Senin, 27 Juli 2009

Menguak Wacana Terorisme Oleh: Hermanto Harun

Tertangkapnya Yusron alias Abu Dujana di Indonesia, seakan semakin menguatkan asumsi, bahwa gerakan terorisme memang eksis dan tetap selalu menjadi `hantu' yang setiap waktu selalu siap bergentayangan. Isu terorisme di negeri ini sepertinya menjadi santapan harian opini publik, yang semakin hart mengarah pada justifikasi bahwa memang, terorisme selalu bertalian dengan faham dogmatif keberagamaan.

Semenjak peristiwa Sabtu kelabu 11 September 2001 yang menghancurkan WTC dan Pentagon, gedung simbol kedigdayaan Amerika Serikat, isu terorisme terus mengalir ke permukaan wacana. Ruang publik seakan tak hentinya di cekoki hidangan isu terorisme yang sampai saat ini belum jelas identitasnya. Sepertinya, wacana terorisme senantiasa menjadi 'headline' setiap berita di pentas global. Seolah, terorisme menjadi konco dinamika dunia yang tak boleh terlewatkan dalam pemberitaan.

Adalah Rif’at Said yang menulis artikel yang berjudul "al-Irhab fi Alam al­Aulamah" (teroris dalam dunia global) di harian al-Ahram Mesir (20/4/2007), dalam tulisan itu mengungkapkan, bahwa, ada sebuah perenungan dalam kerangka peta zaman yang baru yang disebut globalisasi, yang terkadang menyuguhkan ragam penafsiran yang layak untuk diperhatikan, yaitu adanya dua kutub dunia yang berbeda antara dunia maju dan dunia yang selalu identik dengan keterbelakangan. Disini difahami bahwa dunia pertama adalah keberhasilan, kemajuan dan harus dilindungi, sedang dunia kedua adalah kemunduran, keterbelakangan yang selalu dipandang sebagai ancaman.

Terorisme menjadi alat dan opini jitu di pentas global untuk dijadikan kambing hitam sebagai dalih pencitraan buruk terhadap dunia kedua yang `konon' masih menjadikan agama sebagai nafas kehidupan, sehingga, dunia pertama yang berbaju Barat seakan menjadi pejuang dan pahlawan terhadap pemberangusan terorisme. Walaupun sulit untuk menutup topeng, bahwa, iklan besar-besaran tentang terorisme yang disponsori oleh Barat memiliki hiden agenda, yaitu untuk kepentingan kapitalisme dan bahkan tidak mustahil demi agama (crused). Dengan demikian, yang tampak sekarang, Islam selalu menjadi pihak tertuduh yang ditempelkan dengan prilaku teroris. Lebih dart itu, norma Islam bahkan diidentifikasi sebagai ajaran yang memang akrab dan bahkan memang mengajarkan tindakan yang tidak berperikemanusiaan tersebut.

Bagi penganut Islam, tuduhan dan persepsi seperti di atas jelas ditolak, karena memang sangat kontradiktif dengan nilai humanisme dogma Islam. Namun fakta waqi'nya, para pelaku yang dianggap teroris, sebagiannya berstatus sebagai muslim. Lantas, benarkah asumsi bahwa tindakan terorisme bermotif agama? dan apa sebenarnya "binatang" terorisme itu?.

Definisi terorisme

Mendefinisikan terma terorisme sacara harfiyah tidaklah begitu sulit. Namun, menerjemahkannya secara kully (konprehensif) dengan konkteks kekinian terasa agak akut, mengingat terma terorisme sudah dirasuki, ter-sibghah (diwarnai) oleh pelbagai kepentingan, baik ideologi maupun politik. Sehingga ketika harus menuding seseorang dengan teroris, terasa sulit untuk meyakini kebenaran relevansinya antara stigma dan pelakunya. Hal ini karena terma terorisme telah memasuki wilayah klaim masing-masing yang menjadi multi tafsir bagi pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, semua pihak berhak untuk menghindar dan terminologi terorisme dan mengakui bahwa pekerjaan yang mereka lakukan tak jarang dianggap sebagai perbuatan suci yang dijustifikasi oleh dogma agama. Di sinilah tepatnya ungkapan Fahmi Huwaidi dalam bukunya al-Maqalat al-Mahzurah (kumpulan artikel terlarang) yang menjelaskan, bahwa dekade terakhir ini, perbuatan baik dituding sebagai ,sebuah kejahatan, putih menjadi hitam, dan mujahid dianggap teroris.

Namun, di tengah subyektifitas dan kerancuan makna terorisme, tidak lantas istilah ini terisolir dan luput dari pengertian akademiknya. Menurut Vidari, kata terorisme merupakan istilah asing yang digunakan untuk menyebut seseorang dan atau kelompok yang melakukan tindakan kekerasan dan teror di tengah-tengah masyarakat. (Republika, 23/6/2007). Jhon M Echols menyebut anti teroris sebagai penggetaran atau perusuh atau tindakan kekerasan yang disertai dengan sadisme yang dimaksudkan untuk menakut­nakuti lawan. Akan tetapi dalam kamus adikuasa, menurut Noam Avram Chomsky, terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok­kelompok kecil. Lain lagi dengan Amir Thohiri. Dalam bukunya al-lrhab al-Muqaddas (terorisme suci) tertulis, semua tindakan kekerasan yang diluar undang-undang perang-- seperti yang telah disepakati oleh seluruh negara di dunia--dengan tujuan memberi rasa tidak aman demi tercapainya tujuan politik.

Pengertian di atas, merupakan persepsi personal ilmuwan dalam mendefinisikan makna terorisme. Pada level kenegaraan, Mesir misalnya, pernah diadakan forum dialog antara ketua Asosiasi Keamanan Nasional Arab dengan ketua Dewan Syura (MPR) Mesir pada tanggal 20 Maret 1993 yang mengangkat tema "Menghadang Terorisme". Dalam dialog ini menelurkan pengertian terorisme, yaitu, segala praktek kekerasan atau ancaman dengan tujuan politis untuk mempengaruhi prestise negara atau untuk menguasai keamanan dengan obsesi menggoyang kepemimpinan nasional, yang bisa dilakukan dengan pelbagai cara, seperti menghancurkan perekonomian agar tercipta keresahan yang berujung kerusuhan. Juga, sebuah obsesi untuk merubah perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh negara dan telah diterima oleh masyarakat.

Sejarah dan Klasifikasi

Jika berangkat dari pengertian terorisme secara leksikal seperti di atas, maka mafhum sederhana dapat disimpulkan bahwa terorisme itu selalu ada dalam realitas sejarah kehidupan manusia. Bahkan, ada semenjak manusia itu membentuk komunitas sosial seperti tragedi pada bani Adam, Habil dan Qabil. Namun pengertian terorisme dalam pemikiran modern mengkristal semenjak revolusi Prancis pada tanggal 10 Agustus 1792, ketika pihak oposisi revolusi melakukan pelbagai tindakan kekerasan dalam menantang revolusi tersebut.

Dalam perkembangannya, gerakan terorisme memang sangat sering dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Hal ini terlihat dari beberapa klasifikasi yang dirangkumkan oleh para ilmuwan. Setidaknya ada tiga. Pertama, terorisme kriminal seperti gerakan perompakan dan penodongan. Kedua, terorisme hegemonic seperti yang banyak dilakukan oleh banyak penguasa terhadap lawan politiknya dalam melanggengkan kekuasaan. Ketiga, terorisme pemikiran seperti pemaksaan opini dan pemahaman terhadap kelompok lain.

Jika disimak dengan pola fikir yang sangat sederhana, baik definisi, sejarah dan klasifikasi terorisme, maka sangat lumrah `terorisme' itu terjadi dalam sebuah komunitas sosial masyarakat. Namun ini bukan berarti penulis mengamini pekerjaan yang dilakukan oleh para teroris, atau menyederhanakan tindakan terorisme, akan tetapi lebih pada keinginan untuk melihat terorisme secara proporsional. Karena dalam realitas kekinian seakan ada kesan pemaksaan opini publik bahwa terorisme memang merupakan ajaran agama. Sehingga biasnya sangat kentara ketika tampilan-tampilan formal agama yang mungkin itu memang dianjurkan dalam ajarannya menjadi identitas kelompok terorisme. Sehingga harus diwaspadai dan dicurigai.

Di sinilah letak kecurigaan, mengapa wacana terorisme selalu muncul dan diopinikan di negara-negara yang kebetulan berpenduduk muslim, atau, mengapa secara umum pelaku yang tertuduh dan dituding melakukan tindakan terorisme adalah terkesan muslim yang ta'at, yang padahal secara jelas ajaran Islam sangat menistai prilaku teror itu. Kecurigaan semakin bersemai ketika kelompok "lain" melakukan hal yang sama, tapi tidak begitu terdengar julukan istilah terorisme kepada mereka. Apakah kurang bejad dan teroris-nya Israel yang sampai saat ini terus memporak-porandakan negara Palestina, Apakah kurang sadisnya tentara Amerika yang sampai saat ini masih bercokol di negara Irak yang berdaulat. Tidak sadiskah pembunuhan kaum muslim di Mindanao, Thailand Selatan, Kasmir dan Ambon. Sungguh pembunuh-pembunuh itu sangat pantas diopinikan sebagai teroris kalas kakap. Tapi mengapa para pembunuh-pembunuh itu tidak didakwa sebagai gerakan atau negara teroris, sehingga bisa di "borgol" Densus Anti Teror Indonesia yang sangat takut dengan teroris yang sudah tidak berdaya? Tanya KENAPA? Wallahu'alam

*Alumni Universitas al-Azhar Mesir, Wakil Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKATT) Prov Jambi, dosen Fak Syari'ah LAIN STS.

Jumat, 24 Juli 2009

Ikhtiar Memberantas Terorisme


Jumat, 24 Juli 2009 | 04:50 WIB

Ahmad Fuad Fanani

Tragedi itu datang lagi. Setelah empat tahun Indonesia sepi bom, Jumat (17/7/2009), para teroris kembali berulah, menyasar Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton.

Bom itu tidak hanya mengguncang rasa aman dan mempermalukan, tetapi juga menunjukkan Indonesia belum aman dan bebas dari teroris.

Teroris dan bom bunuh diri harus dicegah, diusut, dan dihentikan. Latar belakang diurai agar teror serupa bisa dicegah. Jika pemberantasan hanya di tingkat permukaan, membuat politik kambing hitam, dan mentradisikan politik generalisasi terhadap terorisme, niscaya problem itu akan terus terjadi dan menghantui kita semua.

Kecurigaan tak tepat

Selama ini ada asumsi, teroris diimpor dan diproduksi dari pesantren atau sekolah Islam. Maka, jika ada bom dan teroris, pesantren dan umat Islam sering menjadi tertuduh. Padahal, pelajaran agama dan pemahaman tentang definisi jihad di kalangan Islam tidak seseram yang banyak dipersepsikan. Misalnya, pembelajaran tentang jihad disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keterkaitan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jihad yang dimaksudkan adalah bagaimana berjuang di jalan Allah agar menemukan kebenaran dan kebahagiaan, tetapi tidak dengan perang dan kekerasan.

Itu juga sesuai pernyataan Khaled Abou El Fadl, jihad merupakan prinsip inti teologi Islam; yang berarti berusaha keras, gigih, dan mengaplikasi diri. Dalam banyak hal, jihad menunjukkan etika kerja spiritual dan material. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidak mungkin diwujudkan tanpa jihad—kerja keras yang serius dan tangguh.

Membersihkan diri dari kesombongan dan kepicikan, mencari pengetahuan, menyembuhkan yang sakit, memberi makan orang miskin, membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan meski dengan risiko, adalah bentuk-bentuk jihad (The Great Theft, Wrestling Islam from the Extremists, 2005).

Khaled menambahkan, tindakan terorisme dan bunuh diri bukan jihad, tetapi qital. Al Quran menggunakan kata qital untuk merujuk peperangan dan pertempuran. Jihad merupakan sesuatu yang baik pada dan dalam dirinya, sedangkan qital tidak, karena itu dilarang dan dibatasi dalam kondisi tertentu. Sementara perintah untuk jihad, seperti rujukan terhadap keadilan dan kebenaran, bersifat mutlak dan tanpa syarat.

Akar masalah

Menurut Stuart Sim dalam Fundamentalis World: The New Dark Age of Dogma (2004), kini dunia sedang dilanda demam fundamentalisme dan terjadi pada semua bidang, baik agama, politik, maupun ekonomi. Fundamentalisme bukan khayalan setiap kita beraktivitas, tetapi telah menjadi gejala dunia, yaitu lahirnya zaman baru kegelapan dogma. Kita terkepung ancaman fundamentalisme karena gejala ini menggunakan pengaruh kuat dalam semua lembaga agama, politik, dan ekonomi. Mereka menawarkan alternatif pilihan kembali ke masa lalu, terutama pada masyarakat yang frustrasi saat berhadapan dengan kapitalisme global, demokrasi liberal, maupun sekulerisme.

Maka, untuk memburu teroris dan memberantas terorisme, penyelesaian masalah secara komprehensif harus dilakukan secara arif, teliti, dan cerdik. Diskriminasi umat Islam pascaperistiwa 11 September yang menjadikannya sebagai tertuduh, seyogianya tidak dikembangkan menjadi kebijakan negara-negara Barat. Gejala terorisme negara yang ditunjukkan Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina dan Irak hendaknya juga serius diperhatikan.

Kebijakan yang memihak redistribusi sosial, penegakan keadilan sosial, dan subsidi kepada yang papa bisa dijadikan alternatif memberantas terorisme.

Dengan menjalankan kebijakan yang pro-rakyat dan bertumpu pada solusi problem nyata di masyarakat, pemerintah akan mudah mendapat simpati rakyat dan gerakan terorisme cepat digulung. Jangan sampai langkah pemerintah cenderung bersifat gegap gempita di permukaan dan menuruti pesanan tanpa memahami akar persoalannya.

Ahmad Fuad Fanani Kader Muhammadiyah; Aktivis Lingkar Muda Indonesia (LMI)

Agama dan Terorisme


Jumat, 24 Juli 2009 | 04:51 WIB

Budi Kleden

Sudah menjadi satu ritual yang terulang, setiap ada aksi kekerasan di negara ini, para pemimpin agama tampil berdoa bersama bagi para korban sembari mengecam dan menyesalkan aksi itu.

Mereka mendemonstrasikan kesatuan dan menyatakan dengan tegas bahwa tindak kekerasan dan terorisme adalah perbuatan antikemanusiaan dan berlawanan dengan ajaran agama mana pun. Tidak ada agama yang membenarkan kekerasan.

Bersamaan dengan itu, warga pun diajak untuk tidak mengidentikkan agama tertentu dengan aksi teror dan kekerasan tertentu. Pertanyaan kita adalah apakah benar agama-agama sama sekali tidak mempunyai kontribusi dalam aksi teror yang terjadi?

Ambivalensi agama

Kita akan mudah menemukan kesepakatan bahwa sejatinya tidak ada agama yang eksplisit mengajarkan warganya untuk menggunakan kekerasan. Pada tataran normatif, agama berurusan dengan yang ilahi, yang dipandang dan disembah sebagai sumber dan tujuan kehidupan manusia. Karena memiliki Tuhan sebagai sumber dan tujuan, kehidupan manusia terlindung secara hakiki.

Dalam alur silogisme ini, tiap agama juga harus menghargai hak hidup tiap manusia. Maka, tindak kekerasan yang menghancurkan kehidupan manusia seperti terorisme adalah bertentangan dengan sikap dasar kepada yang ilahi. Orang yang membunuh orang lain dalam aksi teror tidak berhak menyebut diri penyembah Tuhan.

Persoalan yang dihadapi adalah kompleksitas fenomena keagamaan yang tidak selalu demikian terang layaknya sebuah silogisme. Agama berbicara dan merayakan yang ultim, yang tidak dapat direduksi hanya pada akal budi. Tuhan menyentuh seluruh diri manusia.

Karena itu, agama tidak hanya berbicara dan mewartakan, tetapi juga merayakan. Hanya karena itu, agama menjadi tempat perlindungan bagi manusia saat dia terancam hanyut dalam kalkulasi ekonomi, perhitungan politik, atau rekayasa ilmu pengetahuan, dan dapat menjadi inspirasi untuk pembebasan saat terjadi banjir emosi yang membutakan.

Dalam bahasa Habermas, agama membangkitkan kesadaran akan sesuatu yang hilang (das BewuƟtsein von dem, was fehlt). Dia mengingatkan, manusia tidak boleh direduksi hanya pada beberapa faktor.

Dalam cirinya yang holistis serentak misterius ini, agama memiliki alur argumentasinya sendiri, yang tidak selalu dapat diterima semua orang. Masalah muncul saat agama dengan pola berpikir yang khas mengklaim diri mewakili rasionalitas manusia seumumnya.

Dengan anggapan ini, agama mudah terjebak dalam godaan untuk memaksakan semua orang menerima kebenarannya sebagai satu-satunya yang paling sesuai jati diri alamiah manusia. Yang berpikir lain dinilai terlalu angkuh atau terlalu bodoh.

Ketika banyak cara tidak mempan untuk membalikkan orang dari kebodohan atau keangkuhannya, penggunaan kekerasan pun mudah mendapat legitimasi. Dan membiarkan diri menjadi sarana untuk tujuan ini merupakan satu kemuliaan. Maka, segelintir orang rela mati demi tujuan luhur itu. Godaan ini melekat pada setiap agama. Karena itu, tiap agama memiliki kisah kekerasan dalam sejarahnya kendati sering kita mendeklarasikan, agama-agama sejatinya antikekerasan.

Menjadi peziarah

Bahaya penggunaan kekerasan, termasuk terorisme, adalah godaan laten dalam agama-agama. Karena itu, tugas paling mendesak serentak paling sulit bagi agama-agama adalah menyediakan perangkat penjelasan dalam tradisinya sendiri untuk mengakui kebebasan yang sama bagi setiap manusia dan semua kelompok.

Kerangka penjelasan itu harus digali dari tradisi sendiri sebab selama dia dipaksakan dari luar, sifatnya amat rapuh dan membentuk semacam toleransi semu. Orang lain terpaksa diterima selama dia belum dapat disingkirkan.

Toleransi seperti ini dapat dipaksakan oleh ideologi politik, relasi kekerabatan, atau simbiosis mutualis dalam sebuah sistem ekonomi. Dia berubah saat ideologi politik runtuh, relasi kekerabatan melonggar atau saat orang merasa dirugikan dalam hubungan perekonomian.

Untuk memupuk satu kehidupan bersama dalam kedamaian yang langgeng, seruan toleransi dan demonstrasi kebersamaan agama-agama amat penting tetapi belum memadai. Lebih dari itu, tiap agama harus mempertanggungjawabkan kepada para pemeluknya landasan teologis yang meyakinkan bagi penerimaan dan penghargaan terhadap semua orang dan kelompok lain.

Toleransi baru menemukan akarnya yang kuat apabila agama sanggup melihat manusia, apa pun agama dan orientasi politisnya, sebagai makhluk yang dilindungi Tuhan dan karena itu memiliki hak yang harus dihormati. Terorisme tidak menambah apa pun pada kemuliaan Tuhan, sebaliknya merupakan penghinaan terhadap-Nya.

Orientasi kepada kemanusiaan ini mendorong agama-agama untuk menempatkan dirinya dalam dialog yang hidup dengan setiap kondisi sosio-historis. Ketika kondisi sosio-historis menampakkan ciri plural yang semakin radikal seperti dewasa ini, klaim agama sebagai pemangku kebenaran absolut harus ditafsir secara baru.

Rasionalitas agama harus menjadi kesadaran fragmentaris, yang hanya dapat menunjuk kepada kebenaran absolut Tuhan tanpa bisa menggantikannya. Agama menjadi sikap manusia peziarah, bukan pengawal benteng abadi yang tak tersentuh goresan kefanaan. Peziarah mencari dalam keterbukaan, pengawal benteng abadi mempertahankan dengan menghancurkan. Selama kita memilih mempertahankan Tuhan dalam semangat pengawal benteng, bahaya laten terorisme pun tetap terpelihara.

Budi Kleden Dosen Teologi pada STFK Ledalero

Terorisme dan Respons Kalangan Moderat


Jumat, 24 Juli 2009 | 04:53 WIB

Zuhairi Misrawi

Setidaknya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai gerbong kelompok moderat mengecam dan mengutuk tindakan itu.

Meski demikian, respons itu jangan hanya berhenti pada pernyataan sikap. Diperlukan tindak lanjut nyata dengan mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkecil ruang gerak kelompok teroris dan memberi pendidikan sebaik-baiknya agar kalangan moderat tidak mudah direkrut kelompok teroris.

Satu hal yang harus diakui bersama, pendekatan struktural sebagaimana dilakukan pemerintah untuk menangkap, bahkan membunuh teroris tidak mampu menghancurkan ideologi terorisme. Yang terjadi justru sebaliknya, kelompok teroris diyakini telah mengalami polarisasi dan penyempalan dari satu kelompok menjadi beberapa kelompok.

Maka, kalangan moderat dapat berperan jauh lebih strategis melalui pendekatan kultural. Jejaring dan solidaritas kultural yang selama ini dimiliki kedua ormas terbesar ini dapat dijadikan salah satu kekuatan untuk menetralisasi paham keagamaan yang bernuansa teroristik. Sebab, bagaimanapun, tindakan terorisme secara kasatmata telah menampar wajah umat negeri ini yang dikenal ramah dan toleran.

Dakwah kultural

Dalam hal ini, cepat atau lambat, perlu dihidupkan kembali strategi dakwah kultural, yaitu dakwah yang mengajak umat membangun perdamaian, etos kerja, dan keadilan sosial. Pada masa lalu, KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan mempunyai perhatian ekstra terhadap kualitas umat. Dalam waktu panjang terbukti kalangan moderat dapat memberi kontribusi dalam pembangunan bangsa, terutama dalam penanaman nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi.

Langkah ini perlu dihidupkan kembali. Apalagi disinyalir, kelompok yang selama ini diduga sebagai pihak yang melakukan aksi teror tinggal di pedalaman yang merupakan basis kelompok moderat. Jika jejaring kalangan moderat digunakan sebaik mungkin untuk mengimbau semua warga agar mempunyai kepedulian terhadap hak hidup setiap warga dan mendorong perdamaian, hal itu akan memberi dampak positif.

Harus diakui, selama ini dakwa kultural telah mengalami kemacetan karena dua hal. Pertama, kalangan moderat terlalu fokus pada dakwah global melalui forum-forum internasional. Forum-forum seperti ini amat penting guna menunjukkan bahwa mayoritas kalangan Muslim di Tanah Air adalah kelompok yang menyokong dialog antarperadaban dan perdamaian dunia. Namun, akan amat bermasalah jika hal itu mengabaikan agenda-agenda kultural yang sejatinya merupakan prioritas utama.

Kedua, kalangan moderat terlalu hanyut dalam politik praktis. Dalam berbagai forum sudah dikemukakan, keterlibatan kalangan moderat dalam politik praktis akan melumpuhkan agenda-agenda kultural. Kecenderungan pada kekuasaan jauh lebih dominan daripada kecenderungan pemberdayaan masyarakat. Konsekuensinya, umat kurang diperhatikan, elite sibuk berebut kekuasaan.

Maka, aksi terorisme pekan lalu tidak cukup jika hanya dikecam dan dikutuk. Lebih dari itu, harus dijadikan momentum untuk reorientasi pemberdayaan, penyadaran, dan pencerahan umat. Kalangan moderat harus membangun kembali pola keberagamaan yang toleran, damai, dan berkeadaban.

Realitas keumatan

Perlu ditegaskan, terorisme tidak terkait agama tertentu. Terorisme sebenarnya terkait realitas keumatan. Agama, khususnya Islam, amat menegaskan pentingnya perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam sebuah hadis disebutkan, inti Islam adalah menebar perdamaian dan menyantuni fakir-miskin kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal.

Terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama karena yang bermasalah bukan agama, tetapi umat yang kerap kurang tepat memahami doktrin agama, tidak kontekstual, dan bernuansa kekerasan. Sebab itu, yang perlu mendapat perhatian saksama adalah kualitas pemahaman umat terhadap agama. Bom bunuh diri adalah perbuatan yang harus dihindari karena dilarang agama. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia beberapa tahun lalu mengeluarkan fatwa itu.

Selain itu, transmisi gerakan transnasional menyebabkan kelompok moderat mengalami tantangan tidak mudah. Sebab itu, membentengi umat dari ideologi kekerasan merupakan pekerjaan yang harus diutamakan sebelum terorisme menjadi kekuatan yang bersifat masif.

Harapan terhadap kelompok moderat, khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, begitu besar karena kedua ormas ini merupakan benteng terakhir untuk menyelamatkan bangsa dari aneka pembajakan doktrinal. Ongkosnya terlalu mahal jika negeri ini bermetamorfosa menjadi negeri yang setiap saat dihujani bom bunuh diri.

Maka, kalangan moderat harus melakukan tindakan proaktif dan progresif untuk mengatasi masalah terorisme. Tidak hanya setelah kejadian, tetapi jauh-jauh hari sebelum kejadian. Sebab, terorisme menyisakan kesengsaraan, kegelisahan, dan kesedihan yang amat mendalam.

Zuhairi Misrawi Ketua Moderate Muslim Society (MMS); Penulis buku Islam Melawan

Senin, 13 Juli 2009

Shalat Jumat Dilarang di Xinjiang



RI sesalkan kerusuhan di Xinjiang

URUMQI -- Pemerintah Cina melarang warga Muslim yang tinggal di Urumqi, ibu kota Xinjiang, provinsi otonom Cina, menjalankan shalat Jumat. Masjid-masjid ditutup, dan Muslim Uighur, etnis mayoritas di provinsi itu, diminta menggelar shalat Jumat di rumah masing-masing.

''Berdasarkan instruksi pihak berwenang, pelaksanaan shalat di masjid ditiadakan mulai hari ini. Siapa saja yang ingin menjalankan shalat, dipersilakan melakukannya di rumah,'' demikian pengumuman bertanggal 8 Juli 2009 yang tertera di papan pengumuman Masjid Guyuan, Urumqi.

Alasan Partai Komunis, penguasa di Cina menutup masjid karena khawatir kerumunan massa, seperti shalat jamaah dan shalat Jumat, dapat kembali menyulut kerusuhaan.

''Ini (masjid) tak akan dibuka. Partai Komunis tak akan mengizinkannya,'' kata seorang pria Uighur, bersama ratusan warga lainnya yang hendak menunaikan shalat Jumat di Masjid Raya Dong Kuruk Bridge, kemarin (10/7).

''Kami merasa dihina. Ini kan masjid kami. Tapi, kami tak dapat memasukinya,'' ujar seorang pemuda lainnya, memprotes. Ahmed Jan, warga yang tinggal di dekat Masjid Dong Kuruk, menyesalkan tak diizinkannya mereka shalat Jumat.

''Bagi kami, ini mengganggu. Jika kami tak diziinkan menjalankan aktivitas agama secara normal, akan ada banyak kemarahan,'' katanya.
Pelarangan shalat Jumat ini buntut dari aksi kerusuhan pada Ahad (5/7) lalu. Menurut versi pemerintah, kerusuhan ini menewaskan 156 orang, lebih dari 1.000 orang terluka, dan sebanyak 1.434 orang ditangkap.
Versi lain, menurut Wakil Presiden Uighur World Congress, Asgar Can, seperti dikutip dari World News Australia, korban tewas mencapai 600-800 orang.

Rusuh massa itu berawal dari kemarahan etnis Uighur atas terbunuhnya dua pekerja pabrik mainan, 26 Juni silam. Ribuan warga dari etnis Uighur protes karena pemerintah dianggap tak tanggap atas terbunuhnya dua pekerja yang terlibat bentrok dengan etnis Han.

Kemarin, pasukan keamanan dan kendaraan militer bersenjata lengkap, tampak ditempatkan di sejumlah masjid. Helikopter militer berkeliaran di udara. Sementara di Masjid Yang Han, orang-orang berkerumun membaca pengumuman pelarangan shalat Jumat tersebut.

Seorang perempuan Uighur mengatakan, mestinya masjid tetap dibuka. ''Tak perlu menutup masjid. Sebab, setiap orang yang masuk ke dalamnya adalah seorang Muslim. Pasti aman. Kami tak memiliki kekuatan apa pun,'' katanya, yang langsung ditarik suaminya ke belakang kerumunan.

Tak jauh dari tempat itu, perempuan beretnis Han menyela seorang reporter media asing sebelum berbicara dengan dua perempuan Uighur yang berjilbab. ''Tentu masjid harus ditutup. Lihatlah kerusakan yang ada. Ini langkah patriotik demi kebaikan semua etnis.''

Memeti Imam Damala, imam Masjid Liuddaowan, mengungkapkan, pengumuman larangan shalat itu diterima Kamis (9/7) malam. ''Anda mestinya tahu alasannya apa,'' katanya.

Pengumuman larangan shalat Jumat, ditempel di semua masjid yang bertebaran di Urumqi. Namun, sejumlah masjid tetap dapat menyelenggarakan shalat Jumat, setelah kerumunan massa bersitegang dengan polisi yang menjaga masjid.

Salah satunya terjadi di Masjid White. Seratusan warga yang berkerumum di depan masjid itu berhasil memaksa seorang polisi beretnis Uighur membuka pintu masjid. ''Banyak orang berkerumun di depan masjid. Kami tidak ingin terjadi insiden,'' kata polisi itu yang enggan disebutkan namanya.

Kaishar, seorang penjual mobil, menambahkan, ''Tak ada alasan menutup gerbang. Mereka bilang ini demi keamanan, tapi sebenarnya itu tak perlu.''

Namun, seusai shalat, sempat terjadi bentrok dengan polisi. Sejumlah orang digelandang polisi, dengan tangan di atas kepala. ''Lihat, bagaimana perlakuan mereka terhadap Uighur, layaknya seperti binatang saja,'' kata seorang wanita yang menyaksikan penangkapan itu.

Kerusuhan sosial di Xinjiang itu, disesalkan Pemerintah Indonesia. Namun, kata juru bicara Departemen Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, Pemerintah Indonesia juga menyatakan bahwa upaya menciptakan ketertiban masyarakat sudah dilakukan oleh Pemerintah Cina.

''Kita berharap upaya itu memang cepat dilakukan, sehingga tak terjadi masalah yang berkepanjangan di Xinjiang,'' kata Faizasyah.

Pengamat Cina dari Baptist University, Hong Kong, Jean-Pierre Cabestan, mengatakan, kerusuhan di Xinjiang membuktikan klaim Pemerintah Cina bahwa kehidupan berjalan aman telah terbantahkan.

''(Kerusuhan itu) menunjukkan bahwa Cina masih merupakan negara yang kasar, dengan tingkat kerawanan masyarakatnya yang serius,'' kata Cabestan. ap/reuters/fer/has


EKONOMI POLITIK UIGHUR

Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang, mayoritas bergama Islam, memiliki kekayaan alam luar biasa mulai dari minyak, gas, dan batu bara. Pemerintah Komunis Cina menjadikan Xinjiang sebagai pusat strategi keamanan energi nasional.

Kabinet Cina menerbitkan dokumen berjudul ''Proposals of the State Council on Promoting Economic and Social Development in Xinjiang" yang secara jelas mengungkapkan bahwa pada 2020, Xinjiang akan menjadi basis pengolahan dan produksi migas terbesar di Cina.

* Cadangan Minyak dan Gas
- Wilayah Xinjiang menguasai 20 persen cadangan potensial minyak Cina.
- Cadangan minyak mencapai antara 20-40 miliar ton minyak mentah
- Cadangan gas sedikitnya 12,4 triliun kaki kubik

* China National Petroleum Corp, perusahaan minyak milik negara terbesar, memiliki hak monopoli pengelolaan dan eksplorasi migas di Xinjiang.

- Penemuan minyak yang besar di cekungan Sungai Tarim dan gurun Taklamakan telah menarik perhatian global.

- Cina membangun pipa sepanjang 2.600 mil yang mengaliri migas ke sebagian besar kota besar seperti Sanghai hingga ke Beijing.

Strategi Energi Cina
- Mengurangi ketergantungan migas dari luar negeri
- Menjadikan Xinjinag sebagai pusat penyimpanan dan cadangan nasional

- Selain Xinjiang, Cina memiliki basis produksi minyak besar di:
* Heilongjiang
* Shandong
* Liaoning

Penghasilan
* 75 persen pajak dari Xinjiang masuk ke pemerintah pusat, padahal wilayah itu merupakan daerah otonomi.

* Ekonomi Cina sangat tergantung migas, dan negeri Tirai Bambu itu menjadi salah satu pemain utama global dalam perang energi dengan AS, Rusia, dan Uni Eropa.

* Cina rata-rata menghabiskan 65 miliar dolar AS per tahun untuk impor energi, kebanyakan dari Arab Saudi dan Iran.

* Pada 2008, Xinjiang memproduksi 27,4 juta ton minyak mentah atau melebihi produksi ladang-ladang di Shandong.

* Pada 2009, Xinjiang diharapkan mampu memproduksi minyak hingga 28 juta ton.
* Pertumbuhan GDP Xinjiang mencapai 10 persen per tahun
* Tiap tahun, setidaknya 500 ribu turis asing datang
* Lebih dari 13 juta pelancong domestik juga datang
* Memperoleh pendapatan dari pariwisata rata-rata 1,5 miliar dolar AS per tahun

Kondisi Xinjiang
* Meski berada di daerah emas hitam dengan kekayaan melimpah, namun Xinjiang sangat berbeda dengan provinsi-provinsi Cina lainnya.
- Tak ada industrialisasi di sana
- Penduduk sebagian besar hidup dalam kemiskinan

Sumber: Xinhua/Center for Energy and Global Development/China Daily/Reuters

Lebih 1.000 Muslim Uighur Diperkirakan Tewas



Jam malam diberlakukan, ribuan orang eksodus dari Urumqi.


WASHINGTON -- Pemimpin masyarakat Uighur dari wilayah Xinjiang di bagian barat laut Cina di pengasingan mengatakan, ribuan orang mungkin telah tewas dalam kekerasan di wilayah tersebut dalam beberapa hari belakangan ini.

Rebiya Kadeer, pemimpin Kongres Uighur Dunia, yang bermarkas di Washington, mengatakan sulit untuk mengajukan angka korban secara komprehensif dari wilayah itu, tempat kelompok etnik asli Uighur telah lama mengeluhkan tekanan.

"Menurut laporan-laporan yang belum dikonfirmasikan yang kami peroleh di wilayah itu, sekarang jumlah korban mencapai 1.000 atau beberapa orang mengatakan 3.000," kata Rebiya pada konferensi pers di Gedung Capitol AS, Sabtu (11/7) atau Jumat waktu setempat.

Menurut Rebiya, kematian itu terjadi tidak hanya di ibu kota Xinjiang, Urumqi, tapi di seluruh wilayah yang sangat luas tersebut. "Banyak pembunuhan di beberapa kota yang berbeda seperti di Kashgar," katanya.

Kadeer, yang telah menghabiskan sekitar enam tahun di sebuah penjara di Cina sebelum dibebaskan di bawah tekanan AS pada 2005, memperkirakan, 5.000 orang lagi telah dipenjarakan.

Menurut versi Pemerintah Cina, 156 orang telah tewas dan lebih dari 1.000 orang terluka dalam kerusuhan di Urumqi, Ahad (5/7) lalu. Menurut kantor berita resmi Xinhua,
kemarin, jumlah korban tewas meningkat menjadi 184 orang.

"Di antara mereka yang tewas, 137 adalah orang Han, yang mencakup 111 pria dan 26 wanita. Sebanyak 46 korban adalah warga Uighur, yang terdiri atas 45 pria dan satu wanita. Seorang pria Hui juga tewas," kata kantor berita itu mengutip pemerintah daerah setempat.

Menurut Pemerintah Cina, korban berjatuhan ketika orang-orang Uighur menyerang orang-orang dari kelompok etnik Han--yang dominan di Cina.

Namun, Rebiya mengatakan, pasukan keamanan telah bertindak terlalu berlebihan pada pengunjuk rasa damai itu dan menggunakan kekuatan yang mematikan.

Beijing menuduh orang-orang di pengasingan telah membesar-besarkan jumlah korban tewas dan menimbulkan kekerasan--tuduhan yang dibantah oleh Rebiya.

"Saya menentang semua kekerasan. Saya tidak melakukan itu dan saya tidak akan melakukan hal seperti itu," tegas Rebiya.

Eksodus
Larangan keluar rumah, kemarin, kembali diterapkan di Kota Urumqi, Cina, setelah warga tidak menggubris larangan shalat di masjid.

Masjid-masjid di kota diperintahkan ditutup pada Jumat lalu, tapi setidaknya dua masjid tetap dibuka atas permintaan massa warga Muslim Uighur yang berkumpul di luar.

Suasana Kota Urumqi tetap tegang setelah pecahnya tindak kekerasan etnis itu. Ribuan warga, baik dari kalangan etnik Han maupun Uighur, dilaporkan mencoba eksodus dari kota tersebut.

Pihak berwenang menyediakan pelayanan bus tambahan untuk perjalanan keluar dari Urumqi, namun permintaan karcis telah melampaui jumlah tempat duduk yang ada.

"Terlalu berisiko tinggal di sini. Kami takut akan kekerasan," kata Xu Qiugen, pekerja bangunan berusia 23 tahun asal Cina tengah yang lima tahun tinggal di Urumqi dan telah membeli karcis untuk pergi bersama istrinya.

Kekerasan di Xinjiang itu telah memancing kecaman dari banyak pihak di luar Cina, seperti Turki, Belanda, Australia, dan Amerika Serikat (AS).

Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut kerusuhan etnis di Provinsi Xinjiang, Cina, itu semacam genosida. "Tidak ada kata lain untuk mengomentari peristiwa itu, kecuali genosida," kata Erdogan.

Gelombang pawai protes juga muncul di berbagai kota dunia, seperti Ankara, Berlin, Canberra, dan Istanbul.

Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan Cina bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai.

Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik. Pemerintah Cina berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.afp/bbc/rtr/ant/ayh