Minggu, 01 November 2009
Selasa, 06 Oktober 2009
Rabu, 23 September 2009
Aktualisasi Islam Mengalami Reduksi
JAKARTA, KOMPAS.com - Bahkan, akibat ketidakpahaman pemeluknya, Islam terkadang juga disimpangkan dan dibajak oleh sekelompok penganut Islam sendiri yang mengklaim sebagai Muslim sejati. Namun, pada saat yang sama, kelompok tersebut justru mempertontonkan tindak-tindak kekerasan yang jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip maqashid al syariah dan ajaran Islam yang paling mendasar. Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Mohammad Ali dalam khotbah Idul Fitri 1 Syawal 1430 H di Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu (20/9), menyatakan, selain tereduksi dan disimpangkan, aktualisasi Islam sebagai rahmatan lilalamin juga menghadapi kendala yang cukup serius terkait dengan persoalan krisis identitas. Khotbah Mohammad Ali itu berjudul ”Ibadah Syaum dalam Mendidik Setiap Muslim agar Menjadi Rahmatan Lilalamin”. Bertindak sebagai imam dalam shalat itu adalah imam Masjid Istiqlal, Hasanuddin Sinaga. Hadir Presiden dan Ny Ani Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden dan Ny Mufidah Muhammad Jusuf Kalla, sejumlah menteri kabinet, pimpinan lembaga negara, serta duta besar negara sahabat. Wapres terpilih Boediono menjalankan shalat Idul Fitri di Masjid Al Azhar, Kebayoran, Jakarta. Sementara itu, Wakil Presiden Persaudaraan Muslim Internasional Prof Dr Musiby dalam khotbah shalat Id di Panti Asuhan Muhammadiyah Tanah Abang, Jakarta Pusat, menyerukan, perayaan Idul Fitri 1430 H seyogianya tak dimaknai sebagai waktu untuk berhura-hura, melainkan momentum untuk kembali ke Al Quran. Sebab, Al Quran memberikan petunjuk bagi umat manusia untuk meninggalkan alam kegelapan menuju alam yang terang. Shalat Id yang dilaksanakan di halaman dan salah satu ruas jalan raya itu dihadiri ribuan warga dari sekitar Tanah Abang. ”Saat ini hendaknya disadari bersama bahwa hingga dunia kiamat, Al Quran merupakan modal umat Islam. Al Quran adalah sesuatu yang sangat jelas sekaligus sangat rasional bagi manusia,” tutur Musiby. Menurut dia, ketertinggalan umat Islam dibandingkan dengan umat lain salah satunya disebabkan mulai terkikisnya pemahaman terhadap Al Quran sebagai sumber utama kemuliaan dan keutamaan Islam. Banyak warga Muslim yang terlalu bangga dengan rasionalitas berpikir duniawi tanpa mempertimbangkan nilai spiritualitas, seperti yang diajarkan dalam Al Quran. ”Tak ada gunanya pintar atau hebat bila tidak didasarkan pada Al Quran, wahyu Allah yang berisi nasihat benar. Itulah tuntunan,” kata Musiby. Lebaran sebagai hari kemenangan setelah selama 30 hari berjuang melawan hawa nafsu hendaknya menjadi momen bagi umat Islam untuk kembali menjadikan Al Quran sebagai rujukan utama dalam mencari petunjuk hidup. Maka, mengamalkan Al Quran akan menjadi kemenangan sesungguhnya umat Islam, lanjut Musiby.
Minggu, 13 September 2009
Kolom Adian Husaini, M.A: Mengajak Jalaluddin Rakhmat Bertobat
Kolom Adian Husaini, M.A: March 2008
Jumat, 28 Agustus 2009
KOMPAS cetak - Islam Direduksi dan Dibajak
Umat Islam Harus Bersatu
Jumat, 28 Agustus 2009 | 04:23 WIB
Jakarta, Kompas - Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin) tidak hanya dipersempit dan direduksi, tetapi juga disimpangkan dan bahkan dibajak oleh beberapa orang Islam yang kerap mengklaim sebagai Muslim sejati."
Sabtu, 22 Agustus 2009
Republika Online - Polisi Awasi Dakwah
Ini berarti kembali ke era Orde Baru.
JAKARTA -- Markas Besar Kepolisian Indonesia (Mabes Polri) memerintahkan kepolisian di daerah meningkatkan upaya pencegahan tindak terorisme. Salah satu bentuknya adalah menggiatkan pengawasan terhadap ceramah keagamaan dan kegiatan dakwah.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Nanan Soekarna, mengatakan, jika dalam materi dakwah itu ditemukan ajakan yang bersifat provokasi dan melanggar hukum, aparat akan mengambil tindakan tegas. Pengawasan itu, terang Nanan, bukan bermaksud membatasi ceramah atau dakwah."
Jumat, 21 Agustus 2009
Republika Online - 17 Jamaah Tabligh Ditahan
Polisi jangan menangkap hanya bermodal curiga.
JAKARTA -- Sebanyak 17 anggota Jamaah Tabligh berkewarganegaraan Filipina yang sedang melakukan khuruj (perjalanan dakwah dari masjid ke masjid), hingga kemarin, masih ditahan di Markas Polda (Mapolda) Jawa Tengah.
''Sembilan orang ditangkap di Purbalingga dan delapan orang di Solo,'' kata Kepala Polda Jawa Tengah, Irjen Alex Bambang Riatmojo, di Purwokerto, Jawa Tengah, kemarin.
Mereka ditahan, ungkap Alex, karena menyalahi izin visa yang semestinya. Sesuai visa, mereka berada di Indonesia untuk kunjungan wisata. Tapi, selama di Tanah Air, mereka melakukan kegiatan keagamaan yang butuh visa khusus."
Minggu, 16 Agustus 2009
Republika Online - Antara Hisab dan Rukyat
Sabtu, 15 Agustus 2009
VIVANEWS - POLITIK - SBY Sebaiknya Lepaskan Atribut Demokrat
VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel
VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel
Republika Online - Memahami Gerakan Terorisme: Mungkinkah Berakhir?
Republika Online - Antara Hisab dan Rukyat
KOMPAS cetak - Malik Fadjar: Klaim Kebenaran Harus Dijauhi
Jumat, 07 Agustus 2009
Chilla, Strategi Dakwah Islam ke Seluruh Dunia
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjalankan dakwah Islam. Organisasi Islam non-politik Jamaah Tabligh yang memiliki pengikut di berbagao belahan dunia menggelar acara tahunan "Chilla" yaitu perjalanan ke berbagai negara dalam rangka dakwah Islam.
Chilla diambil dari bahasa Parsi "Chihli" yang artinya empat puluh. Chilla adalah lanjutan dari pertemuan "Bishwa Ijtima" atau Jamaah Muslim Dunia bulan Januari kemarin di ibukota Bangladesh, Dhaka. Pertemuan yang diorganisir oleh Jamaah Tabligh itu dihadiri oleh jutaan orang, 10.000 orang diantaranya peserta dari 108 negara. Pertemuan di fokuskan pada cara-cara untuk menyebarkan pesan-pesan Islam ke seluruh dunia.
Setelah pertemuan yang berlangsung selama tiga hari itu, ratusan ribu orang yang bersedia ikut dalam program "Chilla" berkumpul di masjid Jamaah Tabligh, Masjid Kakrail di Kota Dhaka. Para peserta dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan 10 sampai 20 orang. Mereka akan menjalankan misi dakwah dengan melakukan perjalanan ke berbagai negara selama 40 hari.
Salah satu peserta yang setiap tahun ikut misi tersebut adalah Mohammed Fauzia, warga Malaysia yang bekerja sebagai teknisi. Fauzia, 44, sudah 15 tahun mengikuti misi ini. "Saya berusaha keras untuk bisa ikut Chilla setiap tahun dan menjalankan dakwah Islam ke seluruh dunia. Saya sudah pernah berkunjung ke berbagai negara seperti Australia, Thailand, Pakistan dan India," tutur Fauzia.Peserta lainnya adalah Erfan Ibrahim asal Afrika Utara yang berprofesi sebagai guru mengatakan, alasanya ikut misi ini karena ia meyakini bahwa setiap Muslim harus menjalankan dakwah Islam.
"Kami menjalankan misi dakwah dengan Jamaah Tabligh untuk membawa kedamaian di dunia," kata seorang pengusaha asal Pakistan.
Mereka yang pernah ikut "Chilla" mengakui bahwa misi dakwah itu telah membawa dampak positif bagi diri mereka dan orang lain. Abdul Jamal, jamaah asal Malaysia mengatakan bahwa tujuan utamanya terlibat dalam misi dakwah ini, yang paling utama adalah untuk memperbaikan diri sendiri.
Pernyataan Jamal dibenarkan oleh jamaah asal Pakistan yang berprofesi sebagai pengusaha tadi. "Muslim harus memperbaiki diri sendiri dulu sebelum melakukan kegiatan dakwah," ujarnya.
Peserta "Chilla" lainnya berpendapat, melakukan perjalanan ke berbagai negara untuk berdakwah membantu penyebaran pesan-pesan ajaran Islam yang benar. "Kita harus menyebarkan Islam ke seluruh dunia," kata Mohammed. Menurutnya, sejak pertama kami ikut misi ini, ia menyaksikan banyak orang dari berbagai negara merasakan kedamaian dalam Islam.
Abdur Rahman dari Rusia menambahkan, misi dakwah sangat penting di saat umat Islam sedang mendapat sorotan dan Islam distereotipekan sedemikian buruknya. Ia mencontohkan dakwah di negaranya, Rusia yang berdampak cukup signifikan. Kegiatan dakwah yang intensif di negara itu membuahkan hasil dimana ada sekitar 200 orang di Moskow yang masuk Islam setiap tahunnya.
"Pola pikir masyarakat Rusia berubah beberapa tahun belakangan ini," kata Abdur Rahman yang masih berusia 17 tahun.
"Masyarakat Rusia yang dulunya berpikir agama Islam identik dengan terorisme dan bahwa orang Islam itu suka membunuh, sekarang mereka paham bahwa Islam merupakan agama yang paling berkembang di dunia dan orang Islam adalah orang yang mencintai perdamian," tukas Abdur Rahman. (ln/iol)
Pemuda Arab Baiat Erdogan Sebagai Khalifah Umat Islam Zaman ini
Dalam jajak pendapat di beberapa situs dan forum internet di Arab, para aktivis internet yang kebanyakan dari kalangan pemuda dan terdidik menyatakan bahwa mereka membaiat "secara tak langsung" Erdogan sebagai "Khalifah al-Muslimin fi Hadza al-'Ashr" (Pemimpin Umat Muslim di Zaman ini).
Puluhan pemuda Mesir, misalnya, dalam sebuah forum di Face Book menyatakan Erdogan sebagai Pahlawan Bangsa Arab dari Ras Non-Arab (Bathl al-Ummah al-Arabiyyah wa Huwa Laysa Arabiyyan). Di forum tersebut, terdapat sub-judul dengan pertanyaan menarik: "Limadza La Nahlamu bi 'Awdah al-Khilafah al-Islamiyyah" (Mengapa KitaTidak Mengharapkan Kembalinya Masa Khilafah Islamiyyah?".
Harian Turki Akhbar al-Alam (7/2) melansir, dalam sebuah forum (muntadayat) internet lainnya, terdapat pula tema diskusi yang cukup menggelitik. Dikatakan bahwa "Sepertinya orang-orang non-Arablah, yaitu Pemimpin Turki (Erdogan) dan Iran (Dinejad), bahkan kalangan non-Muslim dari unsur Komunis (Syuyu'i), yaitu Presiden Venevuela Hugo Chavez dan Pemimpin Kuba (Fidel Castro) yang justru akan banyak memberikan perubahan berarti bagi permasalahan kemanusiaan di Palestina.
Sebelumnya, dalam sebuah pidatonya di hadapan kader Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Turki yang dipimpinnya, Erdogan pernah menyatakan jika orang-orang Turki adalah pewaris Kekhalifahan Utsmani yang agung. Pidato Erdogan tersebut terkait reaksinya atas beberapa pemimpin Eropa yang tampak "menyepelekan" peran Turki.
Demikian juga, saat di hadapan Peres, Erdogan dengan tegas "menyentak" Presiden Zionis itu dengan menyatakan jika, "tidakkah engkau ingat, ketika bangsa Yahudi mengalami tragedi pembantaian di Spanyol pasca jatuhnya daulah Islam di sana, juga ketika orang-orang Yahudi diusir dari Eropa di abad petengahan, khalifah Utsmani-lah, orang-orang Turki-lah, kami-lah yang melindungi dan menyelamatkan bangsa kalian!".
Khalifah Utsmaniyyah berdiri sejak abad ke-13 M hingga abad ke-20 M, dan tercatat sebagai kekhalifahan Islam yang memiliki masa kekuasaan terlama (dibanding dengan kekhalifahan Umayyah di Damaskus, Abbasiyyah di Baghdad, Marwaniyyah di Cordova, Fathimiyyah di Mesir, Shafawiyyah di Iran, dan lain-lain).
Pada puncak kejayaannya, yang merentang dari abad ke-15 sampai ke-19 M, kekhalifahan Utsmaniyyah berhasil meruntuhkan imperium adiluhung Byzantium (1453 M). Wilayah kekuasaannya membentang serupa bulan sabit: dari Eropa Tenggara, Eropa Timur, Afrika Utara, Nubia, Mesir, Syam, Semenanjung Arabia, hingga ke Irak. Bisa dibayangkan kebesaran kekhalifahan Utsmaniyyah kala itu. Tak pelak, Utsmaniyyah pun menjadi super power dunia yang pengaruhnya malang melintang pada masanya.
Dan Erdogan, yang kini kerap bercerita tentang nostalgia kejayaan kekhalifahan Utsmaniyyah dulu, rupanya ampuh memantik gelora orang-orang Turki, dan kini terbukti ampuh membangkitkan gelora orang-orang Muslim Arab.
Bagaimana dengan Muslim Indonesia? (atjeng cairo/alm)
Minggu, 02 Agustus 2009
Wahabisme dan Kekerasan
Lebih lanjut dia menekankan agar umat Islam bersatu melawan Wahabisme yang menurutnya menjadi aliran penebar teror di dunia. Istilah tersebut ikut dipopulerkan pula oleh Habib Asseqaf yang menyebut Wahabisme sebagai aliran Islam garis keras. Meski, sebenarnya ia juga sering bertindak laiknya pengikut Wahabisme ketika berhadapan dengan aliran lain yang dinilai tidak sejalan dengan pemahamannya.
Berkaitan dengan istilah Wahabisme, barangkali --jika merujuk kepada aliran dalam Islam-- lebih tepat dikatakan Wahabiyyah. Sebab dengan penyebutan itu menurut saya lebih tertuju kepada ajaran-ajaran yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Sementara jika kita menyebut Wahabisme --sesuai dengan konteks perang terhadap teror saat ini-- menurut saya hanya akan tertuju kepada satu masalah saja, yaitu kekerasan. Meskipun dalam sejarah perkembangannya, karena terlibat ”perselingkuhan” dengan keluarga Saud, kekerasan terhadap kelompok yang dianggap berbeda menjadi salah satu cirinya.
Pencetus aliran tersebut adalah Muhammad bin Abdul Wahab seorang ulama yang bercita-cita memurnikan Islam. Dan, untuk mewujudkan hal itu, menurutnya hanya ada satu pilihan; kembali kepada ajaran Alquran dan Sunnah serta menjauhkan umat Islam dari segala ajaran yang menurutnya tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
Derivasi Pada mulanya, apa yang disebut Wahabiyyah sebagai istilah yang diderivasi dari nama belakangnya tidak berbeda dengan aliran lain. Dalam taraf tertentu bisa dikatakan semacam ”wacana” keagamaan sampai akhirnya keluarga Saud merasa bahwa ajaran Muhammad bin Abdul Wahab tersebut bisa dijadikan sebagai alat atau ideologi bagi pasukan untuk melakukan penaklukan daerah-daerah sekitarnya.
Dalam sejarahnya, keluarga Saud hanyalah sebuah penguasa suku di wilayah yang relatif kecil. Oleh sebab itu, mereka sering menjadi bulan-bulanan sejumlah penguasa daerah yang lebih besar termasuk Turki Usmani. Namun, setelah mereka menerima ajaran Muhammad bin Abdul Wahab dan menjadikannya sebagai ideologi dari perjuangan mereka, secara perlahan namun pasti, keluarga Saud bisa memperluas kekuasaan mereka sampai menguasai Nejd tempat Makkah dan Madinah berada.
Ada perkawinan kepentingan. Muhammad bin Abdul Wahab menyebarkan ide-ide pemurnian keagamaan dan keluarga Saud untuk memperluas wilayah kekuasaan. Penyebaran ajaran Wahabiyyah tidak lepas dari kekerasan yang didukung oleh keluarga Saud untuk memperluas kekuasaan. Sebagai konsekuensi dari sinergi dua kepentingan tersebut, sangat logis jika kemudian kekerasan terhadap sesama muslim menjadi fenomena ketika itu karena upaya penyebaran ajaran dibarengi upaya untuk memperluas kerajaan. Sehingga, di samping juga ada upaya penaklukan ajaran agar kembali menurut mereka ke ajaran murni sesuai Alquran dan Sunnah. Ada juga upaya untuk menaklukkan wilayah dalam konteks pertumbahan darah adalah menjadi pilihan yang tidak terhindarkan.
Sebagai buah perselingkuhan dari dua kepentingan itu, ribuan pengikut aliran yang dianggap menyimpang, terutama dari kalangan pengikut tarekat, harus menemui ajal lantaran mereka dianggap sebagai pelaku khurafat dan bidah. Atau dengan istilah lain, lantaran keislaman mereka yang terbantai tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Aliran Wahabiyyah memang mengklaim sebagai aliran yang berupaya memurnikan ajaran Islam sesuai Alquran dan Sunnah serta menolak semua argumen yang menurut mereka tidak didasarkan kedua sumber dalam Islam tersebut. Tidak hanya sampai di situ --paling tidak pada masa kelahirannya-- karena aliran ini yang didukung kekuatan militer keluarga Saud. Mereka mudah melakukan kekerasan terhadap aliran Islam lain yang dinilai sebagai pelaku bidah dan khurafat.
Atas dasar perjalanan sejarah yang senantiasa bersinggungan dengan kekerasan tersebut, sejumlah kalangan ketika melihat ada sekelompok muslim yang melakukan tindakan teror dan disebut sebagai pengikut Wahabisme. Jadi Wahabiyyah yang sebenarnya sama dengan Asyariyyah dan Syafiiyyah lebih diidentikkan dengan kekerasan.
Muncul Kepentingan Pada mulanya, kekerasan bisa jadi tidak diinginkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Namun, karena ada kepentingan lain selain penyebaran ide keagamaan, yaitu perluasan wilayah kekuasaan keluarga Saud, ajarannya menjadi semacam penyemangat penaklukan sehingga ide-ide yang semestinya disebarkan melalui pendekatan persuasif dan elegan menjadi berkait berkelindan dengan kekerasan. Maka, terjadilah sebutan Wahabisme yang hanya mengedepankan satu aspek dari sejarah perkembangannya, yaitu kekerasan.
Pengidentikan sebenarnya tidak terlalu fair karena terkesan mengesampingkan ekploitasi ajaran tersebut oleh keluarga Saud. Kepada saudara kita di Indonesia yang kebetulan mempunyai kesepahaman dengan ide-ide keagamaan yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab harus memperbaiki citra tersebut.
Saya sependapat bahwa penyimpangan harus diluruskan. Namun, perlu diingat bahwa dalam Islam tidak seorang pun --selain Nabi Muhammad ketika masih hidup-- bisa mengklaim bahwa pendapatnya benar. Sebab Islam sendiri memberikan ruang sangat luas bagi terjadinya perbedaan pendapat ketika berkaitan dengan masalah itu sebenarnya sudah terjadi sejak Nabi wafat.
Apa kita mau mengatakan sahabat sesat lantaran berbeda pendapat dari arus utama ketika itu sementara sahabat sezamannya hanya memilih untuk berkata itu adalah pendapat semata. Oleh sebab itu, marilah kita contoh sikap toleran sahabat agar Islam sesuai akar kata salam, yakni benar-benar menjadi penebar kedamaian dan rahmat; bukan teror dan ketakutan. (80)
–– Mahmudi Asyari, Doktor dari UIN Jakarta, tinggal di Semarang
Atas dasar perjalanan sejarah yang senantiasa bersinggungan dengan kekerasan tersebut, sekelompok muslim yang melakukan tindakan teror disebut sebagai pengikut Wahabisme. Wahabiyyah yang sebenarnya sama dengan Asyariyyah dan Syafiiyyah kemudian lebih diidentikkan dengan kekerasan.
Senin, 27 Juli 2009
Menguak Wacana Terorisme Oleh: Hermanto Harun
Tertangkapnya Yusron alias Abu Dujana di Indonesia, seakan semakin menguatkan asumsi, bahwa gerakan terorisme memang eksis dan tetap selalu menjadi `hantu' yang setiap waktu selalu siap bergentayangan. Isu terorisme di negeri ini sepertinya menjadi santapan harian opini publik, yang semakin hart mengarah pada justifikasi bahwa memang, terorisme selalu bertalian dengan faham dogmatif keberagamaan.
Semenjak peristiwa Sabtu kelabu 11 September 2001 yang menghancurkan WTC dan Pentagon, gedung simbol kedigdayaan Amerika Serikat, isu terorisme terus mengalir ke permukaan wacana. Ruang publik seakan tak hentinya di cekoki hidangan isu terorisme yang sampai saat ini belum jelas identitasnya. Sepertinya, wacana terorisme senantiasa menjadi 'headline' setiap berita di pentas global. Seolah, terorisme menjadi konco dinamika dunia yang tak boleh terlewatkan dalam pemberitaan.
Adalah Rif’at Said yang menulis artikel yang berjudul "al-Irhab fi Alam alAulamah" (teroris dalam dunia global) di harian al-Ahram Mesir (20/4/2007), dalam tulisan itu mengungkapkan, bahwa, ada sebuah perenungan dalam kerangka peta zaman yang baru yang disebut globalisasi, yang terkadang menyuguhkan ragam penafsiran yang layak untuk diperhatikan, yaitu adanya dua kutub dunia yang berbeda antara dunia maju dan dunia yang selalu identik dengan keterbelakangan. Disini difahami bahwa dunia pertama adalah keberhasilan, kemajuan dan harus dilindungi, sedang dunia kedua adalah kemunduran, keterbelakangan yang selalu dipandang sebagai ancaman.
Terorisme menjadi alat dan opini jitu di pentas global untuk dijadikan kambing hitam sebagai dalih pencitraan buruk terhadap dunia kedua yang `konon' masih menjadikan agama sebagai nafas kehidupan, sehingga, dunia pertama yang berbaju Barat seakan menjadi pejuang dan pahlawan terhadap pemberangusan terorisme. Walaupun sulit untuk menutup topeng, bahwa, iklan besar-besaran tentang terorisme yang disponsori oleh Barat memiliki hiden agenda, yaitu untuk kepentingan kapitalisme dan bahkan tidak mustahil demi agama (crused). Dengan demikian, yang tampak sekarang, Islam selalu menjadi pihak tertuduh yang ditempelkan dengan prilaku teroris. Lebih dart itu, norma Islam bahkan diidentifikasi sebagai ajaran yang memang akrab dan bahkan memang mengajarkan tindakan yang tidak berperikemanusiaan tersebut.
Bagi penganut Islam, tuduhan dan persepsi seperti di atas jelas ditolak, karena memang sangat kontradiktif dengan nilai humanisme dogma Islam. Namun fakta waqi'nya, para pelaku yang dianggap teroris, sebagiannya berstatus sebagai muslim. Lantas, benarkah asumsi bahwa tindakan terorisme bermotif agama? dan apa sebenarnya "binatang" terorisme itu?.
Definisi terorisme
Mendefinisikan terma terorisme sacara harfiyah tidaklah begitu sulit. Namun, menerjemahkannya secara kully (konprehensif) dengan konkteks kekinian terasa agak akut, mengingat terma terorisme sudah dirasuki, ter-sibghah (diwarnai) oleh pelbagai kepentingan, baik ideologi maupun politik. Sehingga ketika harus menuding seseorang dengan teroris, terasa sulit untuk meyakini kebenaran relevansinya antara stigma dan pelakunya. Hal ini karena terma terorisme telah memasuki wilayah klaim masing-masing yang menjadi multi tafsir bagi pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, semua pihak berhak untuk menghindar dan terminologi terorisme dan mengakui bahwa pekerjaan yang mereka lakukan tak jarang dianggap sebagai perbuatan suci yang dijustifikasi oleh dogma agama. Di sinilah tepatnya ungkapan Fahmi Huwaidi dalam bukunya al-Maqalat al-Mahzurah (kumpulan artikel terlarang) yang menjelaskan, bahwa dekade terakhir ini, perbuatan baik dituding sebagai ,sebuah kejahatan, putih menjadi hitam, dan mujahid dianggap teroris.
Namun, di tengah subyektifitas dan kerancuan makna terorisme, tidak lantas istilah ini terisolir dan luput dari pengertian akademiknya. Menurut Vidari, kata terorisme merupakan istilah asing yang digunakan untuk menyebut seseorang dan atau kelompok yang melakukan tindakan kekerasan dan teror di tengah-tengah masyarakat. (Republika, 23/6/2007). Jhon M Echols menyebut anti teroris sebagai penggetaran atau perusuh atau tindakan kekerasan yang disertai dengan sadisme yang dimaksudkan untuk menakutnakuti lawan. Akan tetapi dalam kamus adikuasa, menurut Noam Avram Chomsky, terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompokkelompok kecil. Lain lagi dengan Amir Thohiri. Dalam bukunya al-lrhab al-Muqaddas (terorisme suci) tertulis, semua tindakan kekerasan yang diluar undang-undang perang-- seperti yang telah disepakati oleh seluruh negara di dunia--dengan tujuan memberi rasa tidak aman demi tercapainya tujuan politik.
Pengertian di atas, merupakan persepsi personal ilmuwan dalam mendefinisikan makna terorisme. Pada level kenegaraan, Mesir misalnya, pernah diadakan forum dialog antara ketua Asosiasi Keamanan Nasional Arab dengan ketua Dewan Syura (MPR) Mesir pada tanggal 20 Maret 1993 yang mengangkat tema "Menghadang Terorisme". Dalam dialog ini menelurkan pengertian terorisme, yaitu, segala praktek kekerasan atau ancaman dengan tujuan politis untuk mempengaruhi prestise negara atau untuk menguasai keamanan dengan obsesi menggoyang kepemimpinan nasional, yang bisa dilakukan dengan pelbagai cara, seperti menghancurkan perekonomian agar tercipta keresahan yang berujung kerusuhan. Juga, sebuah obsesi untuk merubah perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh negara dan telah diterima oleh masyarakat.
Sejarah dan Klasifikasi
Jika berangkat dari pengertian terorisme secara leksikal seperti di atas, maka mafhum sederhana dapat disimpulkan bahwa terorisme itu selalu ada dalam realitas sejarah kehidupan manusia. Bahkan, ada semenjak manusia itu membentuk komunitas sosial seperti tragedi pada bani Adam, Habil dan Qabil. Namun pengertian terorisme dalam pemikiran modern mengkristal semenjak revolusi Prancis pada tanggal 10 Agustus 1792, ketika pihak oposisi revolusi melakukan pelbagai tindakan kekerasan dalam menantang revolusi tersebut.
Dalam perkembangannya, gerakan terorisme memang sangat sering dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Hal ini terlihat dari beberapa klasifikasi yang dirangkumkan oleh para ilmuwan. Setidaknya ada tiga. Pertama, terorisme kriminal seperti gerakan perompakan dan penodongan. Kedua, terorisme hegemonic seperti yang banyak dilakukan oleh banyak penguasa terhadap lawan politiknya dalam melanggengkan kekuasaan. Ketiga, terorisme pemikiran seperti pemaksaan opini dan pemahaman terhadap kelompok lain.
Jika disimak dengan pola fikir yang sangat sederhana, baik definisi, sejarah dan klasifikasi terorisme, maka sangat lumrah `terorisme' itu terjadi dalam sebuah komunitas sosial masyarakat. Namun ini bukan berarti penulis mengamini pekerjaan yang dilakukan oleh para teroris, atau menyederhanakan tindakan terorisme, akan tetapi lebih pada keinginan untuk melihat terorisme secara proporsional. Karena dalam realitas kekinian seakan ada kesan pemaksaan opini publik bahwa terorisme memang merupakan ajaran agama. Sehingga biasnya sangat kentara ketika tampilan-tampilan formal agama yang mungkin itu memang dianjurkan dalam ajarannya menjadi identitas kelompok terorisme. Sehingga harus diwaspadai dan dicurigai.
Di sinilah letak kecurigaan, mengapa wacana terorisme selalu muncul dan diopinikan di negara-negara yang kebetulan berpenduduk muslim, atau, mengapa secara umum pelaku yang tertuduh dan dituding melakukan tindakan terorisme adalah terkesan muslim yang ta'at, yang padahal secara jelas ajaran Islam sangat menistai prilaku teror itu. Kecurigaan semakin bersemai ketika kelompok "lain" melakukan hal yang sama, tapi tidak begitu terdengar julukan istilah terorisme kepada mereka. Apakah kurang bejad dan teroris-nya Israel yang sampai saat ini terus memporak-porandakan negara Palestina, Apakah kurang sadisnya tentara Amerika yang sampai saat ini masih bercokol di negara Irak yang berdaulat. Tidak sadiskah pembunuhan kaum muslim di Mindanao, Thailand Selatan, Kasmir dan Ambon. Sungguh pembunuh-pembunuh itu sangat pantas diopinikan sebagai teroris kalas kakap. Tapi mengapa para pembunuh-pembunuh itu tidak didakwa sebagai gerakan atau negara teroris, sehingga bisa di "borgol" Densus Anti Teror Indonesia yang sangat takut dengan teroris yang sudah tidak berdaya? Tanya KENAPA? Wallahu'alam
Jumat, 24 Juli 2009
Ikhtiar Memberantas Terorisme
Jumat, 24 Juli 2009 | 04:50 WIB
Ahmad Fuad Fanani
Tragedi itu datang lagi. Setelah empat tahun Indonesia sepi bom, Jumat (17/7/2009), para teroris kembali berulah, menyasar Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton.
Bom itu tidak hanya mengguncang rasa aman dan mempermalukan, tetapi juga menunjukkan Indonesia belum aman dan bebas dari teroris.
Teroris dan bom bunuh diri harus dicegah, diusut, dan dihentikan. Latar belakang diurai agar teror serupa bisa dicegah. Jika pemberantasan hanya di tingkat permukaan, membuat politik kambing hitam, dan mentradisikan politik generalisasi terhadap terorisme, niscaya problem itu akan terus terjadi dan menghantui kita semua.
Selama ini ada asumsi, teroris diimpor dan diproduksi dari pesantren atau sekolah Islam. Maka, jika ada bom dan teroris, pesantren dan umat Islam sering menjadi tertuduh. Padahal, pelajaran agama dan pemahaman tentang definisi jihad di kalangan Islam tidak seseram yang banyak dipersepsikan. Misalnya, pembelajaran tentang jihad disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keterkaitan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jihad yang dimaksudkan adalah bagaimana berjuang di jalan Allah agar menemukan kebenaran dan kebahagiaan, tetapi tidak dengan perang dan kekerasan.
Itu juga sesuai pernyataan Khaled Abou El Fadl, jihad merupakan prinsip inti teologi Islam; yang berarti berusaha keras, gigih, dan mengaplikasi diri. Dalam banyak hal, jihad menunjukkan etika kerja spiritual dan material. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidak mungkin diwujudkan tanpa jihad—kerja keras yang serius dan tangguh.
Membersihkan diri dari kesombongan dan kepicikan, mencari pengetahuan, menyembuhkan yang sakit, memberi makan orang miskin, membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan meski dengan risiko, adalah bentuk-bentuk jihad (The Great Theft, Wrestling Islam from the Extremists, 2005).
Khaled menambahkan, tindakan terorisme dan bunuh diri bukan jihad, tetapi qital. Al Quran menggunakan kata qital untuk merujuk peperangan dan pertempuran. Jihad merupakan sesuatu yang baik pada dan dalam dirinya, sedangkan qital tidak, karena itu dilarang dan dibatasi dalam kondisi tertentu. Sementara perintah untuk jihad, seperti rujukan terhadap keadilan dan kebenaran, bersifat mutlak dan tanpa syarat.
Menurut Stuart Sim dalam Fundamentalis World: The New Dark Age of Dogma (2004), kini dunia sedang dilanda demam fundamentalisme dan terjadi pada semua bidang, baik agama, politik, maupun ekonomi. Fundamentalisme bukan khayalan setiap kita beraktivitas, tetapi telah menjadi gejala dunia, yaitu lahirnya zaman baru kegelapan dogma. Kita terkepung ancaman fundamentalisme karena gejala ini menggunakan pengaruh kuat dalam semua lembaga agama, politik, dan ekonomi. Mereka menawarkan alternatif pilihan kembali ke masa lalu, terutama pada masyarakat yang frustrasi saat berhadapan dengan kapitalisme global, demokrasi liberal, maupun sekulerisme.
Maka, untuk memburu teroris dan memberantas terorisme, penyelesaian masalah secara komprehensif harus dilakukan secara arif, teliti, dan cerdik. Diskriminasi umat Islam pascaperistiwa 11 September yang menjadikannya sebagai tertuduh, seyogianya tidak dikembangkan menjadi kebijakan negara-negara Barat. Gejala terorisme negara yang ditunjukkan Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina dan Irak hendaknya juga serius diperhatikan.
Kebijakan yang memihak redistribusi sosial, penegakan keadilan sosial, dan subsidi kepada yang papa bisa dijadikan alternatif memberantas terorisme.
Dengan menjalankan kebijakan yang pro-rakyat dan bertumpu pada solusi problem nyata di masyarakat, pemerintah akan mudah mendapat simpati rakyat dan gerakan terorisme cepat digulung. Jangan sampai langkah pemerintah cenderung bersifat gegap gempita di permukaan dan menuruti pesanan tanpa memahami akar persoalannya.
Agama dan Terorisme
Jumat, 24 Juli 2009 | 04:51 WIB
Budi Kleden
Sudah menjadi satu ritual yang terulang, setiap ada aksi kekerasan di negara ini, para pemimpin agama tampil berdoa bersama bagi para korban sembari mengecam dan menyesalkan aksi itu.
Mereka mendemonstrasikan kesatuan dan menyatakan dengan tegas bahwa tindak kekerasan dan terorisme adalah perbuatan antikemanusiaan dan berlawanan dengan ajaran agama mana pun. Tidak ada agama yang membenarkan kekerasan.
Bersamaan dengan itu, warga pun diajak untuk tidak mengidentikkan agama tertentu dengan aksi teror dan kekerasan tertentu. Pertanyaan kita adalah apakah benar agama-agama sama sekali tidak mempunyai kontribusi dalam aksi teror yang terjadi?
Kita akan mudah menemukan kesepakatan bahwa sejatinya tidak ada agama yang eksplisit mengajarkan warganya untuk menggunakan kekerasan. Pada tataran normatif, agama berurusan dengan yang ilahi, yang dipandang dan disembah sebagai sumber dan tujuan kehidupan manusia. Karena memiliki Tuhan sebagai sumber dan tujuan, kehidupan manusia terlindung secara hakiki.
Dalam alur silogisme ini, tiap agama juga harus menghargai hak hidup tiap manusia. Maka, tindak kekerasan yang menghancurkan kehidupan manusia seperti terorisme adalah bertentangan dengan sikap dasar kepada yang ilahi. Orang yang membunuh orang lain dalam aksi teror tidak berhak menyebut diri penyembah Tuhan.
Persoalan yang dihadapi adalah kompleksitas fenomena keagamaan yang tidak selalu demikian terang layaknya sebuah silogisme. Agama berbicara dan merayakan yang ultim, yang tidak dapat direduksi hanya pada akal budi. Tuhan menyentuh seluruh diri manusia.
Karena itu, agama tidak hanya berbicara dan mewartakan, tetapi juga merayakan. Hanya karena itu, agama menjadi tempat perlindungan bagi manusia saat dia terancam hanyut dalam kalkulasi ekonomi, perhitungan politik, atau rekayasa ilmu pengetahuan, dan dapat menjadi inspirasi untuk pembebasan saat terjadi banjir emosi yang membutakan.
Dalam bahasa Habermas, agama membangkitkan kesadaran akan sesuatu
Dalam cirinya yang holistis serentak misterius ini, agama memiliki alur argumentasinya sendiri, yang tidak selalu dapat diterima semua orang. Masalah muncul saat agama dengan pola berpikir yang khas mengklaim diri mewakili rasionalitas manusia seumumnya.
Dengan anggapan ini, agama mudah terjebak dalam godaan untuk memaksakan semua orang menerima kebenarannya sebagai satu-satunya yang paling sesuai jati diri alamiah manusia. Yang berpikir lain dinilai terlalu angkuh atau terlalu bodoh.
Ketika banyak cara tidak mempan untuk membalikkan orang dari kebodohan atau keangkuhannya, penggunaan kekerasan pun mudah mendapat legitimasi. Dan membiarkan diri menjadi sarana untuk tujuan ini merupakan satu kemuliaan. Maka, segelintir orang rela mati demi tujuan luhur itu. Godaan ini melekat
Bahaya penggunaan kekerasan, termasuk terorisme, adalah godaan laten dalam agama-agama. Karena itu, tugas paling mendesak serentak paling sulit bagi agama-agama adalah menyediakan perangkat penjelasan dalam tradisinya sendiri untuk mengakui kebebasan yang sama bagi setiap manusia dan semua kelompok.
Kerangka penjelasan itu harus digali dari tradisi sendiri sebab selama dia dipaksakan dari luar, sifatnya amat rapuh dan membentuk semacam toleransi semu. Orang lain terpaksa diterima selama dia belum dapat disingkirkan.
Toleransi seperti ini dapat dipaksakan oleh ideologi politik, relasi kekerabatan, atau simbiosis mutualis dalam sebuah sistem ekonomi. Dia berubah saat ideologi politik runtuh, relasi kekerabatan melonggar atau saat orang merasa dirugikan dalam hubungan perekonomian.
Untuk memupuk satu kehidupan bersama dalam kedamaian yang langgeng, seruan toleransi dan demonstrasi kebersamaan agama-agama amat penting tetapi belum memadai. Lebih dari itu, tiap agama harus mempertanggungjawabkan kepada para pemeluknya landasan teologis yang meyakinkan bagi penerimaan dan penghargaan terhadap semua orang dan kelompok lain.
Toleransi baru menemukan akarnya yang kuat apabila agama sanggup melihat manusia, apa pun agama dan orientasi politisnya, sebagai makhluk yang dilindungi Tuhan dan karena itu memiliki hak yang harus dihormati. Terorisme tidak menambah apa pun pada kemuliaan Tuhan, sebaliknya merupakan penghinaan terhadap-Nya.
Orientasi kepada kemanusiaan ini mendorong agama-agama untuk menempatkan dirinya dalam dialog yang hidup dengan setiap kondisi sosio-historis. Ketika kondisi sosio-historis menampakkan ciri plural yang semakin radikal seperti dewasa ini, klaim agama sebagai pemangku kebenaran absolut harus ditafsir secara baru.
Rasionalitas agama harus menjadi kesadaran fragmentaris, yang hanya dapat menunjuk kepada kebenaran absolut Tuhan tanpa bisa menggantikannya. Agama menjadi sikap manusia peziarah, bukan pengawal benteng abadi yang tak tersentuh goresan kefanaan. Peziarah mencari dalam keterbukaan, pengawal benteng abadi mempertahankan dengan menghancurkan. Selama kita memilih mempertahankan Tuhan dalam semangat pengawal benteng, bahaya laten terorisme pun tetap terpelihara.
Terorisme dan Respons Kalangan Moderat
Jumat, 24 Juli 2009 | 04:53 WIB
Zuhairi Misrawi
Setidaknya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai gerbong kelompok moderat mengecam dan mengutuk tindakan itu.
Meski demikian, respons itu jangan hanya berhenti pada pernyataan sikap. Diperlukan tindak lanjut nyata dengan mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkecil ruang gerak kelompok teroris dan memberi pendidikan sebaik-baiknya agar kalangan moderat tidak mudah direkrut kelompok teroris.
Satu hal yang harus diakui bersama, pendekatan struktural sebagaimana dilakukan pemerintah untuk menangkap, bahkan membunuh teroris tidak mampu menghancurkan ideologi terorisme. Yang terjadi justru sebaliknya, kelompok teroris diyakini telah mengalami polarisasi dan penyempalan dari satu kelompok menjadi beberapa kelompok.
Maka, kalangan moderat dapat berperan jauh lebih strategis melalui pendekatan kultural. Jejaring dan solidaritas kultural yang selama ini dimiliki kedua ormas terbesar ini dapat dijadikan salah satu kekuatan untuk menetralisasi paham keagamaan yang bernuansa teroristik. Sebab, bagaimanapun, tindakan terorisme secara kasatmata telah menampar wajah umat negeri ini yang dikenal ramah dan toleran.
Dalam hal ini, cepat atau lambat, perlu dihidupkan kembali strategi dakwah kultural, yaitu dakwah yang mengajak umat membangun perdamaian, etos kerja, dan keadilan sosial. Pada masa lalu, KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan mempunyai perhatian ekstra terhadap kualitas umat. Dalam waktu panjang terbukti kalangan moderat dapat memberi kontribusi dalam pembangunan bangsa, terutama dalam penanaman nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi.
Langkah ini perlu dihidupkan kembali. Apalagi disinyalir, kelompok yang selama ini diduga sebagai pihak yang melakukan aksi teror tinggal di pedalaman yang merupakan basis kelompok moderat. Jika jejaring kalangan moderat digunakan sebaik mungkin untuk mengimbau semua warga agar mempunyai kepedulian terhadap hak hidup setiap warga dan mendorong perdamaian, hal itu akan memberi dampak positif.
Harus diakui, selama ini dakwa kultural telah mengalami kemacetan karena dua hal. Pertama, kalangan moderat terlalu fokus pada dakwah global melalui forum-forum internasional. Forum-forum seperti ini amat penting guna menunjukkan bahwa mayoritas kalangan Muslim di Tanah Air adalah kelompok yang menyokong dialog antarperadaban dan perdamaian dunia. Namun, akan amat bermasalah jika hal itu mengabaikan agenda-agenda kultural yang sejatinya merupakan prioritas utama.
Kedua, kalangan moderat terlalu hanyut dalam politik praktis. Dalam berbagai forum sudah dikemukakan, keterlibatan kalangan moderat dalam politik praktis akan melumpuhkan agenda-agenda kultural. Kecenderungan pada kekuasaan jauh lebih dominan daripada kecenderungan pemberdayaan masyarakat. Konsekuensinya, umat kurang diperhatikan, elite sibuk berebut kekuasaan.
Maka, aksi terorisme pekan lalu tidak cukup jika hanya dikecam dan dikutuk. Lebih dari itu, harus dijadikan momentum untuk reorientasi pemberdayaan, penyadaran, dan pencerahan umat. Kalangan moderat harus membangun kembali pola keberagamaan yang toleran, damai, dan berkeadaban.
Perlu ditegaskan, terorisme tidak terkait agama tertentu. Terorisme sebenarnya terkait realitas keumatan. Agama, khususnya Islam, amat menegaskan pentingnya perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam sebuah hadis disebutkan, inti Islam adalah menebar perdamaian dan menyantuni fakir-miskin kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal.
Terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama karena yang bermasalah bukan agama, tetapi umat yang kerap kurang tepat memahami doktrin agama, tidak kontekstual, dan bernuansa kekerasan. Sebab itu, yang perlu mendapat perhatian saksama adalah kualitas pemahaman umat terhadap agama. Bom bunuh diri adalah perbuatan yang harus dihindari karena dilarang agama. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia beberapa tahun lalu mengeluarkan fatwa itu.
Selain itu, transmisi gerakan transnasional menyebabkan kelompok moderat mengalami tantangan tidak mudah. Sebab itu, membentengi umat dari ideologi kekerasan merupakan pekerjaan yang harus diutamakan sebelum terorisme menjadi kekuatan yang bersifat masif.
Harapan terhadap kelompok moderat, khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, begitu besar karena kedua ormas ini merupakan benteng terakhir untuk menyelamatkan bangsa dari aneka pembajakan doktrinal. Ongkosnya terlalu mahal jika negeri ini bermetamorfosa menjadi negeri yang setiap saat dihujani bom bunuh diri.
Maka, kalangan moderat harus melakukan tindakan proaktif dan progresif untuk mengatasi masalah terorisme. Tidak hanya setelah kejadian, tetapi jauh-jauh hari sebelum kejadian. Sebab, terorisme menyisakan kesengsaraan, kegelisahan, dan kesedihan yang amat mendalam.
Senin, 13 Juli 2009
Shalat Jumat Dilarang di Xinjiang
RI sesalkan kerusuhan di Xinjiang
URUMQI -- Pemerintah Cina melarang warga Muslim yang tinggal di Urumqi, ibu kota Xinjiang, provinsi otonom Cina, menjalankan shalat Jumat. Masjid-masjid ditutup, dan Muslim Uighur, etnis mayoritas di provinsi itu, diminta menggelar shalat Jumat di rumah masing-masing.
''Berdasarkan instruksi pihak berwenang, pelaksanaan shalat di masjid ditiadakan mulai hari ini. Siapa saja yang ingin menjalankan shalat, dipersilakan melakukannya di rumah,'' demikian pengumuman bertanggal 8 Juli 2009 yang tertera di papan pengumuman Masjid Guyuan, Urumqi.
Alasan Partai Komunis, penguasa di Cina menutup masjid karena khawatir kerumunan massa, seperti shalat jamaah dan shalat Jumat, dapat kembali menyulut kerusuhaan.
''Ini (masjid) tak akan dibuka. Partai Komunis tak akan mengizinkannya,'' kata seorang pria Uighur, bersama ratusan warga lainnya yang hendak menunaikan shalat Jumat di Masjid Raya Dong Kuruk Bridge, kemarin (10/7).
''Kami merasa dihina. Ini kan masjid kami. Tapi, kami tak dapat memasukinya,'' ujar seorang pemuda lainnya, memprotes. Ahmed Jan, warga yang tinggal di dekat Masjid Dong Kuruk, menyesalkan tak diizinkannya mereka shalat Jumat.
''Bagi kami, ini mengganggu. Jika kami tak diziinkan menjalankan aktivitas agama secara normal, akan ada banyak kemarahan,'' katanya.
Pelarangan shalat Jumat ini buntut dari aksi kerusuhan pada Ahad (5/7) lalu. Menurut versi pemerintah, kerusuhan ini menewaskan 156 orang, lebih dari 1.000 orang terluka, dan sebanyak 1.434 orang ditangkap.
Versi lain, menurut Wakil Presiden Uighur World Congress, Asgar Can, seperti dikutip dari World News Australia, korban tewas mencapai 600-800 orang.
Rusuh massa itu berawal dari kemarahan etnis Uighur atas terbunuhnya dua pekerja pabrik mainan, 26 Juni silam. Ribuan warga dari etnis Uighur protes karena pemerintah dianggap tak tanggap atas terbunuhnya dua pekerja yang terlibat bentrok dengan etnis Han.
Kemarin, pasukan keamanan dan kendaraan militer bersenjata lengkap, tampak ditempatkan di sejumlah masjid. Helikopter militer berkeliaran di udara. Sementara di Masjid Yang Han, orang-orang berkerumun membaca pengumuman pelarangan shalat Jumat tersebut.
Seorang perempuan Uighur mengatakan, mestinya masjid tetap dibuka. ''Tak perlu menutup masjid. Sebab, setiap orang yang masuk ke dalamnya adalah seorang Muslim. Pasti aman. Kami tak memiliki kekuatan apa pun,'' katanya, yang langsung ditarik suaminya ke belakang kerumunan.
Tak jauh dari tempat itu, perempuan beretnis Han menyela seorang reporter media asing sebelum berbicara dengan dua perempuan Uighur yang berjilbab. ''Tentu masjid harus ditutup. Lihatlah kerusakan yang ada. Ini langkah patriotik demi kebaikan semua etnis.''
Memeti Imam Damala, imam Masjid Liuddaowan, mengungkapkan, pengumuman larangan shalat itu diterima Kamis (9/7) malam. ''Anda mestinya tahu alasannya apa,'' katanya.
Pengumuman larangan shalat Jumat, ditempel di semua masjid yang bertebaran di Urumqi. Namun, sejumlah masjid tetap dapat menyelenggarakan shalat Jumat, setelah kerumunan massa bersitegang dengan polisi yang menjaga masjid.
Salah satunya terjadi di Masjid White. Seratusan warga yang berkerumum di depan masjid itu berhasil memaksa seorang polisi beretnis Uighur membuka pintu masjid. ''Banyak orang berkerumun di depan masjid. Kami tidak ingin terjadi insiden,'' kata polisi itu yang enggan disebutkan namanya.
Kaishar, seorang penjual mobil, menambahkan, ''Tak ada alasan menutup gerbang. Mereka bilang ini demi keamanan, tapi sebenarnya itu tak perlu.''
Namun, seusai shalat, sempat terjadi bentrok dengan polisi. Sejumlah orang digelandang polisi, dengan tangan di atas kepala. ''Lihat, bagaimana perlakuan mereka terhadap Uighur, layaknya seperti binatang saja,'' kata seorang wanita yang menyaksikan penangkapan itu.
Kerusuhan sosial di Xinjiang itu, disesalkan Pemerintah Indonesia. Namun, kata juru bicara Departemen Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, Pemerintah Indonesia juga menyatakan bahwa upaya menciptakan ketertiban masyarakat sudah dilakukan oleh Pemerintah Cina.
''Kita berharap upaya itu memang cepat dilakukan, sehingga tak terjadi masalah yang berkepanjangan di Xinjiang,'' kata Faizasyah.
Pengamat Cina dari Baptist University, Hong Kong, Jean-Pierre Cabestan, mengatakan, kerusuhan di Xinjiang membuktikan klaim Pemerintah Cina bahwa kehidupan berjalan aman telah terbantahkan.
''(Kerusuhan itu) menunjukkan bahwa Cina masih merupakan negara yang kasar, dengan tingkat kerawanan masyarakatnya yang serius,'' kata Cabestan. ap/reuters/fer/has
EKONOMI POLITIK UIGHUR
Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang, mayoritas bergama Islam, memiliki kekayaan alam luar biasa mulai dari minyak, gas, dan batu bara. Pemerintah Komunis Cina menjadikan Xinjiang sebagai pusat strategi keamanan energi nasional.
Kabinet Cina menerbitkan dokumen berjudul ''Proposals of the State Council on Promoting Economic and Social Development in Xinjiang" yang secara jelas mengungkapkan bahwa pada 2020, Xinjiang akan menjadi basis pengolahan dan produksi migas terbesar di Cina.
* Cadangan Minyak dan Gas
- Wilayah Xinjiang menguasai 20 persen cadangan potensial minyak Cina.
- Cadangan minyak mencapai antara 20-40 miliar ton minyak mentah
- Cadangan gas sedikitnya 12,4 triliun kaki kubik
* China National Petroleum Corp, perusahaan minyak milik negara terbesar, memiliki hak monopoli pengelolaan dan eksplorasi migas di Xinjiang.
- Penemuan minyak yang besar di cekungan Sungai Tarim dan gurun Taklamakan telah menarik perhatian global.
- Cina membangun pipa sepanjang 2.600 mil yang mengaliri migas ke sebagian besar kota besar seperti Sanghai hingga ke Beijing.
Strategi Energi Cina
- Mengurangi ketergantungan migas dari luar negeri
- Menjadikan Xinjinag sebagai pusat penyimpanan dan cadangan nasional
- Selain Xinjiang, Cina memiliki basis produksi minyak besar di:
* Heilongjiang
* Shandong
* Liaoning
Penghasilan
* 75 persen pajak dari Xinjiang masuk ke pemerintah pusat, padahal wilayah itu merupakan daerah otonomi.
* Ekonomi Cina sangat tergantung migas, dan negeri Tirai Bambu itu menjadi salah satu pemain utama global dalam perang energi dengan AS, Rusia, dan Uni Eropa.
* Cina rata-rata menghabiskan 65 miliar dolar AS per tahun untuk impor energi, kebanyakan dari Arab Saudi dan Iran.
* Pada 2008, Xinjiang memproduksi 27,4 juta ton minyak mentah atau melebihi produksi ladang-ladang di Shandong.
* Pada 2009, Xinjiang diharapkan mampu memproduksi minyak hingga 28 juta ton.
* Pertumbuhan GDP Xinjiang mencapai 10 persen per tahun
* Tiap tahun, setidaknya 500 ribu turis asing datang
* Lebih dari 13 juta pelancong domestik juga datang
* Memperoleh pendapatan dari pariwisata rata-rata 1,5 miliar dolar AS per tahun
Kondisi Xinjiang
* Meski berada di daerah emas hitam dengan kekayaan melimpah, namun Xinjiang sangat berbeda dengan provinsi-provinsi Cina lainnya.
- Tak ada industrialisasi di sana
- Penduduk sebagian besar hidup dalam kemiskinan
Sumber: Xinhua/Center for Energy and Global Development/China Daily/Reuters
Lebih 1.000 Muslim Uighur Diperkirakan Tewas
Jam malam diberlakukan, ribuan orang eksodus dari Urumqi.
WASHINGTON -- Pemimpin masyarakat Uighur dari wilayah Xinjiang di bagian barat laut Cina di pengasingan mengatakan, ribuan orang mungkin telah tewas dalam kekerasan di wilayah tersebut dalam beberapa hari belakangan ini.
Rebiya Kadeer, pemimpin Kongres Uighur Dunia, yang bermarkas di Washington, mengatakan sulit untuk mengajukan angka korban secara komprehensif dari wilayah itu, tempat kelompok etnik asli Uighur telah lama mengeluhkan tekanan.
"Menurut laporan-laporan yang belum dikonfirmasikan yang kami peroleh di wilayah itu, sekarang jumlah korban mencapai 1.000 atau beberapa orang mengatakan 3.000," kata Rebiya pada konferensi pers di Gedung Capitol AS, Sabtu (11/7) atau Jumat waktu setempat.
Menurut Rebiya, kematian itu terjadi tidak hanya di ibu kota Xinjiang, Urumqi, tapi di seluruh wilayah yang sangat luas tersebut. "Banyak pembunuhan di beberapa kota yang berbeda seperti di Kashgar," katanya.
Kadeer, yang telah menghabiskan sekitar enam tahun di sebuah penjara di Cina sebelum dibebaskan di bawah tekanan AS pada 2005, memperkirakan, 5.000 orang lagi telah dipenjarakan.
Menurut versi Pemerintah Cina, 156 orang telah tewas dan lebih dari 1.000 orang terluka dalam kerusuhan di Urumqi, Ahad (5/7) lalu. Menurut kantor berita resmi Xinhua,
kemarin, jumlah korban tewas meningkat menjadi 184 orang.
"Di antara mereka yang tewas, 137 adalah orang Han, yang mencakup 111 pria dan 26 wanita. Sebanyak 46 korban adalah warga Uighur, yang terdiri atas 45 pria dan satu wanita. Seorang pria Hui juga tewas," kata kantor berita itu mengutip pemerintah daerah setempat.
Menurut Pemerintah Cina, korban berjatuhan ketika orang-orang Uighur menyerang orang-orang dari kelompok etnik Han--yang dominan di Cina.
Namun, Rebiya mengatakan, pasukan keamanan telah bertindak terlalu berlebihan pada pengunjuk rasa damai itu dan menggunakan kekuatan yang mematikan.
Beijing menuduh orang-orang di pengasingan telah membesar-besarkan jumlah korban tewas dan menimbulkan kekerasan--tuduhan yang dibantah oleh Rebiya.
"Saya menentang semua kekerasan. Saya tidak melakukan itu dan saya tidak akan melakukan hal seperti itu," tegas Rebiya.
Eksodus
Larangan keluar rumah, kemarin, kembali diterapkan di Kota Urumqi, Cina, setelah warga tidak menggubris larangan shalat di masjid.
Masjid-masjid di kota diperintahkan ditutup pada Jumat lalu, tapi setidaknya dua masjid tetap dibuka atas permintaan massa warga Muslim Uighur yang berkumpul di luar.
Suasana Kota Urumqi tetap tegang setelah pecahnya tindak kekerasan etnis itu. Ribuan warga, baik dari kalangan etnik Han maupun Uighur, dilaporkan mencoba eksodus dari kota tersebut.
Pihak berwenang menyediakan pelayanan bus tambahan untuk perjalanan keluar dari Urumqi, namun permintaan karcis telah melampaui jumlah tempat duduk yang ada.
"Terlalu berisiko tinggal di sini. Kami takut akan kekerasan," kata Xu Qiugen, pekerja bangunan berusia 23 tahun asal Cina tengah yang lima tahun tinggal di Urumqi dan telah membeli karcis untuk pergi bersama istrinya.
Kekerasan di Xinjiang itu telah memancing kecaman dari banyak pihak di luar Cina, seperti Turki, Belanda, Australia, dan Amerika Serikat (AS).
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut kerusuhan etnis di Provinsi Xinjiang, Cina, itu semacam genosida. "Tidak ada kata lain untuk mengomentari peristiwa itu, kecuali genosida," kata Erdogan.
Gelombang pawai protes juga muncul di berbagai kota dunia, seperti Ankara, Berlin, Canberra, dan Istanbul.
Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan Cina bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai.
Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik. Pemerintah Cina berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.afp/bbc/rtr/ant/ayh
Kamis, 11 Juni 2009
Islam: Politik dan Kultural
Oleh Azyumardi Azra
Kemerosotan perolehan suara parpol-parpol berasaskan Islam pada Pemilu Legislatif 9 April lalu menjadi bahan diskusi yang hangat, baik di kalangan elite kepemimpinan Islam maupun para pengamat dalam dan luar negeri. Bagi mereka, realitas itu masih sulit dipahami; karena bertolak belakang dengan gejala meningkatnya kehidupan keislaman di negeri ini. Parpol-parpol Islam ternyata gagal melakukan kapitalisasi peningkatan keislaman itu ke dalam kancah politik.
Diskusi tentang realitas politik yang tidak menggembirakan itu mengundang pembicaraan kembali tentang apa yang disebut sebagai 'Islam politik' pada satu pihak dan 'Islam kultural' pada pihak lain. Pembedaan kedua kelompok ini tentu saja tidaklah kedap air; bahkan keduanya dapat dikatakan saling melengkapi dalam usaha memajukan agenda-agenda keislaman dan keumatan.
Persoalannya adalah; sepanjang perkembangan politik demokrasi pasca-Soeharto yang telah berlangsung satu dasawarsa dengan tiga pemilu, Islam politik yang diwakili parpol-parpol Islam terus gagal meraup suara secara signifikan. Akibatnya, parpol-parpol Islam ini hanya dapat menjadi bagian dari koalisi yang dipimpin parpol-parpol lain yang tidak berbasiskan Islam--sebaliknya berdasarkan Pancasila; mereka tidak menjadi lokomotif koalisi-koalisi politik tersebut.
Pada pihak lain, ormas-ormas Islam politik yang bukan merupakan parpol, tetapi juga memiliki agenda politik, tidak kelihatan kiprahnya dalam bulan-bulan politik 2009 ini. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), misalnya, yang mengusung perjuangan penciptaan kembali kekhalifahan (khilafah) dan penegakan syariah Islam, khususnya hudud, secara jelas absen dalam aktivisme dan isu politik. Tidak begitu jelas alasan terjadinya gejala semacam ini pada HTI.
Di tengah realitas dan gejala kegagalan Islam politik itu, orang kembali ingat pada Islam kultural, yang biasanya diwakili ormas-ormas keagamaan Islam, seperti Muhammadiyah, NU, al-Washliyah, Perti, Persis, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Wathan, Darud-Dakwah wal-Irsyad, al-Khairat, dan Hidayatullah. Semua ormas ini, sejak berdirinya menetapkan diri sebagai jam'iyyah dakwah, pendidikan dan pelayanan sosial. Memang dalam periode tertentu, khususnya di masa Orde Lama, sebagian ormas Islam ini pernah terlibat langsung dalam politik kepartaian, tetapi dalam waktu tidak terlalu lama, mereka kembali kepada khittah-nya sebagai ormas keagamaan.
Namun, pada awal-awal masa pasca-Soeharto sampai Pemilu 2004, beberapa ormas Islam ini terseret ke dalam politik kepartaian. Ormas-ormas Islam ini menjadi basis bagi parpol-parpol Islam tertentu; dan bahkan kepemimpinan puncaknya terlibat dalam politik praktis, menjadi cawapres misalnya. Namun, mereka juga gagal dalam kancah politik pilpres tersebut.
Agaknya semua perkembangan seperti inilah yang membuat ormas-ormas Islam secara sengaja atau tidak, tanpa deklarasi, kembali ke khittah semula yang bergerak terutama dalam dakwah, pendidikan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan ekonomi. Pada saat yang sama, ormas-ormas Islam ini juga meneguhkan kembali perannya sebagai organisasi masyarakat madani (civil society) yang independen dari negara (dan juga politik kekuasaan), membiayai dan mengatur diri sendiri ciri-ciri pokok bagi kelompok dan organisasi apa pun untuk dapat disebut sebagai civil society. Sebagai masyarakat madani, ormas-ormas nonpolitik ini memainkan peran penting sebagai penengah dan jembatan di antara masyarakat pada satu pihak dengan negara pada pihak lain.
Dengan kembalinya ormas-ormas ini ke khittah-nya aslinya, mereka bisa lebih berkonsentrasi pada bidang-bidang yang selama ini disebut sebagai Islam kultural--pembinaan umat dalam bidang dakwah, pendidikan, pelayanan sosial, ekonomi, dan banyak lagi. Memang, bergerak dalam bidang-bidang ini tidaklah menarik liputan media massa; ini adalah pekerjaan pengabdian yang lebih berdasarkan keikhlasan.
Hasil dari perkembangan ini adalah bahwa sejak usainya riuh rendah Pemilu 2004 dan kini gegap gempita dan ketegangan Pemilu 2009, keterlibatan ormas-ormas Islam ini beserta tokoh-tokohnya dapat dikatakan minimal. Kini, tidak ada pimpinan dan tokoh nasional, tokoh ormas-ormas Islam, yang menjadi capres atau setidaknya cawapres seperti kita lihat pada Pemilu 2004. Dengan begitu, ormas-ormas Islam dapat melakukan 'penjarakan politik' (political disengagement) dengan kekuatan-kekuatan politik kepartaian dan kekuasaan yang manipulatif dan abusif.
Dalam konteks itu, perkembangan ormas-ormas dan masyarakat madani Islam ini merupakan 'berkah terselubung' bagi dinamika gerakan Islam lebih lanjut di negara ini. Banyak kalangan di kawasan Dunia Muslim lain melihat ini sebagai sebuah tradisi yang unik bagi Islam Indonesia. Dan, menurut mereka, inilah sebuah distingsi dan kekayaan Islam Indonesia yang tidak bisa ditemukan di tempat mana pun di Dunia Islam lainnya.
Minggu, 07 Juni 2009
Nasib Lembaga Amil Zakat di Indonesia
Oleh: Almisar Hamid
(Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni, pemerintah berencana akan merevisi UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Rencana ini, menurut Azis Setiawan, peneliti The Indonesia Economic Intelligence (Republika 21/3/2009), paling tidak membawa tiga wacana penting. Pertama, memasukkan ancaman hukuman bagi wajib zakat (muzaki) yang tidak menunaikan kewajibannya. Kedua, zakat bisa mengurangi besaran pajak yang akan merevisi ketentuan sebelumnya, di mana zakat hanya sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP). Ketiga, Badan Amil Zakat (BAZ) diusulkan menjadi satu-satunya lembaga pengelola zakat di Indonesia, dari tingkat nasional sampai desa/kelurahan.Terkait wacana ketiga, jika hal itu mulus, bagaimana keberadaan lembaga-lembaga amil zakat (LAZ) yang didirikan oleh masyarakat dan jumlahnya menurut Forum Zakat mencapai 500 lembaga ( Republika , 5/2/2007).
Penting diketahui, berdasarkan UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga pengelola zakat terdiri atas Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, baik di tingkat nasional maupun provinsi hingga kecamatan. Sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ), adalah institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah, untuk melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan agama (Lihat Juklak Pembinaan Lembaga Pengelola Zakat, Depag RI, 2003).
Sejak keluarnya UU Pengelolaan Zakat, terdapat 18 LAZ nasional yang mendapat pengukuhan Menteri Agama. LAZ itu, yakni (1) Dompet Dhuafa, (2) Yayasan Amanah Takaful, (3) Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), (4) Yayasan Baitul Maal Muamalat, (5) Yayasan Dana Sosial Al Falah, (6) Yayasan Baitul Maal Hidayatullah, (7) LAZ Persatuan Islam (PERSIS), (8) Yayasan Baitul Maal Ummat Islam (BAMUIS) PT BNI (persero) tbk, (9) LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, (10) LAZ Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (11) LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia, (12) LAZIS Muhammadiyah, (13) LAZ Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), (14) LAZ Yayasan Dopet Sosial Ummul Quro (DSUQ), (15) LAZ Baituzzakah Pertamina (BAZMA), (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid (DPUDT), (17) LAZ Nahdlatul Ulama (NU), dan (18) LAZ Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI).
Melihat tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga amil zakat, kita patut bergembira. Sebab, dengan adanya LAZ diharapkan tercapainya pendayagunaan zakat di masyarakat.Sekadar diketahui, berdasarkan potensi zakat yang dihitung oleh Eri Sudewo (aktivis lembaga zakat), jika 90 juta orang penduduk Muslim tergolong kaya dari 180 juta yang ada, potensi zakat umat Islam adalah antara Rp 7 triliun - Rp 19 triliun.Nah, jika umat Islam yang tergolong kaya itu dapat menyalurkan ZIS secara rutin melalui lembaga-lembaga zakat nasional yang ada, dapat dibayangkan besarnya kontribusi modal sosial umat Islam untuk pembangunan atau pengentasan kemiskinan.
Namun, di lain pihak, muncul pertanyaan, bagaimana profesionalisme pengelolaan LAZ tersebut? Di antaranya, sudahkah menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi? Sudahkah peduli dengan peningkatan SDM pengelola?Jamil Azzaini, manajer Kubik Leadership ( Republika 5/2/2007), menilai bahwa banyak di antara SDM pengelola zakat yang belum memiliki kualitas optimal. Untuk mencapai kualitas diperlukan tiga hal dasar, yaitu berkompeten ( kafaah ), amanah, dan memiliki etos kerja tinggi ( himmah ).
Sekalipun demikian, beberapa LAZ tampaknya mendekati tiga hal dasar tersebut, seperti Dompet Dhuafa (DD), Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Rumah Zakat Indonesia (RZI), dan Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid (DPUDT).Di samping mendekati tiga dasar tersebut, LAZ ini memang dikelola secara profesional, terorganisasi, serta memiliki visi dan misi yang jelas.Dompet Dhuafa (DD) misalnya, mempunyai visi: ''Bertekad menumbuhkembangkan jiwa dan kemandirian masyarakat yang bertumpu pada sumber daya lokal melalui sistem yang berkeadilan.''
Sedangkan misinya: (1) Membangun diri menjadi lembaga yang berfungsi sebagai lokomotif gerakan pemberdayaan masyarakat. (2) Menumbuhkembangkan jaringan lembaga pemberdayaan masyarakat. (3) Menumbuhkembangkan dan mendayagunakan aset masyarakat yang berbasis kekuatan sendiri. (4) Mengadvokasi paradigma ekonomi berkeadilan.
Bagaimana dengan PKPU? Visinya adalah menjadi lembaga terpercaya dalam membangun kemandirian. Sedangkan misi kemanusiaannya, yakni (1) Mendayagunakan program rescue , rehabilitasi, dan pemberdayaan untuk mengembangkan kemandirian. (2) Mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri. (3) Memberikan pelayanan informasi, edukasi, dan advokasi kepada masyarakat penerima manfaat ( beneficiaries ).
Adapun Rumah Zakat Indonesia (RZI) memiliki visi: Menjadi lembaga amil zakat taraf internasional yang unggul dan terpercaya. Sedangkan misinya: (1) Membangun kemandirian masyarakat melalui pemberdayaan secara produktif. (2) Menyempurnakan kualitas pelayanan masyarakat melalui keunggulan insani.Memahami visi dan misi yang diusung LAZ di atas, tentunya termasuk visi dan misi LAZ lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu--menunjukkan bahwa LAZ milik masyarakat ini sangat peduli dengan persoalan kemiskinan yang dialami bangsa ini.Untuk menanggulangi kemiskinan, tidak cukup mengandalkan modal finansial dan modal manusia. Tetapi, perlu diperkuat dengan modal sosial. Melalui kekuatan modal sosial ini, diharapkan dapat meringankan beban pembangunan.
Fukuyama (1995; 1999) dalam Edi Suharto (2008) mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat norma atau nilai informal yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kelompok, yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Kunci dari modal sosial adalah trust atau kepercayaan. Dengan trust , lanjut Fukuyama, orang-orang bisa bekerja sama dengan baik. Karena, ada kesediaan di antara mereka untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Trust bagaikan energi yang membuat kelompok masyarakat atau organisasi, dapat bertahan. Trust yang rendah mengakibatkan banyak energi terbuang karena dipergunakan untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan.
Berdasarkan definisi di atas, sesungguhnya keberadaan LAZ adalah mengelola trust atau kepercayaan. Melihat kecenderungan makin banyaknya umat Islam menyalurkan ZIS melalui LAZ milik masyarakat ini, menunjukkan makin tingginya kepercayaan umat Islam terhadap lembaga-lembaga tersebut. Hingga saat ini, belum terdengar adanya krisis kepercayaan dalam pengelolaannya.
Nah, jika LAZ milik masyarakat ini dibubarkan atau dibatasi fungsi dan perannya, seperti hanya menjadi unit pengumpul zakat, dapatkah Badan Amil Zakat (BAZ) bentukan pemerintah nantinya menggantikan fungsi dan peran LAZ milik masyarakat. Akankah BAZ tersebut dapat dipercaya oleh muzaki atau masyarakat? Mungkinkah LAZ milik masyarakat ini nantinya dilarang menjalankan fungsi dan perannya, termasuk LAZ milik Muhammadiyah dan NU, sementara mereka dipercaya oleh jamaahnya masing-masing.
Selasa, 05 Mei 2009
Zakat Akan Jadi Kewajiban, Lembaga Amil Zakat Tak Ada Lagi
M Budi Santosa - Okezone
JAKARTA - Para wajib zakat atau muzakki, akan mendapat sanksi jika tidak membayar zakatnya. Membayar zakat akan menjadi suatu kewajiban.
Hal ini ditegaskan Dirjen Binmas Islam Prof Dr Nasaruddin Umar dalam perbincangan dengan wartawan di Kantor Depag, Jakarta, Selasa (5/5/2009).
''Dalam konsep revisi UU Zakat, nanti zakat tidak lagi atas dasar kesadaran muzakki, namun akan menjadi suatu kewajiban dan ada sanksinya,'' tegas Nasaruddin.
Selain itu menurut Nasaruddin, pihaknya berkeyakinan bahwa pengelolaan zakat akan semakin rapi jika dikelola satu jendela. ''Kami punya konsep sendiri. Sebagai pemerintah, kami tetap berkeyakinan bahwa pengelolaan zakat semakin rapi kalau diurus oleh satu pintu, seperti di negara-negara lain. Tapi untuk sampai ke situ kita perlu batas-batas akomodasi toleransi, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yang tadinya dikelola oleh masjid-masjid, pondok pesantren, kiai-kiai, tiba-tiba kita akan mengambil semuanya menjadi sentralisasi, diatur oleh negara, kita juga tidak ingin seperti itu, tapi ada road mapnya. Ada target jangka menengah, jangka panjang,'' papar Nasaruddin.
''Pemerintah melalui Departemen Agama, saat ini tengah mengajukan usulan revisi UU no 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat,'' ucap Nasaruddin. Menurutnya, sejak diundangkan, pengelolaan zakat di Indonesia belum menunjukkan hasil maksimal dan memuaskan.
Selain akan mengatur sanksi, dalam usulan revisi UU zakat tersebut dirumuskan bahwa Badan Amil zakat merupakan satu-satunya lembaga pengelola zakat di Indonesia dari tingkat nasional hingga tingkat kelurahan/desa. ''Tidak ada lagi Lembaga Amil Zakat sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU itu. Ketentuan tertsebut selama ini telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat dalam pengelolaan zakat karena banyaknya lembaga pengelola zakat. Sehingga potensi zakat yang sangat besar itu belum dapat memberikan manfaat yang signifikan,'' ungkap Nasaruddin.
Ditambahkannya, peranserta masyarakat dapat dilakukan dengan cara membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) atau menjadi pengurus Badan Amil Zakat di semua tingkatan.
Dalam konsep revisi itu pula menurut Nasaruddin, dirumuskan bahwa zakat dapat mengurangi pajak. Artinya, pembayaran zakat akan diperhitungkan sebagai pembayaran zakat. ''Jadi tidak perlu lagi misalnya membayar pajak seratus persen, jika dia sudah membayar zakat,'' papar Nasaruddin.
Potensi Besar Wakaf Tunai
Pada kesempatan itu, Nasaruddin juga mengungkapkan betapa besarnya potensi wakaf tunai. ''Persoalan umat itu bukan persoalan dana, tapi soal kreasi-kreasi. Misalnya melalui wakaf. Kita di sini seolah sokoguru kita sebagai dana umat itu zakat. Padahal ada wakaf dan sekarang bisa wakaf tunai. Ini potensi luar biasa yang masih tidur,'' kata Nasaruddin. Bila wakaf tunai ini diefektifkan, menurut Nasaruddin, tentunya pemerintah tidak perlu lagi meminjam-minjam dana dari pihak asing seperti IMF.
''Kita kembangkan sekarang ini, UU-nya sudah lahir, sudah ada PP-nya dan sekarang sedang digodok Peraturan Menterinya, sebentar lagi keluar. Insya Allah wakaf produktif dan wakaf tunai ini ke depan akan menjadi sesuatu yang menjanjikan. Presiden juga sangat apresiate terhadap gagasan ini,'' ungkap Nasaruddin (mbs)
Jumat, 01 Mei 2009
Meluruskan Kisah Nabi Ibrahim
Oleh Alvian Iqbal Zahasfan(Ketua Umum SYAHAMAH)Pekan lalu, Islam Digest di Republika edisi Ahad, 12 April 2009, mengangkat tema Namrud. Di dalamnya, diceritakan tentang seorang raja cerdas yang lalim. Sebagaimana diketahui bahwa Raja Namrud bin Kan'an bin Kusy bin Sam bin Nuh adalah Raja Babilonia (2275-1943 SM) yang hidup semasa dengan Nabi Ibrahim.Dalam kolom tersebut juga diceritakan sepak terjang Nabi Ibrahim ketika menghadapi orang tua dan kaumnya, termasuk Raja Namrud yang musyrik. Sangat menarik untuk dibaca guna menambah wawasan. Namun sayang, menurut hemat penulis ada uraian tentang Nabi Ibrahim yang sangat berbahaya bagi kelestarian akidah umat Islam dan karenanya mendesak untuk diluruskan. Bahwa sebagaimana dikisahkan dalam Alquran, Ibrahim AS telah melakukan pencarian siapa Tuhan sebenarnya. Saat menyaksikan bintang, Ibrahim mengira itulah tuhannya. Demikian pula saat melihat bulan pada malam hari dan matahari di siang hari, Ibrahim mengira itulah tuhannya. Namun, ketika pada waktu-waktu tertentu, bintang, bulan, dan matahari itu tenggelam, Ibrahim mengeluh dan mencari Tuhan yang menciptakan bintang, bulan, dan matahari, yakni Allah SWT. Dan, ia percaya, tidak ada tuhan selain Allah yang menciptakan langit dan bumi . Asumsi yang perlu diluruskan di sini adalah--sebagaimana beredar di kalangan awam bahkan intelektual--kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Asumsi ini menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim beriman dengan cara berpikir terlebih dahulu; siapa yang berhak untuk dijadikan sebagai Tuhannya. Hal ini menyatakan bahwa ia pernah ateis (tidak bertuhan/kebingungan mencari Tuhan) atau musyrik karena mengikrarkan ketuhanan bintang, bulan, dan matahari.Pada kenyataannya, sesungguhnya kisah Nabi Ibrahim bukanlah seperti asumsi yang beredar selama ini bahwa Nabi Ibrahim adalah Bapak Monoteisme pertama karena petualangannya mencari Tuhan. Oleh karena itu, laik untuk dicermati dan disimak arti QS Al-An'am ayat 75-80 sebagai berikut: Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin (75) Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, ''Inilah Tuhanku''. Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, ''Aku tidak...
Berita koran ini telah melewati batas tayang. Untuk mengakses, silakan berlangganan.
Bagi Anda yg sudah berlangganan, silakan login disini.
Bagi Anda yg belum mendaftar berlangganan, silakan registrasi disini.
Kamis, 30 April 2009
Feodalisme sebagai Musuh Demokrasi
Masyarakat Indonesia masih hidup dalam iklim feodalisme yang kuat.
Memang ada pernyataan tegas, tiap warga negara setara di hadapan hukum. Namun, pernyataan itu rupanya tidak menjadi realitas. Banyak orang dianggap tidak setara dengan orang lain.
Orang kaya dan penguasa masih mendapat fasilitas lebih. Sementara orang miskin dan lemah tidak mendapat fasilitas apa pun. Untuk hidup normal pun, mereka kesulitan. Mereka dianggap warga negara yang lebih rendah.
Kultur feodalisme itulah yang menjadi salah satu penyebab kita tidak bisa melakukan pemilu secara efektif dan efisien. Banyak calon anggota legislatif menggunakan gelar kultural, seperti raden mas, untuk menarik pemilih. Saat gagal dalam pemilu, mereka merasa terhina. Perasaan itu muncul karena mereka menganggap dirinya ”berdarah biru”. Mereka menganggap status dirinya lebih tinggi dari warga lain.
Simak pertemuan-pertemuan umum. Bagaimana sapaan terhadap pejabat tinggi lalu turun ke strata paling rendah. Dari ini tercium bau kultur feodalisme. Coba juga cara pejabat melewati jalan raya. Merasa diri sebagai raja, yang memiliki status lebih tinggi dari orang lain.
Maka, di Indonesia, slogan kesetaraan di hadapan hukum masih sekadar impian. Faktanya, banyak orang berpikir feodal, menempatkan diri atau orang lain pada status lebih tinggi daripada status orang pada umumnya.
Hal yang sama berlaku dalam ekonomi. Semakin banyak uang dimiliki seseorang, semakin ia mendapat tempat istimewa atau lebih tinggi daripada orang lain. Uang bisa membeli segalanya. Hak asasi seseorang hanya bisa terpenuhi jika ia memiliki daya beli yang tinggi.
Orang yang tidak punya uang, dianggap tidak memiliki daya beli tinggi, dinilai tidak layak mendapat hak-hak dasar. Uang membuat orang mendapatkan keistimewaan dari yang seharusnya diperoleh. Feodalisme ekonomi dan kultural juga menyuburkan korupsi. Jika orang itu punya gelar tinggi di mata masyarakat, masyarakat umumnya takut menuntut mereka dengan tuduhan korupsi.
Hal ini harus dihindari. Semua orang—baik bangsawan, pengusaha, pejabat, maupun profesor— harus diadili dan dihukum jika terbukti definitif melakukan korupsi.
Demokrasi berdiri di atas asumsi bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum. Semua bentuk feodalisme harus dihilangkan. Demokrasi juga berdiri di atas asumsi keterbukaan terhadap semua bentuk cara hidup selama cara hidup itu tidak melanggar hukum yang sah di mata rakyat. Maka, tidak ada cara hidup yang lebih tinggi daripada cara hidup lainnya.
Baik orang keturunan keraton, pemuka agama, pengusaha kaya, maupun pejabat tinggi, semua memiliki kedudukan setara di mata hukum maupun negara. Feodalisme dalam segala bentuknya harus dimusnahkan. Jika masyarakat Indonesia masih hidup dalam alam feodalisme, demokrasi tidak akan pernah terbentuk. Buah feodalisme adalah diskriminasi, intoleransi, penindasan, korupsi, dan akhirnya pemusnahan kelompok minoritas.
Senjata utama untuk menghancurkan feodalisme adalah pendidikan. Pendidikan itu tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di masyarakat maupun keluarga secara intensif. Pendidikan antifeodalisme dimulai dengan pernyataan bahwa semua orang itu setara. Semua bentuk diskriminasi atau ketidaksetaraan adalah ciptaan manusia, yang akhirnya bisa merusak tatanan yang ada.
Setara tak berarti orang boleh kurang ajar satu sama lain. Prinsip penghormatan dan kepercayaan juga perlu diajarkan. Jadi, siapa pun orangnya, baik orangtua berstatus tinggi maupun orang miskin, semua harus diperlakukan dengan penghormatan dan kepercayaan yang sama. Tak ada diskriminasi apa pun.
Dengan pendidikan antifeodalisme yang memadai, demokrasi bisa tumbuh subur dan korupsi dalam segala bentuknya secara bertahap dilenyapkan.
Seseorang bisa menjabat sebagai pemimpin dalam bidang apa pun bukan karena keturunan orang hebat, punya uang, atau punya kedudukan sosial tinggi, tetapi karena ia mau dan mampu membela kepentingan yang mengacu pada kebaikan bersama. Setiap orang setara di hadapan hukum dan negara karena setiap orang setara di hadapan Tuhan yang Mahakuasa.
Minggu, 12 April 2009
Kala Islam Memilih Pemimpin
Pada masa kekhalifahan sahabat yang empat, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali (Khulafa ar-Rasyidin), istilah khalifah belum digunakan sebagai nama atau gelar yang menunjuk kepada suatu jabatan kepala pemerintahan. Ketika Abu Bakar as-Siddiq ditetapkan untuk menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, ia diberi gelar Khalifah Rasul Allah (pengganti Rasulullah SAW). Sebutan ini merupakan gelar khusus baginya sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Nabi SAW memimpin masyarakat, dan bukan sebagai istilah yang menunjukkan pada jabatan.
Selanjutnya saat Umar bin Khattab ditunjuk sebagai pengganti Abu Bakar, Umar tidak bersedia menggunakan gelar khalifah. Dalam kehidupan sehari-hari ia lebih sering dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman). Lambat laun panggilan ini menjadi istilah kepemimpinan di kalangan umat Islam di beberapa negeri Islam. Khalifah atau Amirul Mukminin atau kepala negara adalah pelayan umat sehingga dia mempunyai kewajiban kepada mereka seperti kewajiban seorang hamba kepada majikannya.
Pelaksanaan Pemilihan
Kepemimpinan negara dalam sistem Islam dengan sebutan apapun terlaksana dengan adanya ikatan antara umat dan penguasa, dan yang mewakili umat adalah majlis Syura atau majlis umat. Ikatan ini disebut baiat. Umat diharuskan memberikan baiat bila melihat adanya kemaslahatan umum. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar, berkata: ''Ketika kami membaiat Rasulullah SAW beliau bersabda kepada kami: ''Dalam hal-hal yang aku mampu.''
Begitu pula umat berkewajiban memberi baiat untuk satu atau dua masa kepemimpinan itu tidak untuk masa yang panjang atau seumur hidup. Tidak ada larangan bagi umat untuk memberi persyaratan kepada penguasa pembentukan kementerian bagi partai atau kelompok yang meraih suara pemilih terbanyak dalam pemilihan bebas yang diawasi oleh badan yudikatif secara langsung dan sepenuhnya. Dapat dikatakan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil bukan teokrasi.
Pemilihan dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya, dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui oleh semua yang hadir pada saat itu. Karena Rasulullah SAW memang tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Para pemuka tersebut ternyata tidak keberatan dengan pilihan khalifah.
Setelah wafat, posisi Umar digantikan Usman bin Affan. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih dan dipilih. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah.
Satu hal yang paling penting, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam harus mengacu kepada Alquran dan sunnah Nabi SAW, sebagai undang undang tertulis. Tugas-tugas kepala negara sebagian besar terkait dengan masalah sipil. Untuk masalah yang tidak ditemukan hukumnya dari Allah atau tuntunan Nabi SAW, maka penguasa berhak mencari solusinya sesuai dengan kaidah-kaidah Syura dan kaidah-kaidah umum dalam Alquran dan Hadis. dia/berbagai sumber
Sistem Multi Partai
Gerakan Islam pada dasarnya tidak melarang sistem multi partai selama hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan menyeru kepada amar makruf nahi munkar. Sebab kesemuanya ini bagian dari kewajiban bagi setiap muslim, bukan hanya sekedar hak.Secara spesifik, Islam tidak mengenal istilah multipartai. Islam hanya menyebutkan sistem musyawarah (demokrasi) dalam menentukan pemimpin masa depan. Namun demikian, dalam masa pemerintahan Islam, sempat muncul istilah sistem multipartai.
Terdapat perbedaan antara sistem multi partai dan persaingan tidak sehat yang sering terjadi pada partai-partai pada umumnya. Begitu pula terdapat perbedaan antara demokrasi dan sistem syura yang benar dan penggunaan demokrasi atau syura yang hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan pemerintahan diktator yang mana partai hanya menjadi alat untuk melegitimasi tindakan yang merugikan masyarakat.
Ikhwanul Muslimin gerakan Islam terbesar di Mesir adalah sebuah organisasi pertama yang mengenalkan sistem multipartai ini secara konkrit. Awalnya, Ikhwanul Muslimin, menolak sistem partai tunggal dan mempercayai sistem multi partai dalam masyarakat Islam. Dalam pandangan organisasi ini, masing-masing kelompok harus diberi kebebasan untuk mengumumkan misinya dan menjelaskan garis-garis yang ditempuh selama syariah tetap menjadi konstitusi tertinggi, yaitu undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif yang bersifat otonomi yang dilindungi dan jauh dari kekuasaan atau pihak manapun.
Namun demikian, sistem multi partai ini tidak dengan sendirinya menjadi indikator bahwa penguasa mempunyai komitmen pada sistem musyawarah atau asas demokrasi.Sebenarnya, dunia Islam sudah mengenal sistem multi partai sejak zaman Khalifah Usman bin Affan. Sistem multi partai pada masa itu ditandai dengan muncul kelompok-kelompok oposisi terhadap penguasa. Oposisi terhadap pemerintahan Usman muncul setelah sepuluh tahun sejak ia menjadi khalifah dari warga Mesir dan Syam yang datang membanjiri Madinah dan melemparkan tuduhan-tuduhan.
Keberadaan kelompok oposisi ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh oposisi yang paling menonjol pada masa itu adalah para sahabat kenamaan, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah RA. Bahkan sekelompok sahabat tidak mau membaiat Ali.
Gerakan oposisi ini tidak melalui cara-cara damai dan cara dialog melainkan berkembang menjadi peperangan sengit seperti yang terjadi dalam perang Jamal (Unta) dan perang Shiffin yang berakhir dengan tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib beserta pendukungnya dari penduduk Hijaz dan Muawiyah bin Abu Sufyan yang didukung oleh penduduk Syam.
Tahkim tersebut berakhir antara dua juru runding yaitu al-Asy'ari dan Amru bin Ash dari pihak Muawiyah, dengan keputusan melepaskan kepemimpinan Khalifah Ali serta mengembalikan kepemimpinan kepada umat untuk memilih lagi seorang khalifah baru yang akan memutuskan pertikaian dan menyelesaikan permasalahan serta ditaati oleh semua pihak. Keputusan ini pada akhirnya menimbulkan oposisi baru terhadap Ali dari kalangan pendukungnya sendiri. Mereka itulah kaum Khawarij yang dipandang oleh sebagian orang sebagai partai politik pertama dalam Islam.
Kemudian pada saat Thalhah, Zubair, dan Aisyah kembali memberikan dukungan mereka terhadap Ali, muncullah secara bertahap satu kelompok setelah itu di bawah nama Syiah. Kelompok ini mulai menampakkan bentuknya dengan warna yang paling dominan pada saat ini adalah sentimen kuat terhadap Ali dan ahlul Bait. Dalam perjalanannya kelompok Syiah ini berkembang menjadi satu ideologi bagi mereka yang diperjuangkan.
Keberadaan kelompok oposisi ini atau saat ini lebih dikenal dengan istilah partai terus berkembang pada masa sesudah al-Khulafa ar-Rasyidun. Beberapa diantaranya adalah kelompok ahlal-adl wa at-Tauhid pimpinan Washil bin Atha' dan kelompok Mu’tazilah di masa kekuasaan Dinasti Umayyah. sya/dia/berbagai sumber
Hak Non Muslim
Allah SWT mengutus Rasul kepada seluruh umat manusia dengan aturan yang cocok bagi individu maupun masyarakat. Sebab Allah menciptakan manusia, yang Maha Mengetahui apa yang baik bagi diri manusia ini. Dalam hal ini Allah berfirman: ''Katakanlah; Berjalanlah di muka bumi lalu lihatlah bagaimana penciptaan (alam) ini berawal.'' (Al-Ankabut:20).
Syariah Allah yang berhubungan dengan sanksi hukum terhadap kejahatan dan yang berhubungan dengan muamalat, diturunkan bukan saja untuk kaum muslimin, melainkan juga untuk non-muslim, meskipun tidak dibenarkan memaksa mereka menerima Islam sebagai agama dan akidah. Mereka diharuskan menerima Islam sebagai aturan kehidupan sipil. Sebab bagi non-muslim, Yahudi dan Nasrani, mereka tidak mempunyai ajaran agama tentang sanksi hukum Ilahiyah serta aturan muamalat. Di sana tidak didapatkan aturan tentang urusan duniawi.
Akan tetapi undang-undang Islam, meskipun memberikan kebebasan bagi non-muslim, di sana terdapat ikatan-ikatan dan aturan yang harus dipatuhi. Antara lain mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sanksi hudud dan qishash, ini dipandang sebagai aturan umum yang tidak dibedakan antara muslim dan non-muslim, serta antara wilayah satu dengan yang lainnya.
Kemudian mengenai sanksi ta'zir yaitu selain hukuman hudud dan qishash, Islam menyerahkan pada kondisi masa dan tempat. Dalam hal ini masing-masing daerah boleh menentukan sanksi hukuman yang sesuai.Aturan lainnya mengenai urusan muamalat, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Untuk urusan ini Islam memberikan keleluasaan kepada non-muslim. Dalam kondisi ini Islam tidak mengharuskan mereka melarang apa yang halal bagi agama mereka meskipun haram menurut Islam.
Kemudian mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan pribadi, seperti pernikahan, talak, wasiat, warisan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini warga non-muslim tidak diharuskan mengikuti syariah Islam. Pemberlakuan syariah Islam bagi non-muslim dalam masalah hudud dan muamalat merupakan hal yang diakui oleh seluruh undang-undang dunia modern. Meskipun bagi minoritas non-muslim mempunyai hukum sendiri, kecuali dalam masalah-masalah yang terkait dengan hukum keluarga.
Thomas Arnold dalam bukunya Ad-Da'wah ila Al-Islam mengemukakan, bahwa tujuan dikenakan jizyah kepad kaum Nasrani bukanlah sebagai bentuk sanksi atas penolakan mereka untuk masuk Islam, melainkan mereka melaksanakan pembayaran jizyah ini bersama warga non-muslim di bawah pemerintahan Islam yang diberi kebebasan memeluk agama mereka tetapi tidak masuk dalam jajaran militer. Mereka membayar jizyah sebagai ganti jaminan perlindungan yang diberikan kaum muslimin.
Hak Politik Wanita
Perselisihan paham mengenai hak politik bagi wanita telah ada sejak lama. Terdapat anggapan bahwa hak politik berarti memberikan kewenangan membuat undang-undang kepada para wakil rakyat di parlemen. Padahal jika dicermati, nash-nash syariah, baik laki-laki maupun perempuan tidak dibenarkan membuat undang-undang kecuali dalam masalah-masalah yang tidak diatur oleh syariah.
Di kawasan negara-negara Arab terjadi perdebatan sengit mengenai hak wanita untuk ambil bagian dalam pergulatan politik yang diwakili dalam hak pemilihan dan hak duduk di parlemen. Sebagian aktifis wanita beranggapan bahwa hak untuk terlibat dalam politik adalah kunci yang akan dapat membukakan bagi kaum wanita semua kehormatan dan kemuliaan. Oleh sebab itu diadakan secara khusus berbagai konferensi dan pertemuan guna membicarakan masalah hak politik bagi kaum wanita.
Para ulama klasik dan modern berbeda pendapat mengenai hak-hak politik bagi wanita. Perbedaan pendapat ini kembali pada konsep mereka masing-masing mengenai sifat pekerjaan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa wanita tidak dibenarkan menduduki jabatan menteri. Sebab Imam atau khalifah harus meminta pendapat dari para menterinya pada saat-saat tertentu.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi Qadli (hakim) menurut syara. Sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat (olah pikir).Sementara di kalangan ulama modern ada yang berpandangan bahwa wanita mempunyai hak-hak politik sepenuhnya selain dari pimpinan negara. Pendapat ini dianut oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha, DR Yusuf al-Qaradlawi, Syekh Muhammad Shalthout, dan DR Muhammad Yusuf Musa.
Alasan lainnya, Islam tidak mencabut hak wanita dan tidak melarangnya mengutarakan aspirasi dan pendapatnya, melainkan memberinya kebebasan penuh seperti halnya kaum pria. Sementara kaidah fikih menegaskan bahwa pada dasarnya yang ada dalam adat istiadat itu boleh secara hukum selama tidak ada nash yang mengharamkan. dia/berbagai sumber/kem