Selasa, 27 Januari 2009

Fatwa Golput Haram, Hukum atau Hawa Nafsu?


Eddi Santosa - detikPemilu



Den Haag - Dari mana dalil untuk mengharamkan golput itu? Tidak lain dari logika akal-akalan saja, yang bisa ditarik ke mana-mana.

Hal itu disampaikan Dr Sofjan S. Siregar kepada detikcom dalam kontak telepon hari ini, Senin (26/1/2009), menanggapi keluarnya fatwa MUI tentang pemilu 2009.

Menurut Sofjan, fatwa MUI itu mengingatkan pada kasus serupa yang pernah terjadi di Mesir. Salah seorang pejabat menteri terkait yang akan tampil di TV Mesir, beberapa menit sebelumnya bertanya kepada presidennya, apakah paduka Presiden ingin masalah ini saya halalkan atau haramkan?

"Artinya, jika mau dihalalkan sudah siap dalilnya dan jika akan diharamkan juga sudah punya alasannya," papar Sofjan.

Sofjan menggarisbawahi hasil Bahsul Masail PKB se-Jatim yang menyatakan, "Golput haram, sedangkan ikut pemilu hukumnya fardu kifayah" dan dalil Ketua Komisi A MUI tentang Fatwa Golput, "... wajib memilih calon amanah dan haram memilih yang tidak amanah."

Menurut Sofjan, dari segi Fiqh hal itu menarik untuk dicermati, karena MUI berulang-ulang selalu mengatakan wajib memilih pemimpin yang amanah (bisa dipercaya), sidiq (jujur), tabligh (menyampaikan), dan fatonah (cerdas).

Dikatakan bahwa empat sifat itu hanya sifat Nabi, yang dalam konteks pemilu ini tidak akan ditemukan di bumi Indonesia. Jika tidak ada, maka memilih dalam pemilu mestinya tidak wajib, karena tidak terpenuhi sifat yang ditentukan itu.

"Karena empat sifat itu memang hanya monopoli nabi yang dipilih oleh Tuhan, bukan oleh parpol Islam, tapi mengapa mereka berani berfatwa sedemikian ngawur?" gugat Sofjan.

Jadi, tandas Sofjan, siapa calon amanah yang dimaksud MUI dan siapa yang tidak amanah itu? Bisakah MUI menyebutkan nama satu orang yang amanah itu? Lagipula apa dan bagaimana persyaratan amanah versi MUI?

"Saya kira MUI terlalu gegabah sampai berani mengeluarkan fatwa haram golput," tandas Sofjan. ( es / es )

Tidak ada komentar: