Jumat, 24 Juli 2009 | 04:53 WIB
Zuhairi Misrawi
Setidaknya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai gerbong kelompok moderat mengecam dan mengutuk tindakan itu.
Meski demikian, respons itu jangan hanya berhenti pada pernyataan sikap. Diperlukan tindak lanjut nyata dengan mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkecil ruang gerak kelompok teroris dan memberi pendidikan sebaik-baiknya agar kalangan moderat tidak mudah direkrut kelompok teroris.
Satu hal yang harus diakui bersama, pendekatan struktural sebagaimana dilakukan pemerintah untuk menangkap, bahkan membunuh teroris tidak mampu menghancurkan ideologi terorisme. Yang terjadi justru sebaliknya, kelompok teroris diyakini telah mengalami polarisasi dan penyempalan dari satu kelompok menjadi beberapa kelompok.
Maka, kalangan moderat dapat berperan jauh lebih strategis melalui pendekatan kultural. Jejaring dan solidaritas kultural yang selama ini dimiliki kedua ormas terbesar ini dapat dijadikan salah satu kekuatan untuk menetralisasi paham keagamaan yang bernuansa teroristik. Sebab, bagaimanapun, tindakan terorisme secara kasatmata telah menampar wajah umat negeri ini yang dikenal ramah dan toleran.
Dalam hal ini, cepat atau lambat, perlu dihidupkan kembali strategi dakwah kultural, yaitu dakwah yang mengajak umat membangun perdamaian, etos kerja, dan keadilan sosial. Pada masa lalu, KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan mempunyai perhatian ekstra terhadap kualitas umat. Dalam waktu panjang terbukti kalangan moderat dapat memberi kontribusi dalam pembangunan bangsa, terutama dalam penanaman nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi.
Langkah ini perlu dihidupkan kembali. Apalagi disinyalir, kelompok yang selama ini diduga sebagai pihak yang melakukan aksi teror tinggal di pedalaman yang merupakan basis kelompok moderat. Jika jejaring kalangan moderat digunakan sebaik mungkin untuk mengimbau semua warga agar mempunyai kepedulian terhadap hak hidup setiap warga dan mendorong perdamaian, hal itu akan memberi dampak positif.
Harus diakui, selama ini dakwa kultural telah mengalami kemacetan karena dua hal. Pertama, kalangan moderat terlalu fokus pada dakwah global melalui forum-forum internasional. Forum-forum seperti ini amat penting guna menunjukkan bahwa mayoritas kalangan Muslim di Tanah Air adalah kelompok yang menyokong dialog antarperadaban dan perdamaian dunia. Namun, akan amat bermasalah jika hal itu mengabaikan agenda-agenda kultural yang sejatinya merupakan prioritas utama.
Kedua, kalangan moderat terlalu hanyut dalam politik praktis. Dalam berbagai forum sudah dikemukakan, keterlibatan kalangan moderat dalam politik praktis akan melumpuhkan agenda-agenda kultural. Kecenderungan pada kekuasaan jauh lebih dominan daripada kecenderungan pemberdayaan masyarakat. Konsekuensinya, umat kurang diperhatikan, elite sibuk berebut kekuasaan.
Maka, aksi terorisme pekan lalu tidak cukup jika hanya dikecam dan dikutuk. Lebih dari itu, harus dijadikan momentum untuk reorientasi pemberdayaan, penyadaran, dan pencerahan umat. Kalangan moderat harus membangun kembali pola keberagamaan yang toleran, damai, dan berkeadaban.
Perlu ditegaskan, terorisme tidak terkait agama tertentu. Terorisme sebenarnya terkait realitas keumatan. Agama, khususnya Islam, amat menegaskan pentingnya perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam sebuah hadis disebutkan, inti Islam adalah menebar perdamaian dan menyantuni fakir-miskin kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal.
Terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama karena yang bermasalah bukan agama, tetapi umat yang kerap kurang tepat memahami doktrin agama, tidak kontekstual, dan bernuansa kekerasan. Sebab itu, yang perlu mendapat perhatian saksama adalah kualitas pemahaman umat terhadap agama. Bom bunuh diri adalah perbuatan yang harus dihindari karena dilarang agama. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia beberapa tahun lalu mengeluarkan fatwa itu.
Selain itu, transmisi gerakan transnasional menyebabkan kelompok moderat mengalami tantangan tidak mudah. Sebab itu, membentengi umat dari ideologi kekerasan merupakan pekerjaan yang harus diutamakan sebelum terorisme menjadi kekuatan yang bersifat masif.
Harapan terhadap kelompok moderat, khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, begitu besar karena kedua ormas ini merupakan benteng terakhir untuk menyelamatkan bangsa dari aneka pembajakan doktrinal. Ongkosnya terlalu mahal jika negeri ini bermetamorfosa menjadi negeri yang setiap saat dihujani bom bunuh diri.
Maka, kalangan moderat harus melakukan tindakan proaktif dan progresif untuk mengatasi masalah terorisme. Tidak hanya setelah kejadian, tetapi jauh-jauh hari sebelum kejadian. Sebab, terorisme menyisakan kesengsaraan, kegelisahan, dan kesedihan yang amat mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar