Selasa, 10 Maret 2009

Muhammad dan Teologi Pembebasan

Oleh: Gugun El-Guyanie
(Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3) PW GP Ansor DIY)

Muhammad, di antara manusia lain, bagaikan sebuah permata di antara batu-batuan (Syair Arab).

Maulid Nabi Muhammad SAW diperingati sebagai hari lahir Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi, yang paling sempurna dari seluruh makhluk Allah dan kekasih Tuhan. Dalam tahun hijriyah, tepat pada 12 Rabiul Awal, Nabi Allah Muhammad yang penuh berkah dilahirkan di sebuah Kota Makkah. Di kota suci tersebut, terdapat Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim, bapak agama monoteisme dan leluhur bangsa Arab serta Yahudi.

Namun, pusat agama kuno ini tetap bersebelahan dengan panggung utama peradaban manusia dan merupakan ajang pertarungan berbagai kekuasaan besar dunia. Peristiwa-peristiwa utama dalam sejarah di daerah ini, yaitu penaklukan Kerajaan Babilonia oleh Cyrus dan berdirinya Kerajaan Romawi, kelahiran dan penyaliban Kristus, berakhirnya peradaban Mesir Kuno, kehancuran Kenisah Yerusalem, berdirinya Kerajaan Bizantium, dan peperangan terus-menerus dengan bangsa Persia hingga ke daerah Timur, turut mewarnai Kota Makkah.

Sayyed Hossen Nasr dalam Muhammad Man of Allah (1982) mencatat bahwa lebih dari seribu tahun di Arabia, ajaran monoteistik telah ditinggalkan. Mayoritas bangsa Arab telah jatuh ke dalam jurang kemusyrikan yang paling buruk. Mereka telah melupakan kebenaran dan tenggelam dalam zaman kejahilan (jahiliyah) yang menjadi latar belakang lahirnya Islam. Satu-satunya pengecualian, di samping sejumlah kecil umat Kristen dan Yahudi yang berdiam di Arabia, adalah terdapat beberapa orang yang menyendiri dan yang ingat terhadap ajaran asal Nabi Ibrahim, yaitu orang-orang yang disebut Alqur'an sebagai kaum hanif atau hunafa. Maka, lahirlah Muhammad yang tidak hanya menjadi nabi dan rasul Allah, tetapi juga kekasih Allah dan rahmat yang dikirimkan ke muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam Alquran (21: 107), Dan tidaklah kami utus engkau (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.

Karena, Muhammad adalah nabi yang lahir dengan spirit teologi pembebasan (liberation theology). Islam yang diturunkan Allah melalui Muhammad adalah agama yang membebaskan kaum tertindas, mengangkat derajat orang-orang yang kalah, dan membebaskan umat manusia dari hegemoni tradisi dan sistem yang membelenggu.

Ada pendapat yang menarik dari Thoha Husein, seorang intelektual dari Mesir dalam Al Fitnatul Kubro yang dikutip oleh Novriantoni (2002). Apa reaksi kaum Quraisy sekiranya Nabi SAW hanya menganjurkan prinsip tauhid? Menurut Thoha, andaikan Muhammad hanya membawa tauhid, minus sistem sosial dan ekonomi, tentu banyak orang Quraisy menyambut seruan Muhammad dengan mudah.

Thoha beralasan bahwa orang Quraisy pada hakikatnya tidak secara penuh percaya berhala dan juga tidak benar-benar mempertahankan 'tuhan-tuhan' mereka itu. Berhala-berhala itu hanya sekadar alat, bukan tujuan. Alat untuk mengelabui semua orang Arab agar mudah ditipu dan diperas. Orang yang menilai bahwa Nabi hanya menyeru Tauhid sebagai lawan tanding Ta'addud (politeis), panutan Arab kala itu tentu keberatan dengan pendapat Thoha. Tapi, bila struktur sosial, budaya, politik, dan ekonomi Arab pra-Islam ditilik lebih cermat, tentulah pendapat itu tidak mengejutkan.

Sebelum lahir seorang bayi bernama Muhammad atau sekitar 14 abad yang silam, ada tiga wilayah yang menjadi ikon peradaban dunia dengan ciri khas masing-masing, yakni Romawi Timur, Persia, dan India (Mushaffa Ibnu Dja'far: 2006). Romawi Timur (Imperium Byzantium) dengan bala tentaranya yang mahadahsyat berhasil menguasai Yunani, Balkan, sebagian besar Asia, negara di sekitar laut tengah, Mesir, dan seluruh Afrika bagian utara. Meski wilayah kekuasaannya merambah ke berbagai belahan bumi, keterpurukan melanda di mana-mana. Terjadi perang dingin antarpemeluk mazhab beragama.

Terbaginya masyarakat pada strata tertentu membuat kesenjangan sosial begitu menganga. Ekonomi pun menjadi carut-marut sehingga perang saudara antara rakyat dan kekaisaran tak terhindarkan. Di Persia, agama justru menjadi justifikasi untuk berbuat semena-mena. Penindasan terhadap kaum lemah pun merajalela. Penguasa mengaku, mereka merupakan keturunan tuhan. Titah raja pun harus disikapi sebagai titah tuhan sehingga kepongahanlah yang diperankan.

Seluruh kekayaan alam diakui menjadi milik penguasa. Rakyat menjadi korban pola hidup penguasa. Harta dan tenaga rakyat diekploitasi untuk kepentingan orang-orang teras kekaisaran. Sementara itu, di India, segala sesuatu yang menakjubkan, menarik, bahkan berbagai macam fasilitas menjadi sesembahan. Masing-masing punya tuhan yang berbeda. Sistem kasta telah membunuh kemanusiaan bangsa India. Penduduk kelas satu (Kasta Brahmana) harus dimuliakan, tidak boleh sengsara meski paceklik melanda. Meski berbuat salah, mereka tidak bisa disentuh hukum. Penduduk kelas dua (Kasta Ksatria) terdiri atas prajurit perang. Sedangkan, kelas tiga (Kasta Waisha) adalah petani dan pedagang. Sementara itu, kelas empat adalah budak (Kasta Sudra) yang kedudukannya begitu tidak bernilai. Bahkan, dalam hukum, mereka lebih hina dari binatang.

Muhammad adalah manusia biasa. Namun, karena perjuangannya melampaui egoisme, Muhammad manusia pun berubah menjadi Muhammad Nabi. Proses itulah yang membutuhkan pengorbanan besar dan perjuangan yang berdarah-darah. Sehingga, tidak ada umat manusia yang melebihi penderitaan yang dipikul Nabi Muhammad. Tidak ada kesengsaraan di muka bumi ini sebagaimana dalam sejarah hidup Muhammad. Dari pergulatan sosial dan pergulatan spiritual inilah, kemudian Allah mengangkatnya menjadi utusan sekaligus pemimpin bagi umat manusia menuju cakrawala ketuhanan.

Penghormatan terhadap Nabi yang berjuang untuk umat manusia dan menebar cinta untuk semesta (rahmatan lil 'alamin) itulah yang melahirkan peringatan Maulid Nabi. Perayaan Maulid Nabi pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Tujuannya adalah membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW serta meningkatkan semangat juang kaum Muslim saat itu yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan Pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan Kota Yerusalem.

Pada masa itu, dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, dan Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099, laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid Al-Aqsa menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah). ini disebabkan umat Islam secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Baghdad, sebagai lambang persatuan spiritual (Irfan Anshory: 2004).

Semoga peringatan Maulid Nabi kali ini benar-benar memancarkan teologi pembebasan yang membebaskan bangsa Indonesia dari segala problematika dan dialektika penghancuran serta selamat dari malapetaka yang mengancam kehidupan anak-anak bangsa.

(-)

Tidak ada komentar: