Jumat, 28 Agustus 2009
KOMPAS cetak - Islam Direduksi dan Dibajak
Umat Islam Harus Bersatu
Jumat, 28 Agustus 2009 | 04:23 WIB
Jakarta, Kompas - Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin) tidak hanya dipersempit dan direduksi, tetapi juga disimpangkan dan bahkan dibajak oleh beberapa orang Islam yang kerap mengklaim sebagai Muslim sejati."
Sabtu, 22 Agustus 2009
Republika Online - Polisi Awasi Dakwah
Ini berarti kembali ke era Orde Baru.
JAKARTA -- Markas Besar Kepolisian Indonesia (Mabes Polri) memerintahkan kepolisian di daerah meningkatkan upaya pencegahan tindak terorisme. Salah satu bentuknya adalah menggiatkan pengawasan terhadap ceramah keagamaan dan kegiatan dakwah.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Nanan Soekarna, mengatakan, jika dalam materi dakwah itu ditemukan ajakan yang bersifat provokasi dan melanggar hukum, aparat akan mengambil tindakan tegas. Pengawasan itu, terang Nanan, bukan bermaksud membatasi ceramah atau dakwah."
Jumat, 21 Agustus 2009
Republika Online - 17 Jamaah Tabligh Ditahan
Polisi jangan menangkap hanya bermodal curiga.
JAKARTA -- Sebanyak 17 anggota Jamaah Tabligh berkewarganegaraan Filipina yang sedang melakukan khuruj (perjalanan dakwah dari masjid ke masjid), hingga kemarin, masih ditahan di Markas Polda (Mapolda) Jawa Tengah.
''Sembilan orang ditangkap di Purbalingga dan delapan orang di Solo,'' kata Kepala Polda Jawa Tengah, Irjen Alex Bambang Riatmojo, di Purwokerto, Jawa Tengah, kemarin.
Mereka ditahan, ungkap Alex, karena menyalahi izin visa yang semestinya. Sesuai visa, mereka berada di Indonesia untuk kunjungan wisata. Tapi, selama di Tanah Air, mereka melakukan kegiatan keagamaan yang butuh visa khusus."
Minggu, 16 Agustus 2009
Republika Online - Antara Hisab dan Rukyat
Sabtu, 15 Agustus 2009
VIVANEWS - POLITIK - SBY Sebaiknya Lepaskan Atribut Demokrat
VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel
VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel
Republika Online - Memahami Gerakan Terorisme: Mungkinkah Berakhir?
Republika Online - Antara Hisab dan Rukyat
KOMPAS cetak - Malik Fadjar: Klaim Kebenaran Harus Dijauhi
Jumat, 07 Agustus 2009
Chilla, Strategi Dakwah Islam ke Seluruh Dunia
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjalankan dakwah Islam. Organisasi Islam non-politik Jamaah Tabligh yang memiliki pengikut di berbagao belahan dunia menggelar acara tahunan "Chilla" yaitu perjalanan ke berbagai negara dalam rangka dakwah Islam.
Chilla diambil dari bahasa Parsi "Chihli" yang artinya empat puluh. Chilla adalah lanjutan dari pertemuan "Bishwa Ijtima" atau Jamaah Muslim Dunia bulan Januari kemarin di ibukota Bangladesh, Dhaka. Pertemuan yang diorganisir oleh Jamaah Tabligh itu dihadiri oleh jutaan orang, 10.000 orang diantaranya peserta dari 108 negara. Pertemuan di fokuskan pada cara-cara untuk menyebarkan pesan-pesan Islam ke seluruh dunia.
Setelah pertemuan yang berlangsung selama tiga hari itu, ratusan ribu orang yang bersedia ikut dalam program "Chilla" berkumpul di masjid Jamaah Tabligh, Masjid Kakrail di Kota Dhaka. Para peserta dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan 10 sampai 20 orang. Mereka akan menjalankan misi dakwah dengan melakukan perjalanan ke berbagai negara selama 40 hari.
Salah satu peserta yang setiap tahun ikut misi tersebut adalah Mohammed Fauzia, warga Malaysia yang bekerja sebagai teknisi. Fauzia, 44, sudah 15 tahun mengikuti misi ini. "Saya berusaha keras untuk bisa ikut Chilla setiap tahun dan menjalankan dakwah Islam ke seluruh dunia. Saya sudah pernah berkunjung ke berbagai negara seperti Australia, Thailand, Pakistan dan India," tutur Fauzia.Peserta lainnya adalah Erfan Ibrahim asal Afrika Utara yang berprofesi sebagai guru mengatakan, alasanya ikut misi ini karena ia meyakini bahwa setiap Muslim harus menjalankan dakwah Islam.
"Kami menjalankan misi dakwah dengan Jamaah Tabligh untuk membawa kedamaian di dunia," kata seorang pengusaha asal Pakistan.
Mereka yang pernah ikut "Chilla" mengakui bahwa misi dakwah itu telah membawa dampak positif bagi diri mereka dan orang lain. Abdul Jamal, jamaah asal Malaysia mengatakan bahwa tujuan utamanya terlibat dalam misi dakwah ini, yang paling utama adalah untuk memperbaikan diri sendiri.
Pernyataan Jamal dibenarkan oleh jamaah asal Pakistan yang berprofesi sebagai pengusaha tadi. "Muslim harus memperbaiki diri sendiri dulu sebelum melakukan kegiatan dakwah," ujarnya.
Peserta "Chilla" lainnya berpendapat, melakukan perjalanan ke berbagai negara untuk berdakwah membantu penyebaran pesan-pesan ajaran Islam yang benar. "Kita harus menyebarkan Islam ke seluruh dunia," kata Mohammed. Menurutnya, sejak pertama kami ikut misi ini, ia menyaksikan banyak orang dari berbagai negara merasakan kedamaian dalam Islam.
Abdur Rahman dari Rusia menambahkan, misi dakwah sangat penting di saat umat Islam sedang mendapat sorotan dan Islam distereotipekan sedemikian buruknya. Ia mencontohkan dakwah di negaranya, Rusia yang berdampak cukup signifikan. Kegiatan dakwah yang intensif di negara itu membuahkan hasil dimana ada sekitar 200 orang di Moskow yang masuk Islam setiap tahunnya.
"Pola pikir masyarakat Rusia berubah beberapa tahun belakangan ini," kata Abdur Rahman yang masih berusia 17 tahun.
"Masyarakat Rusia yang dulunya berpikir agama Islam identik dengan terorisme dan bahwa orang Islam itu suka membunuh, sekarang mereka paham bahwa Islam merupakan agama yang paling berkembang di dunia dan orang Islam adalah orang yang mencintai perdamian," tukas Abdur Rahman. (ln/iol)
Pemuda Arab Baiat Erdogan Sebagai Khalifah Umat Islam Zaman ini
Dalam jajak pendapat di beberapa situs dan forum internet di Arab, para aktivis internet yang kebanyakan dari kalangan pemuda dan terdidik menyatakan bahwa mereka membaiat "secara tak langsung" Erdogan sebagai "Khalifah al-Muslimin fi Hadza al-'Ashr" (Pemimpin Umat Muslim di Zaman ini).
Puluhan pemuda Mesir, misalnya, dalam sebuah forum di Face Book menyatakan Erdogan sebagai Pahlawan Bangsa Arab dari Ras Non-Arab (Bathl al-Ummah al-Arabiyyah wa Huwa Laysa Arabiyyan). Di forum tersebut, terdapat sub-judul dengan pertanyaan menarik: "Limadza La Nahlamu bi 'Awdah al-Khilafah al-Islamiyyah" (Mengapa KitaTidak Mengharapkan Kembalinya Masa Khilafah Islamiyyah?".
Harian Turki Akhbar al-Alam (7/2) melansir, dalam sebuah forum (muntadayat) internet lainnya, terdapat pula tema diskusi yang cukup menggelitik. Dikatakan bahwa "Sepertinya orang-orang non-Arablah, yaitu Pemimpin Turki (Erdogan) dan Iran (Dinejad), bahkan kalangan non-Muslim dari unsur Komunis (Syuyu'i), yaitu Presiden Venevuela Hugo Chavez dan Pemimpin Kuba (Fidel Castro) yang justru akan banyak memberikan perubahan berarti bagi permasalahan kemanusiaan di Palestina.
Sebelumnya, dalam sebuah pidatonya di hadapan kader Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Turki yang dipimpinnya, Erdogan pernah menyatakan jika orang-orang Turki adalah pewaris Kekhalifahan Utsmani yang agung. Pidato Erdogan tersebut terkait reaksinya atas beberapa pemimpin Eropa yang tampak "menyepelekan" peran Turki.
Demikian juga, saat di hadapan Peres, Erdogan dengan tegas "menyentak" Presiden Zionis itu dengan menyatakan jika, "tidakkah engkau ingat, ketika bangsa Yahudi mengalami tragedi pembantaian di Spanyol pasca jatuhnya daulah Islam di sana, juga ketika orang-orang Yahudi diusir dari Eropa di abad petengahan, khalifah Utsmani-lah, orang-orang Turki-lah, kami-lah yang melindungi dan menyelamatkan bangsa kalian!".
Khalifah Utsmaniyyah berdiri sejak abad ke-13 M hingga abad ke-20 M, dan tercatat sebagai kekhalifahan Islam yang memiliki masa kekuasaan terlama (dibanding dengan kekhalifahan Umayyah di Damaskus, Abbasiyyah di Baghdad, Marwaniyyah di Cordova, Fathimiyyah di Mesir, Shafawiyyah di Iran, dan lain-lain).
Pada puncak kejayaannya, yang merentang dari abad ke-15 sampai ke-19 M, kekhalifahan Utsmaniyyah berhasil meruntuhkan imperium adiluhung Byzantium (1453 M). Wilayah kekuasaannya membentang serupa bulan sabit: dari Eropa Tenggara, Eropa Timur, Afrika Utara, Nubia, Mesir, Syam, Semenanjung Arabia, hingga ke Irak. Bisa dibayangkan kebesaran kekhalifahan Utsmaniyyah kala itu. Tak pelak, Utsmaniyyah pun menjadi super power dunia yang pengaruhnya malang melintang pada masanya.
Dan Erdogan, yang kini kerap bercerita tentang nostalgia kejayaan kekhalifahan Utsmaniyyah dulu, rupanya ampuh memantik gelora orang-orang Turki, dan kini terbukti ampuh membangkitkan gelora orang-orang Muslim Arab.
Bagaimana dengan Muslim Indonesia? (atjeng cairo/alm)
Minggu, 02 Agustus 2009
Wahabisme dan Kekerasan
Lebih lanjut dia menekankan agar umat Islam bersatu melawan Wahabisme yang menurutnya menjadi aliran penebar teror di dunia. Istilah tersebut ikut dipopulerkan pula oleh Habib Asseqaf yang menyebut Wahabisme sebagai aliran Islam garis keras. Meski, sebenarnya ia juga sering bertindak laiknya pengikut Wahabisme ketika berhadapan dengan aliran lain yang dinilai tidak sejalan dengan pemahamannya.
Berkaitan dengan istilah Wahabisme, barangkali --jika merujuk kepada aliran dalam Islam-- lebih tepat dikatakan Wahabiyyah. Sebab dengan penyebutan itu menurut saya lebih tertuju kepada ajaran-ajaran yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Sementara jika kita menyebut Wahabisme --sesuai dengan konteks perang terhadap teror saat ini-- menurut saya hanya akan tertuju kepada satu masalah saja, yaitu kekerasan. Meskipun dalam sejarah perkembangannya, karena terlibat ”perselingkuhan” dengan keluarga Saud, kekerasan terhadap kelompok yang dianggap berbeda menjadi salah satu cirinya.
Pencetus aliran tersebut adalah Muhammad bin Abdul Wahab seorang ulama yang bercita-cita memurnikan Islam. Dan, untuk mewujudkan hal itu, menurutnya hanya ada satu pilihan; kembali kepada ajaran Alquran dan Sunnah serta menjauhkan umat Islam dari segala ajaran yang menurutnya tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
Derivasi Pada mulanya, apa yang disebut Wahabiyyah sebagai istilah yang diderivasi dari nama belakangnya tidak berbeda dengan aliran lain. Dalam taraf tertentu bisa dikatakan semacam ”wacana” keagamaan sampai akhirnya keluarga Saud merasa bahwa ajaran Muhammad bin Abdul Wahab tersebut bisa dijadikan sebagai alat atau ideologi bagi pasukan untuk melakukan penaklukan daerah-daerah sekitarnya.
Dalam sejarahnya, keluarga Saud hanyalah sebuah penguasa suku di wilayah yang relatif kecil. Oleh sebab itu, mereka sering menjadi bulan-bulanan sejumlah penguasa daerah yang lebih besar termasuk Turki Usmani. Namun, setelah mereka menerima ajaran Muhammad bin Abdul Wahab dan menjadikannya sebagai ideologi dari perjuangan mereka, secara perlahan namun pasti, keluarga Saud bisa memperluas kekuasaan mereka sampai menguasai Nejd tempat Makkah dan Madinah berada.
Ada perkawinan kepentingan. Muhammad bin Abdul Wahab menyebarkan ide-ide pemurnian keagamaan dan keluarga Saud untuk memperluas wilayah kekuasaan. Penyebaran ajaran Wahabiyyah tidak lepas dari kekerasan yang didukung oleh keluarga Saud untuk memperluas kekuasaan. Sebagai konsekuensi dari sinergi dua kepentingan tersebut, sangat logis jika kemudian kekerasan terhadap sesama muslim menjadi fenomena ketika itu karena upaya penyebaran ajaran dibarengi upaya untuk memperluas kerajaan. Sehingga, di samping juga ada upaya penaklukan ajaran agar kembali menurut mereka ke ajaran murni sesuai Alquran dan Sunnah. Ada juga upaya untuk menaklukkan wilayah dalam konteks pertumbahan darah adalah menjadi pilihan yang tidak terhindarkan.
Sebagai buah perselingkuhan dari dua kepentingan itu, ribuan pengikut aliran yang dianggap menyimpang, terutama dari kalangan pengikut tarekat, harus menemui ajal lantaran mereka dianggap sebagai pelaku khurafat dan bidah. Atau dengan istilah lain, lantaran keislaman mereka yang terbantai tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Aliran Wahabiyyah memang mengklaim sebagai aliran yang berupaya memurnikan ajaran Islam sesuai Alquran dan Sunnah serta menolak semua argumen yang menurut mereka tidak didasarkan kedua sumber dalam Islam tersebut. Tidak hanya sampai di situ --paling tidak pada masa kelahirannya-- karena aliran ini yang didukung kekuatan militer keluarga Saud. Mereka mudah melakukan kekerasan terhadap aliran Islam lain yang dinilai sebagai pelaku bidah dan khurafat.
Atas dasar perjalanan sejarah yang senantiasa bersinggungan dengan kekerasan tersebut, sejumlah kalangan ketika melihat ada sekelompok muslim yang melakukan tindakan teror dan disebut sebagai pengikut Wahabisme. Jadi Wahabiyyah yang sebenarnya sama dengan Asyariyyah dan Syafiiyyah lebih diidentikkan dengan kekerasan.
Muncul Kepentingan Pada mulanya, kekerasan bisa jadi tidak diinginkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Namun, karena ada kepentingan lain selain penyebaran ide keagamaan, yaitu perluasan wilayah kekuasaan keluarga Saud, ajarannya menjadi semacam penyemangat penaklukan sehingga ide-ide yang semestinya disebarkan melalui pendekatan persuasif dan elegan menjadi berkait berkelindan dengan kekerasan. Maka, terjadilah sebutan Wahabisme yang hanya mengedepankan satu aspek dari sejarah perkembangannya, yaitu kekerasan.
Pengidentikan sebenarnya tidak terlalu fair karena terkesan mengesampingkan ekploitasi ajaran tersebut oleh keluarga Saud. Kepada saudara kita di Indonesia yang kebetulan mempunyai kesepahaman dengan ide-ide keagamaan yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab harus memperbaiki citra tersebut.
Saya sependapat bahwa penyimpangan harus diluruskan. Namun, perlu diingat bahwa dalam Islam tidak seorang pun --selain Nabi Muhammad ketika masih hidup-- bisa mengklaim bahwa pendapatnya benar. Sebab Islam sendiri memberikan ruang sangat luas bagi terjadinya perbedaan pendapat ketika berkaitan dengan masalah itu sebenarnya sudah terjadi sejak Nabi wafat.
Apa kita mau mengatakan sahabat sesat lantaran berbeda pendapat dari arus utama ketika itu sementara sahabat sezamannya hanya memilih untuk berkata itu adalah pendapat semata. Oleh sebab itu, marilah kita contoh sikap toleran sahabat agar Islam sesuai akar kata salam, yakni benar-benar menjadi penebar kedamaian dan rahmat; bukan teror dan ketakutan. (80)
–– Mahmudi Asyari, Doktor dari UIN Jakarta, tinggal di Semarang
Atas dasar perjalanan sejarah yang senantiasa bersinggungan dengan kekerasan tersebut, sekelompok muslim yang melakukan tindakan teror disebut sebagai pengikut Wahabisme. Wahabiyyah yang sebenarnya sama dengan Asyariyyah dan Syafiiyyah kemudian lebih diidentikkan dengan kekerasan.