa rokok tidak sekadar menyebabkan bau napas tak sedap, tetapi juga berakibat negatif secara lebih luas kepada kesehatan manusia.
Sebenarnya pengaruh buruk dari merokok terhadap kesehatan telah diperkirakan sejak awal Abad XVII (Encyclopedia Americana, Smoking and Health, hlm 70, 1989). Namun demikian, rupanya perlu waktu hingga 350 tahun untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang cukup untuk meyakinkan dugaan-dugaan itu.
Kenaikan jumlah kematian akibat kanker paru-paru yang diamati pada awal Abad XX telah menggelitik dimulainya penelitian-penelitian ilmiah tentang hubungan antara merokok dan kesehatan. Sejalan dengan peningkatan pesat penggunaan tembakau, penelitian pun lebih dikembangkan, khususnya pada 1950-an dan 1960-an.
Laporan penting tentang akibat merokok terhadap kesehatan dikeluarkan oleh The Surgeon General’s Advisory Committee on Smoking and Health di Amerika Serikat (AS) pada 1964. Dua tahun sebelumnya The Royal College of Physician of London di Inggris telah pula mengeluarkan suatu laporan penelitian penting yang mengungkapkan bahwa merokok menyebabkan penyakit kanker paru-paru, bronkitis, dan berbagai penyakit lainnya.
Hingga 1985, sudah lebih dari 30.000 paper tentang rokok dan kesehatan dipublikasikan. Sekarang, tanpa ada keraguan sedikit pun disimpulkan bahwa merokok menyebabkan kanker paru-paru, baik pada laki-laki maupun wanita. Diketahui juga bahwa kanker paru-paru adalah penyebab utama kematian akibat kanker pada manusia. Merokok juga dihubungkan dengan kanker mulut, tenggorokan, pankreas, ginjal, dan lain-lain.
Sulit Meninggalkan Walaupun demikian, kalau MUI berencana mengharamkan rokok secara radikal, maka efek sosial, ekonomi, dan politik sangat besar. Saya pikir pemerintah tidak berani melakukan hal itu, karena banyak aspek terkait yang harus dipertimbangkan; tidak hanya aspek agama dan medis.
Idealnya memang begitu, Negara ini bebas dari segala sesuatu yang menyebabkan hal-hal yang membahayakan masa depan. Fakta membuktikan, betapa sulitnya orang meninggalkan budaya merokok kalau sudah menjadi kebiasaan. Namun, dengan sendiri orang akan meninggalkan merokok kalau sudah ditetapkan medis ia akan sakit keras jika tidak berhenti merokok. Masyarakat memang lebih suka tindakan kuratif (penyembuhan) daripada preventif (pencegahan).
Untuk anak-anak, sebaiknya memang dilarang merokok, karena efek negatifnya besar sekali. Dalam bahasa agama, mencegah kerusakan harus diprioritaskan daripada mendatangkan kemanfaatan (daful mafsadah muqaddam ala jalbil maslahah).
Merokok bisa menjadi jalan menuju pergaulan bebas, melupakan tugas mengajar, menghancurkan moralitas, dan terlibat dalam kejahatan yang tidak disangka-sangka.
Orang tua sedini mungkin harus melarang anak-anaknya merokok atau berteman dan bergaul dengan para perokok, karena pergaulan adalah gerbang kebaikan dan keburukan. Orang tua jangan menganggap remeh merokok. Perhatikan perilaku anak-anak merokok, mereka biasanya nongkrong di pinggir jalan, senang bergerombol, nonton orkes, dan melupakan tugas utama belajar. Anak adalah investasi masa depan. Kalau bisa mengelola dengan baik dan professional, hasilnya di luar dugaan, keuntungannya berlipat ganda, baik material, sosial, maupun (lebih-lebih) spiritual. Dalam bahasa agama, anak saleh akan mampu menyelamatkan orang tua dari siksa neraka.
Efektivitas Fatwa Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak akan berpengaruh apa-apa kalau tidak didukung oleh pemerintah sebagai pihak berwajib yang bisa mengeluarkan dan melaksanakan sebuah aturan yang menyeluruh dan mengikat seluruh warga negara.
Apa pun yang difatwakan MUI, kalau pemerintah apatis pasif, maka tidak akan efektif. Ia hanya menjadi guyonan belaka. Kita melihat Fatwa Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) yang mengharamkan acara selebritas di media elektronik, yang di dalamnya unsur ghibah (mengguncing) dan membuka aib keluarga terasa kental; namun karena tidak menjadi kebijakan negara, maka fatwa itu tinggal fatwa, sekadar nasihat yang tidak punya bargaining power sama sekali.
Hanya umat Islam yang sadar bahaya merokok dan peduli hukum agamanya sajalah, yang akan menerima dan mematuhi fatwa dari lembaga bergengsi seperti MUI.(68)
–– Jamal Ma’mur Asmani, peneliti Cepdes (Center for Pesantren and Democracy Studies) Jakarta. |
| |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar