Senin, 13 Juli 2009

Lebih 1.000 Muslim Uighur Diperkirakan Tewas



Jam malam diberlakukan, ribuan orang eksodus dari Urumqi.


WASHINGTON -- Pemimpin masyarakat Uighur dari wilayah Xinjiang di bagian barat laut Cina di pengasingan mengatakan, ribuan orang mungkin telah tewas dalam kekerasan di wilayah tersebut dalam beberapa hari belakangan ini.

Rebiya Kadeer, pemimpin Kongres Uighur Dunia, yang bermarkas di Washington, mengatakan sulit untuk mengajukan angka korban secara komprehensif dari wilayah itu, tempat kelompok etnik asli Uighur telah lama mengeluhkan tekanan.

"Menurut laporan-laporan yang belum dikonfirmasikan yang kami peroleh di wilayah itu, sekarang jumlah korban mencapai 1.000 atau beberapa orang mengatakan 3.000," kata Rebiya pada konferensi pers di Gedung Capitol AS, Sabtu (11/7) atau Jumat waktu setempat.

Menurut Rebiya, kematian itu terjadi tidak hanya di ibu kota Xinjiang, Urumqi, tapi di seluruh wilayah yang sangat luas tersebut. "Banyak pembunuhan di beberapa kota yang berbeda seperti di Kashgar," katanya.

Kadeer, yang telah menghabiskan sekitar enam tahun di sebuah penjara di Cina sebelum dibebaskan di bawah tekanan AS pada 2005, memperkirakan, 5.000 orang lagi telah dipenjarakan.

Menurut versi Pemerintah Cina, 156 orang telah tewas dan lebih dari 1.000 orang terluka dalam kerusuhan di Urumqi, Ahad (5/7) lalu. Menurut kantor berita resmi Xinhua,
kemarin, jumlah korban tewas meningkat menjadi 184 orang.

"Di antara mereka yang tewas, 137 adalah orang Han, yang mencakup 111 pria dan 26 wanita. Sebanyak 46 korban adalah warga Uighur, yang terdiri atas 45 pria dan satu wanita. Seorang pria Hui juga tewas," kata kantor berita itu mengutip pemerintah daerah setempat.

Menurut Pemerintah Cina, korban berjatuhan ketika orang-orang Uighur menyerang orang-orang dari kelompok etnik Han--yang dominan di Cina.

Namun, Rebiya mengatakan, pasukan keamanan telah bertindak terlalu berlebihan pada pengunjuk rasa damai itu dan menggunakan kekuatan yang mematikan.

Beijing menuduh orang-orang di pengasingan telah membesar-besarkan jumlah korban tewas dan menimbulkan kekerasan--tuduhan yang dibantah oleh Rebiya.

"Saya menentang semua kekerasan. Saya tidak melakukan itu dan saya tidak akan melakukan hal seperti itu," tegas Rebiya.

Eksodus
Larangan keluar rumah, kemarin, kembali diterapkan di Kota Urumqi, Cina, setelah warga tidak menggubris larangan shalat di masjid.

Masjid-masjid di kota diperintahkan ditutup pada Jumat lalu, tapi setidaknya dua masjid tetap dibuka atas permintaan massa warga Muslim Uighur yang berkumpul di luar.

Suasana Kota Urumqi tetap tegang setelah pecahnya tindak kekerasan etnis itu. Ribuan warga, baik dari kalangan etnik Han maupun Uighur, dilaporkan mencoba eksodus dari kota tersebut.

Pihak berwenang menyediakan pelayanan bus tambahan untuk perjalanan keluar dari Urumqi, namun permintaan karcis telah melampaui jumlah tempat duduk yang ada.

"Terlalu berisiko tinggal di sini. Kami takut akan kekerasan," kata Xu Qiugen, pekerja bangunan berusia 23 tahun asal Cina tengah yang lima tahun tinggal di Urumqi dan telah membeli karcis untuk pergi bersama istrinya.

Kekerasan di Xinjiang itu telah memancing kecaman dari banyak pihak di luar Cina, seperti Turki, Belanda, Australia, dan Amerika Serikat (AS).

Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut kerusuhan etnis di Provinsi Xinjiang, Cina, itu semacam genosida. "Tidak ada kata lain untuk mengomentari peristiwa itu, kecuali genosida," kata Erdogan.

Gelombang pawai protes juga muncul di berbagai kota dunia, seperti Ankara, Berlin, Canberra, dan Istanbul.

Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan Cina bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai.

Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik. Pemerintah Cina berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.afp/bbc/rtr/ant/ayh

Tidak ada komentar: