Senin, 27 Juli 2009

Menguak Wacana Terorisme Oleh: Hermanto Harun

Tertangkapnya Yusron alias Abu Dujana di Indonesia, seakan semakin menguatkan asumsi, bahwa gerakan terorisme memang eksis dan tetap selalu menjadi `hantu' yang setiap waktu selalu siap bergentayangan. Isu terorisme di negeri ini sepertinya menjadi santapan harian opini publik, yang semakin hart mengarah pada justifikasi bahwa memang, terorisme selalu bertalian dengan faham dogmatif keberagamaan.

Semenjak peristiwa Sabtu kelabu 11 September 2001 yang menghancurkan WTC dan Pentagon, gedung simbol kedigdayaan Amerika Serikat, isu terorisme terus mengalir ke permukaan wacana. Ruang publik seakan tak hentinya di cekoki hidangan isu terorisme yang sampai saat ini belum jelas identitasnya. Sepertinya, wacana terorisme senantiasa menjadi 'headline' setiap berita di pentas global. Seolah, terorisme menjadi konco dinamika dunia yang tak boleh terlewatkan dalam pemberitaan.

Adalah Rif’at Said yang menulis artikel yang berjudul "al-Irhab fi Alam al­Aulamah" (teroris dalam dunia global) di harian al-Ahram Mesir (20/4/2007), dalam tulisan itu mengungkapkan, bahwa, ada sebuah perenungan dalam kerangka peta zaman yang baru yang disebut globalisasi, yang terkadang menyuguhkan ragam penafsiran yang layak untuk diperhatikan, yaitu adanya dua kutub dunia yang berbeda antara dunia maju dan dunia yang selalu identik dengan keterbelakangan. Disini difahami bahwa dunia pertama adalah keberhasilan, kemajuan dan harus dilindungi, sedang dunia kedua adalah kemunduran, keterbelakangan yang selalu dipandang sebagai ancaman.

Terorisme menjadi alat dan opini jitu di pentas global untuk dijadikan kambing hitam sebagai dalih pencitraan buruk terhadap dunia kedua yang `konon' masih menjadikan agama sebagai nafas kehidupan, sehingga, dunia pertama yang berbaju Barat seakan menjadi pejuang dan pahlawan terhadap pemberangusan terorisme. Walaupun sulit untuk menutup topeng, bahwa, iklan besar-besaran tentang terorisme yang disponsori oleh Barat memiliki hiden agenda, yaitu untuk kepentingan kapitalisme dan bahkan tidak mustahil demi agama (crused). Dengan demikian, yang tampak sekarang, Islam selalu menjadi pihak tertuduh yang ditempelkan dengan prilaku teroris. Lebih dart itu, norma Islam bahkan diidentifikasi sebagai ajaran yang memang akrab dan bahkan memang mengajarkan tindakan yang tidak berperikemanusiaan tersebut.

Bagi penganut Islam, tuduhan dan persepsi seperti di atas jelas ditolak, karena memang sangat kontradiktif dengan nilai humanisme dogma Islam. Namun fakta waqi'nya, para pelaku yang dianggap teroris, sebagiannya berstatus sebagai muslim. Lantas, benarkah asumsi bahwa tindakan terorisme bermotif agama? dan apa sebenarnya "binatang" terorisme itu?.

Definisi terorisme

Mendefinisikan terma terorisme sacara harfiyah tidaklah begitu sulit. Namun, menerjemahkannya secara kully (konprehensif) dengan konkteks kekinian terasa agak akut, mengingat terma terorisme sudah dirasuki, ter-sibghah (diwarnai) oleh pelbagai kepentingan, baik ideologi maupun politik. Sehingga ketika harus menuding seseorang dengan teroris, terasa sulit untuk meyakini kebenaran relevansinya antara stigma dan pelakunya. Hal ini karena terma terorisme telah memasuki wilayah klaim masing-masing yang menjadi multi tafsir bagi pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, semua pihak berhak untuk menghindar dan terminologi terorisme dan mengakui bahwa pekerjaan yang mereka lakukan tak jarang dianggap sebagai perbuatan suci yang dijustifikasi oleh dogma agama. Di sinilah tepatnya ungkapan Fahmi Huwaidi dalam bukunya al-Maqalat al-Mahzurah (kumpulan artikel terlarang) yang menjelaskan, bahwa dekade terakhir ini, perbuatan baik dituding sebagai ,sebuah kejahatan, putih menjadi hitam, dan mujahid dianggap teroris.

Namun, di tengah subyektifitas dan kerancuan makna terorisme, tidak lantas istilah ini terisolir dan luput dari pengertian akademiknya. Menurut Vidari, kata terorisme merupakan istilah asing yang digunakan untuk menyebut seseorang dan atau kelompok yang melakukan tindakan kekerasan dan teror di tengah-tengah masyarakat. (Republika, 23/6/2007). Jhon M Echols menyebut anti teroris sebagai penggetaran atau perusuh atau tindakan kekerasan yang disertai dengan sadisme yang dimaksudkan untuk menakut­nakuti lawan. Akan tetapi dalam kamus adikuasa, menurut Noam Avram Chomsky, terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok­kelompok kecil. Lain lagi dengan Amir Thohiri. Dalam bukunya al-lrhab al-Muqaddas (terorisme suci) tertulis, semua tindakan kekerasan yang diluar undang-undang perang-- seperti yang telah disepakati oleh seluruh negara di dunia--dengan tujuan memberi rasa tidak aman demi tercapainya tujuan politik.

Pengertian di atas, merupakan persepsi personal ilmuwan dalam mendefinisikan makna terorisme. Pada level kenegaraan, Mesir misalnya, pernah diadakan forum dialog antara ketua Asosiasi Keamanan Nasional Arab dengan ketua Dewan Syura (MPR) Mesir pada tanggal 20 Maret 1993 yang mengangkat tema "Menghadang Terorisme". Dalam dialog ini menelurkan pengertian terorisme, yaitu, segala praktek kekerasan atau ancaman dengan tujuan politis untuk mempengaruhi prestise negara atau untuk menguasai keamanan dengan obsesi menggoyang kepemimpinan nasional, yang bisa dilakukan dengan pelbagai cara, seperti menghancurkan perekonomian agar tercipta keresahan yang berujung kerusuhan. Juga, sebuah obsesi untuk merubah perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh negara dan telah diterima oleh masyarakat.

Sejarah dan Klasifikasi

Jika berangkat dari pengertian terorisme secara leksikal seperti di atas, maka mafhum sederhana dapat disimpulkan bahwa terorisme itu selalu ada dalam realitas sejarah kehidupan manusia. Bahkan, ada semenjak manusia itu membentuk komunitas sosial seperti tragedi pada bani Adam, Habil dan Qabil. Namun pengertian terorisme dalam pemikiran modern mengkristal semenjak revolusi Prancis pada tanggal 10 Agustus 1792, ketika pihak oposisi revolusi melakukan pelbagai tindakan kekerasan dalam menantang revolusi tersebut.

Dalam perkembangannya, gerakan terorisme memang sangat sering dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Hal ini terlihat dari beberapa klasifikasi yang dirangkumkan oleh para ilmuwan. Setidaknya ada tiga. Pertama, terorisme kriminal seperti gerakan perompakan dan penodongan. Kedua, terorisme hegemonic seperti yang banyak dilakukan oleh banyak penguasa terhadap lawan politiknya dalam melanggengkan kekuasaan. Ketiga, terorisme pemikiran seperti pemaksaan opini dan pemahaman terhadap kelompok lain.

Jika disimak dengan pola fikir yang sangat sederhana, baik definisi, sejarah dan klasifikasi terorisme, maka sangat lumrah `terorisme' itu terjadi dalam sebuah komunitas sosial masyarakat. Namun ini bukan berarti penulis mengamini pekerjaan yang dilakukan oleh para teroris, atau menyederhanakan tindakan terorisme, akan tetapi lebih pada keinginan untuk melihat terorisme secara proporsional. Karena dalam realitas kekinian seakan ada kesan pemaksaan opini publik bahwa terorisme memang merupakan ajaran agama. Sehingga biasnya sangat kentara ketika tampilan-tampilan formal agama yang mungkin itu memang dianjurkan dalam ajarannya menjadi identitas kelompok terorisme. Sehingga harus diwaspadai dan dicurigai.

Di sinilah letak kecurigaan, mengapa wacana terorisme selalu muncul dan diopinikan di negara-negara yang kebetulan berpenduduk muslim, atau, mengapa secara umum pelaku yang tertuduh dan dituding melakukan tindakan terorisme adalah terkesan muslim yang ta'at, yang padahal secara jelas ajaran Islam sangat menistai prilaku teror itu. Kecurigaan semakin bersemai ketika kelompok "lain" melakukan hal yang sama, tapi tidak begitu terdengar julukan istilah terorisme kepada mereka. Apakah kurang bejad dan teroris-nya Israel yang sampai saat ini terus memporak-porandakan negara Palestina, Apakah kurang sadisnya tentara Amerika yang sampai saat ini masih bercokol di negara Irak yang berdaulat. Tidak sadiskah pembunuhan kaum muslim di Mindanao, Thailand Selatan, Kasmir dan Ambon. Sungguh pembunuh-pembunuh itu sangat pantas diopinikan sebagai teroris kalas kakap. Tapi mengapa para pembunuh-pembunuh itu tidak didakwa sebagai gerakan atau negara teroris, sehingga bisa di "borgol" Densus Anti Teror Indonesia yang sangat takut dengan teroris yang sudah tidak berdaya? Tanya KENAPA? Wallahu'alam

*Alumni Universitas al-Azhar Mesir, Wakil Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKATT) Prov Jambi, dosen Fak Syari'ah LAIN STS.

Tidak ada komentar: