Jumat, 24 Juli 2009 | 04:50 WIB
Ahmad Fuad Fanani
Tragedi itu datang lagi. Setelah empat tahun Indonesia sepi bom, Jumat (17/7/2009), para teroris kembali berulah, menyasar Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton.
Bom itu tidak hanya mengguncang rasa aman dan mempermalukan, tetapi juga menunjukkan Indonesia belum aman dan bebas dari teroris.
Teroris dan bom bunuh diri harus dicegah, diusut, dan dihentikan. Latar belakang diurai agar teror serupa bisa dicegah. Jika pemberantasan hanya di tingkat permukaan, membuat politik kambing hitam, dan mentradisikan politik generalisasi terhadap terorisme, niscaya problem itu akan terus terjadi dan menghantui kita semua.
Selama ini ada asumsi, teroris diimpor dan diproduksi dari pesantren atau sekolah Islam. Maka, jika ada bom dan teroris, pesantren dan umat Islam sering menjadi tertuduh. Padahal, pelajaran agama dan pemahaman tentang definisi jihad di kalangan Islam tidak seseram yang banyak dipersepsikan. Misalnya, pembelajaran tentang jihad disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keterkaitan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jihad yang dimaksudkan adalah bagaimana berjuang di jalan Allah agar menemukan kebenaran dan kebahagiaan, tetapi tidak dengan perang dan kekerasan.
Itu juga sesuai pernyataan Khaled Abou El Fadl, jihad merupakan prinsip inti teologi Islam; yang berarti berusaha keras, gigih, dan mengaplikasi diri. Dalam banyak hal, jihad menunjukkan etika kerja spiritual dan material. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidak mungkin diwujudkan tanpa jihad—kerja keras yang serius dan tangguh.
Membersihkan diri dari kesombongan dan kepicikan, mencari pengetahuan, menyembuhkan yang sakit, memberi makan orang miskin, membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan meski dengan risiko, adalah bentuk-bentuk jihad (The Great Theft, Wrestling Islam from the Extremists, 2005).
Khaled menambahkan, tindakan terorisme dan bunuh diri bukan jihad, tetapi qital. Al Quran menggunakan kata qital untuk merujuk peperangan dan pertempuran. Jihad merupakan sesuatu yang baik pada dan dalam dirinya, sedangkan qital tidak, karena itu dilarang dan dibatasi dalam kondisi tertentu. Sementara perintah untuk jihad, seperti rujukan terhadap keadilan dan kebenaran, bersifat mutlak dan tanpa syarat.
Menurut Stuart Sim dalam Fundamentalis World: The New Dark Age of Dogma (2004), kini dunia sedang dilanda demam fundamentalisme dan terjadi pada semua bidang, baik agama, politik, maupun ekonomi. Fundamentalisme bukan khayalan setiap kita beraktivitas, tetapi telah menjadi gejala dunia, yaitu lahirnya zaman baru kegelapan dogma. Kita terkepung ancaman fundamentalisme karena gejala ini menggunakan pengaruh kuat dalam semua lembaga agama, politik, dan ekonomi. Mereka menawarkan alternatif pilihan kembali ke masa lalu, terutama pada masyarakat yang frustrasi saat berhadapan dengan kapitalisme global, demokrasi liberal, maupun sekulerisme.
Maka, untuk memburu teroris dan memberantas terorisme, penyelesaian masalah secara komprehensif harus dilakukan secara arif, teliti, dan cerdik. Diskriminasi umat Islam pascaperistiwa 11 September yang menjadikannya sebagai tertuduh, seyogianya tidak dikembangkan menjadi kebijakan negara-negara Barat. Gejala terorisme negara yang ditunjukkan Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina dan Irak hendaknya juga serius diperhatikan.
Kebijakan yang memihak redistribusi sosial, penegakan keadilan sosial, dan subsidi kepada yang papa bisa dijadikan alternatif memberantas terorisme.
Dengan menjalankan kebijakan yang pro-rakyat dan bertumpu pada solusi problem nyata di masyarakat, pemerintah akan mudah mendapat simpati rakyat dan gerakan terorisme cepat digulung. Jangan sampai langkah pemerintah cenderung bersifat gegap gempita di permukaan dan menuruti pesanan tanpa memahami akar persoalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar