AP Photo/Hassan Ammar / Kompas Images Kawasan Mina, di mana terdapat jumrah yang harus dilempar jemaah haji sebagai simbol perlawanan terhadap setan, terus direnovasi oleh Pemerintah Arab Saudi untuk memudahkan dan membuat nyaman jemaah melakukan pelontaran, Selasa (9/12). |
Oleh M Syaifullah
Datang ke Masjidil Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah, atau melontar jumrah di Mina, kita pasti takjub melihat perubahan yang terjadi. Perubahan itu berwujud renovasi besar-besaran dan perluasan tempat-tempat dan fasilitas ibadah di kawasan tersebut.
Tujuan dari pembangunan yang menelan biaya triliunan riyal dan baru akan selesai beberapa tahun mendatang itu untuk membuat kenyamanan berhaji dan umrah.
Pemerintah Arab Saudi sebagai pihak yang bertanggung jawab menjaga dan memelihara tempat-tempat suci untuk ibadah tersebut juga berkepentingan untuk memberikan pelayanan terbaik buat tiga juta warga Muslim sedunia setiap tahunnya.
Namun, perubahan-perubahan tersebut kini membawa konsekuensi sendiri. Konsekuensi yang paling nyata adalah terkait lokasi pemondokan jemaah haji yang makin jauh.
Jika tahun-tahun sebelumnya jemaah cukup dengan berjalan kaki, sekarang tidak bisa lagi sebab pemondokan haji Indonesia, misalnya, ada yang berjarak 8 kilometer.
Kondisi pemondokan sendiri beragam, fasilitasnya juga tidak sama. Ada pemondokan yang satu kamar dihuni lima orang, ada juga yang dihuni hingga 15 orang. Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan masalah, seperti keterbatasan air, kamar mandi, dan tempat memasak.
Jemaah memang tidak bisa berbuat apa-apa. Kondisi pemondokan yang demikian harus mereka terima sebab pemondokan yang didapatkan merupakan hasil keputusan pemerintah dan DPR. Dampak dari pemondokan yang jauh itu adalah muncul masalah krusial, yakni penyediaan transportasi. Pada tahun-tahun lalu jemaah haji dengan mudah bisa melaksanakan shalat wajib lima waktu di Masjidil Haram, tetapi pada tahun ini hal itu sulit dilakukan.
”Dulu, ke Masjidil Haram saya hanya menyeberang jalan, sekarang harus antre dan berebut karena pemondokan jauh. Saya sendiri pernah tersesat karena kekacauan transportasi ini,” kata Darmansyah (63), anggota jemaah haji asal Kabupaten Barito Selatan. Kalimantan Tengah.
Darmansyah pernah menunaikan ibadah haji tahun 1978 atau 30 tahun lalu.
Untuk 210.000 anggota jemaah Indonesia hanya disediakan sekitar 600 bus, juga pengaturan arus pengangkutan jemaah sendiri mengalami kekacauan sehingga terjadi penumpukan. Sementara itu, jemaah sendiri tidak sabar mengantre sehingga berebutan untuk masuk bus.
Hasil diskusi dengan Prof Dr Masykuri Abdilah dari Dewan Pertimbangan Presiden terungkap masalah yang paling menonjol dan menjadi sorotan dalam pelaksanaan haji tahun ini, yakni soal pemondokan.
Dua masalah ini, transportasi dan pemondokan, memang harus mendapat perbaikan.
Munculnya dua masalah juga diakui sendiri Menteri Agama (Menag) M Maftuh Basyuni. Bahkan, Menag selaku pemimpin jemaah haji (amirul haj) meminta kepada pejabat Departemen Agama yang terkait dan terlibat pelaksanaan haji untuk tidak lagi memberikan laporan baik-baik saja.
Seperti dikutip Antara, Menag menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan kontrak pemondokan bagi 100.000 anggota jemaah haji Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun. ”Saya enggak mau lagi jatuh ke lubang yang sama dengan pemondokan seperti Syauqiyah, Ka’kiah, dan yang jauh-jauh itu,” katanya di Mekkah.
Ia menyatakan, pihaknya telah mengutus tim untuk itu. ”Tim itulah yang melakukan negosiasi soal kontrak yang berada di ring I dekat Misfalah itu. Saya minta tim untuk tidak pulang sampai berhasil,” katanya.
Di sela-sela pertemuan yang dihadiri pengawas haji dari Komisi VIII DPR dan DPD, Dubes RI untuk Arab Saudi DR Salim Assegaf Aldjufri, Dubes RI untuk Qatar Rozy Munir, dan KJRI Jeddah Gatot Abdullah itu, ia mengaku bahwa pemilik rumah sudah menyetujui dan tinggal membuat perjanjian.
”Kalau sudah, saya akan tanda tangan. Untuk jemaah lainnya, rasanya tidak mungkin untuk menyewa pemondokan di ring I bagi 200.000 orang. Karena itu, sisanya akan di ring II, tapi tidak akan sejauh sekarang,” katanya.
Untuk pemondokan di Madinah, pihaknya sudah ada komitmen dengan DPR untuk menempatkan seluruh jemaah pada kawasan Markaziyah (ring I) dengan menaikkan biaya.
Menyeluruh
Menag juga meminta pelaksanaan haji tahun ini dievaluasi menyeluruh. Jika keinginan Menag itu dijalankan sungguh-sungguh, tidak ada pilihan lain bagi penyelenggara haji kecuali melakukan perbaikan.
Perubahan itu bukan hanya soal pemondokan dan transportasi, tetapi juga menyangkut manajemen penyelenggaraan sehingga benar-benar profesional.
Hal itu sangat diperlukan sebagai konsekuensi penciptaan penyelenggaraan haji yang modern yang diselenggarakan Pemerintah Arab Saudi.
Layanan haji bukan lagi sekadar pelaksanaan manasik. Selama ini, perhatian para haji dari tingkat kabupaten lebih fokus dan paling utama adalah belajar manasik haji.
Padahal, di luar manasik, informasi lain yang terkait erat dan tidak kalah urgensinya dengan proses penyelenggaraan ibadah haji sangat minim mereka terima. Apalagi, latar belakang, tingkat pendidikan, pengalaman, dan bahasa adalah sederet persoalan internal jemaah itu sendiri.
Mengurus ratusan ribu anggota jemaah, yang kemudian berbaur dengan jutaan anggota jemaah haji lainnya dari berbagai belahan bumi, memang tidak mudah. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa pula.
Sangat bijak pula jika penyelenggara haji tidak menutupi segala macam kekurangannya dengan memanfaatkan kesabaran dan keikhlasan jemaah haji yang senantiasa dipesankan.
Dengan begitu, perbaikan mekanisme, sistem manajemen, dan peningkatan pelayanan haji harus terus-menerus diupayakan sekeras-kerasnya. (DIS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar