Jumat, 24 Juli 2009

Agama dan Terorisme


Jumat, 24 Juli 2009 | 04:51 WIB

Budi Kleden

Sudah menjadi satu ritual yang terulang, setiap ada aksi kekerasan di negara ini, para pemimpin agama tampil berdoa bersama bagi para korban sembari mengecam dan menyesalkan aksi itu.

Mereka mendemonstrasikan kesatuan dan menyatakan dengan tegas bahwa tindak kekerasan dan terorisme adalah perbuatan antikemanusiaan dan berlawanan dengan ajaran agama mana pun. Tidak ada agama yang membenarkan kekerasan.

Bersamaan dengan itu, warga pun diajak untuk tidak mengidentikkan agama tertentu dengan aksi teror dan kekerasan tertentu. Pertanyaan kita adalah apakah benar agama-agama sama sekali tidak mempunyai kontribusi dalam aksi teror yang terjadi?

Ambivalensi agama

Kita akan mudah menemukan kesepakatan bahwa sejatinya tidak ada agama yang eksplisit mengajarkan warganya untuk menggunakan kekerasan. Pada tataran normatif, agama berurusan dengan yang ilahi, yang dipandang dan disembah sebagai sumber dan tujuan kehidupan manusia. Karena memiliki Tuhan sebagai sumber dan tujuan, kehidupan manusia terlindung secara hakiki.

Dalam alur silogisme ini, tiap agama juga harus menghargai hak hidup tiap manusia. Maka, tindak kekerasan yang menghancurkan kehidupan manusia seperti terorisme adalah bertentangan dengan sikap dasar kepada yang ilahi. Orang yang membunuh orang lain dalam aksi teror tidak berhak menyebut diri penyembah Tuhan.

Persoalan yang dihadapi adalah kompleksitas fenomena keagamaan yang tidak selalu demikian terang layaknya sebuah silogisme. Agama berbicara dan merayakan yang ultim, yang tidak dapat direduksi hanya pada akal budi. Tuhan menyentuh seluruh diri manusia.

Karena itu, agama tidak hanya berbicara dan mewartakan, tetapi juga merayakan. Hanya karena itu, agama menjadi tempat perlindungan bagi manusia saat dia terancam hanyut dalam kalkulasi ekonomi, perhitungan politik, atau rekayasa ilmu pengetahuan, dan dapat menjadi inspirasi untuk pembebasan saat terjadi banjir emosi yang membutakan.

Dalam bahasa Habermas, agama membangkitkan kesadaran akan sesuatu yang hilang (das BewuƟtsein von dem, was fehlt). Dia mengingatkan, manusia tidak boleh direduksi hanya pada beberapa faktor.

Dalam cirinya yang holistis serentak misterius ini, agama memiliki alur argumentasinya sendiri, yang tidak selalu dapat diterima semua orang. Masalah muncul saat agama dengan pola berpikir yang khas mengklaim diri mewakili rasionalitas manusia seumumnya.

Dengan anggapan ini, agama mudah terjebak dalam godaan untuk memaksakan semua orang menerima kebenarannya sebagai satu-satunya yang paling sesuai jati diri alamiah manusia. Yang berpikir lain dinilai terlalu angkuh atau terlalu bodoh.

Ketika banyak cara tidak mempan untuk membalikkan orang dari kebodohan atau keangkuhannya, penggunaan kekerasan pun mudah mendapat legitimasi. Dan membiarkan diri menjadi sarana untuk tujuan ini merupakan satu kemuliaan. Maka, segelintir orang rela mati demi tujuan luhur itu. Godaan ini melekat pada setiap agama. Karena itu, tiap agama memiliki kisah kekerasan dalam sejarahnya kendati sering kita mendeklarasikan, agama-agama sejatinya antikekerasan.

Menjadi peziarah

Bahaya penggunaan kekerasan, termasuk terorisme, adalah godaan laten dalam agama-agama. Karena itu, tugas paling mendesak serentak paling sulit bagi agama-agama adalah menyediakan perangkat penjelasan dalam tradisinya sendiri untuk mengakui kebebasan yang sama bagi setiap manusia dan semua kelompok.

Kerangka penjelasan itu harus digali dari tradisi sendiri sebab selama dia dipaksakan dari luar, sifatnya amat rapuh dan membentuk semacam toleransi semu. Orang lain terpaksa diterima selama dia belum dapat disingkirkan.

Toleransi seperti ini dapat dipaksakan oleh ideologi politik, relasi kekerabatan, atau simbiosis mutualis dalam sebuah sistem ekonomi. Dia berubah saat ideologi politik runtuh, relasi kekerabatan melonggar atau saat orang merasa dirugikan dalam hubungan perekonomian.

Untuk memupuk satu kehidupan bersama dalam kedamaian yang langgeng, seruan toleransi dan demonstrasi kebersamaan agama-agama amat penting tetapi belum memadai. Lebih dari itu, tiap agama harus mempertanggungjawabkan kepada para pemeluknya landasan teologis yang meyakinkan bagi penerimaan dan penghargaan terhadap semua orang dan kelompok lain.

Toleransi baru menemukan akarnya yang kuat apabila agama sanggup melihat manusia, apa pun agama dan orientasi politisnya, sebagai makhluk yang dilindungi Tuhan dan karena itu memiliki hak yang harus dihormati. Terorisme tidak menambah apa pun pada kemuliaan Tuhan, sebaliknya merupakan penghinaan terhadap-Nya.

Orientasi kepada kemanusiaan ini mendorong agama-agama untuk menempatkan dirinya dalam dialog yang hidup dengan setiap kondisi sosio-historis. Ketika kondisi sosio-historis menampakkan ciri plural yang semakin radikal seperti dewasa ini, klaim agama sebagai pemangku kebenaran absolut harus ditafsir secara baru.

Rasionalitas agama harus menjadi kesadaran fragmentaris, yang hanya dapat menunjuk kepada kebenaran absolut Tuhan tanpa bisa menggantikannya. Agama menjadi sikap manusia peziarah, bukan pengawal benteng abadi yang tak tersentuh goresan kefanaan. Peziarah mencari dalam keterbukaan, pengawal benteng abadi mempertahankan dengan menghancurkan. Selama kita memilih mempertahankan Tuhan dalam semangat pengawal benteng, bahaya laten terorisme pun tetap terpelihara.

Budi Kleden Dosen Teologi pada STFK Ledalero

Tidak ada komentar: