Kamis, 30 April 2009

Feodalisme sebagai Musuh Demokrasi


Masyarakat Indonesia masih hidup dalam iklim feodalisme yang kuat.
Kamis, 30 April 2009 | 05:23 WIB

Reza AA Wattimena

Masyarakat Indonesia masih hidup dalam iklim feodalisme yang kuat.

Memang ada pernyataan tegas, tiap warga negara setara di hadapan hukum. Namun, pernyataan itu rupanya tidak menjadi realitas. Banyak orang dianggap tidak setara dengan orang lain.

Orang kaya dan penguasa masih mendapat fasilitas lebih. Sementara orang miskin dan lemah tidak mendapat fasilitas apa pun. Untuk hidup normal pun, mereka kesulitan. Mereka dianggap warga negara yang lebih rendah.

Kultur feodalisme

Kultur feodalisme itulah yang menjadi salah satu penyebab kita tidak bisa melakukan pemilu secara efektif dan efisien. Banyak calon anggota legislatif menggunakan gelar kultural, seperti raden mas, untuk menarik pemilih. Saat gagal dalam pemilu, mereka merasa terhina. Perasaan itu muncul karena mereka menganggap dirinya ”berdarah biru”. Mereka menganggap status dirinya lebih tinggi dari warga lain.

Simak pertemuan-pertemuan umum. Bagaimana sapaan terhadap pejabat tinggi lalu turun ke strata paling rendah. Dari ini tercium bau kultur feodalisme. Coba juga cara pejabat melewati jalan raya. Merasa diri sebagai raja, yang memiliki status lebih tinggi dari orang lain.

Maka, di Indonesia, slogan kesetaraan di hadapan hukum masih sekadar impian. Faktanya, banyak orang berpikir feodal, menempatkan diri atau orang lain pada status lebih tinggi daripada status orang pada umumnya.

Feodalisme ekonomi

Hal yang sama berlaku dalam ekonomi. Semakin banyak uang dimiliki seseorang, semakin ia mendapat tempat istimewa atau lebih tinggi daripada orang lain. Uang bisa membeli segalanya. Hak asasi seseorang hanya bisa terpenuhi jika ia memiliki daya beli yang tinggi.

Orang yang tidak punya uang, dianggap tidak memiliki daya beli tinggi, dinilai tidak layak mendapat hak-hak dasar. Uang membuat orang mendapatkan keistimewaan dari yang seharusnya diperoleh. Feodalisme ekonomi dan kultural juga menyuburkan korupsi. Jika orang itu punya gelar tinggi di mata masyarakat, masyarakat umumnya takut menuntut mereka dengan tuduhan korupsi.

Hal ini harus dihindari. Semua orang—baik bangsawan, pengusaha, pejabat, maupun profesor— harus diadili dan dihukum jika terbukti definitif melakukan korupsi.

Musuh demokrasi

Demokrasi berdiri di atas asumsi bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum. Semua bentuk feodalisme harus dihilangkan. Demokrasi juga berdiri di atas asumsi keterbukaan terhadap semua bentuk cara hidup selama cara hidup itu tidak melanggar hukum yang sah di mata rakyat. Maka, tidak ada cara hidup yang lebih tinggi daripada cara hidup lainnya.

Baik orang keturunan keraton, pemuka agama, pengusaha kaya, maupun pejabat tinggi, semua memiliki kedudukan setara di mata hukum maupun negara. Feodalisme dalam segala bentuknya harus dimusnahkan. Jika masyarakat Indonesia masih hidup dalam alam feodalisme, demokrasi tidak akan pernah terbentuk. Buah feodalisme adalah diskriminasi, intoleransi, penindasan, korupsi, dan akhirnya pemusnahan kelompok minoritas.

Pendidikan antifeodalisme

Senjata utama untuk menghancurkan feodalisme adalah pendidikan. Pendidikan itu tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di masyarakat maupun keluarga secara intensif. Pendidikan antifeodalisme dimulai dengan pernyataan bahwa semua orang itu setara. Semua bentuk diskriminasi atau ketidaksetaraan adalah ciptaan manusia, yang akhirnya bisa merusak tatanan yang ada.

Setara tak berarti orang boleh kurang ajar satu sama lain. Prinsip penghormatan dan kepercayaan juga perlu diajarkan. Jadi, siapa pun orangnya, baik orangtua berstatus tinggi maupun orang miskin, semua harus diperlakukan dengan penghormatan dan kepercayaan yang sama. Tak ada diskriminasi apa pun.

Dengan pendidikan antifeodalisme yang memadai, demokrasi bisa tumbuh subur dan korupsi dalam segala bentuknya secara bertahap dilenyapkan.

Seseorang bisa menjabat sebagai pemimpin dalam bidang apa pun bukan karena keturunan orang hebat, punya uang, atau punya kedudukan sosial tinggi, tetapi karena ia mau dan mampu membela kepentingan yang mengacu pada kebaikan bersama. Setiap orang setara di hadapan hukum dan negara karena setiap orang setara di hadapan Tuhan yang Mahakuasa.

Reza AA WattimenaPengajar Universitas Widya Mandala, Surabaya

Minggu, 12 April 2009

Kala Islam Memilih Pemimpin



KABARINDONESIA.COM

Pada masa kekhalifahan sahabat yang empat, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali (Khulafa ar-Rasyidin), istilah khalifah belum digunakan sebagai nama atau gelar yang menunjuk kepada suatu jabatan kepala pemerintahan. Ketika Abu Bakar as-Siddiq ditetapkan untuk menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, ia diberi gelar Khalifah Rasul Allah (pengganti Rasulullah SAW). Sebutan ini merupakan gelar khusus baginya sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Nabi SAW memimpin masyarakat, dan bukan sebagai istilah yang menunjukkan pada jabatan.

Selanjutnya saat Umar bin Khattab ditunjuk sebagai pengganti Abu Bakar, Umar tidak bersedia menggunakan gelar khalifah. Dalam kehidupan sehari-hari ia lebih sering dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman). Lambat laun panggilan ini menjadi istilah kepemimpinan di kalangan umat Islam di beberapa negeri Islam. Khalifah atau Amirul Mukminin atau kepala negara adalah pelayan umat sehingga dia mempunyai kewajiban kepada mereka seperti kewajiban seorang hamba kepada majikannya.

Pelaksanaan Pemilihan

Kepemimpinan negara dalam sistem Islam dengan sebutan apapun terlaksana dengan adanya ikatan antara umat dan penguasa, dan yang mewakili umat adalah majlis Syura atau majlis umat. Ikatan ini disebut baiat. Umat diharuskan memberikan baiat bila melihat adanya kemaslahatan umum. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar, berkata: ''Ketika kami membaiat Rasulullah SAW beliau bersabda kepada kami: ''Dalam hal-hal yang aku mampu.''

Begitu pula umat berkewajiban memberi baiat untuk satu atau dua masa kepemimpinan itu tidak untuk masa yang panjang atau seumur hidup. Tidak ada larangan bagi umat untuk memberi persyaratan kepada penguasa pembentukan kementerian bagi partai atau kelompok yang meraih suara pemilih terbanyak dalam pemilihan bebas yang diawasi oleh badan yudikatif secara langsung dan sepenuhnya. Dapat dikatakan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil bukan teokrasi.

Pemilihan dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya, dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui oleh semua yang hadir pada saat itu. Karena Rasulullah SAW memang tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.

Ketika Abu Bakar sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Para pemuka tersebut ternyata tidak keberatan dengan pilihan khalifah.

Setelah wafat, posisi Umar digantikan Usman bin Affan. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih dan dipilih. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah.

Satu hal yang paling penting, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam harus mengacu kepada Alquran dan sunnah Nabi SAW, sebagai undang undang tertulis. Tugas-tugas kepala negara sebagian besar terkait dengan masalah sipil. Untuk masalah yang tidak ditemukan hukumnya dari Allah atau tuntunan Nabi SAW, maka penguasa berhak mencari solusinya sesuai dengan kaidah-kaidah Syura dan kaidah-kaidah umum dalam Alquran dan Hadis. dia/berbagai sumber


Sistem Multi Partai

Gerakan Islam pada dasarnya tidak melarang sistem multi partai selama hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan menyeru kepada amar makruf nahi munkar. Sebab kesemuanya ini bagian dari kewajiban bagi setiap muslim, bukan hanya sekedar hak.Secara spesifik, Islam tidak mengenal istilah multipartai. Islam hanya menyebutkan sistem musyawarah (demokrasi) dalam menentukan pemimpin masa depan. Namun demikian, dalam masa pemerintahan Islam, sempat muncul istilah sistem multipartai.

Terdapat perbedaan antara sistem multi partai dan persaingan tidak sehat yang sering terjadi pada partai-partai pada umumnya. Begitu pula terdapat perbedaan antara demokrasi dan sistem syura yang benar dan penggunaan demokrasi atau syura yang hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan pemerintahan diktator yang mana partai hanya menjadi alat untuk melegitimasi tindakan yang merugikan masyarakat.

Ikhwanul Muslimin gerakan Islam terbesar di Mesir adalah sebuah organisasi pertama yang mengenalkan sistem multipartai ini secara konkrit. Awalnya, Ikhwanul Muslimin, menolak sistem partai tunggal dan mempercayai sistem multi partai dalam masyarakat Islam. Dalam pandangan organisasi ini, masing-masing kelompok harus diberi kebebasan untuk mengumumkan misinya dan menjelaskan garis-garis yang ditempuh selama syariah tetap menjadi konstitusi tertinggi, yaitu undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif yang bersifat otonomi yang dilindungi dan jauh dari kekuasaan atau pihak manapun.

Namun demikian, sistem multi partai ini tidak dengan sendirinya menjadi indikator bahwa penguasa mempunyai komitmen pada sistem musyawarah atau asas demokrasi.Sebenarnya, dunia Islam sudah mengenal sistem multi partai sejak zaman Khalifah Usman bin Affan. Sistem multi partai pada masa itu ditandai dengan muncul kelompok-kelompok oposisi terhadap penguasa. Oposisi terhadap pemerintahan Usman muncul setelah sepuluh tahun sejak ia menjadi khalifah dari warga Mesir dan Syam yang datang membanjiri Madinah dan melemparkan tuduhan-tuduhan.

Keberadaan kelompok oposisi ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh oposisi yang paling menonjol pada masa itu adalah para sahabat kenamaan, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah RA. Bahkan sekelompok sahabat tidak mau membaiat Ali.

Gerakan oposisi ini tidak melalui cara-cara damai dan cara dialog melainkan berkembang menjadi peperangan sengit seperti yang terjadi dalam perang Jamal (Unta) dan perang Shiffin yang berakhir dengan tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib beserta pendukungnya dari penduduk Hijaz dan Muawiyah bin Abu Sufyan yang didukung oleh penduduk Syam.

Tahkim tersebut berakhir antara dua juru runding yaitu al-Asy'ari dan Amru bin Ash dari pihak Muawiyah, dengan keputusan melepaskan kepemimpinan Khalifah Ali serta mengembalikan kepemimpinan kepada umat untuk memilih lagi seorang khalifah baru yang akan memutuskan pertikaian dan menyelesaikan permasalahan serta ditaati oleh semua pihak. Keputusan ini pada akhirnya menimbulkan oposisi baru terhadap Ali dari kalangan pendukungnya sendiri. Mereka itulah kaum Khawarij yang dipandang oleh sebagian orang sebagai partai politik pertama dalam Islam.

Kemudian pada saat Thalhah, Zubair, dan Aisyah kembali memberikan dukungan mereka terhadap Ali, muncullah secara bertahap satu kelompok setelah itu di bawah nama Syiah. Kelompok ini mulai menampakkan bentuknya dengan warna yang paling dominan pada saat ini adalah sentimen kuat terhadap Ali dan ahlul Bait. Dalam perjalanannya kelompok Syiah ini berkembang menjadi satu ideologi bagi mereka yang diperjuangkan.

Keberadaan kelompok oposisi ini atau saat ini lebih dikenal dengan istilah partai terus berkembang pada masa sesudah al-Khulafa ar-Rasyidun. Beberapa diantaranya adalah kelompok ahlal-adl wa at-Tauhid pimpinan Washil bin Atha' dan kelompok Mu’tazilah di masa kekuasaan Dinasti Umayyah. sya/dia/berbagai sumber

Hak Non Muslim

Allah SWT mengutus Rasul kepada seluruh umat manusia dengan aturan yang cocok bagi individu maupun masyarakat. Sebab Allah menciptakan manusia, yang Maha Mengetahui apa yang baik bagi diri manusia ini. Dalam hal ini Allah berfirman: ''Katakanlah; Berjalanlah di muka bumi lalu lihatlah bagaimana penciptaan (alam) ini berawal.'' (Al-Ankabut:20).

Syariah Allah yang berhubungan dengan sanksi hukum terhadap kejahatan dan yang berhubungan dengan muamalat, diturunkan bukan saja untuk kaum muslimin, melainkan juga untuk non-muslim, meskipun tidak dibenarkan memaksa mereka menerima Islam sebagai agama dan akidah. Mereka diharuskan menerima Islam sebagai aturan kehidupan sipil. Sebab bagi non-muslim, Yahudi dan Nasrani, mereka tidak mempunyai ajaran agama tentang sanksi hukum Ilahiyah serta aturan muamalat. Di sana tidak didapatkan aturan tentang urusan duniawi.

Akan tetapi undang-undang Islam, meskipun memberikan kebebasan bagi non-muslim, di sana terdapat ikatan-ikatan dan aturan yang harus dipatuhi. Antara lain mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sanksi hudud dan qishash, ini dipandang sebagai aturan umum yang tidak dibedakan antara muslim dan non-muslim, serta antara wilayah satu dengan yang lainnya.

Kemudian mengenai sanksi ta'zir yaitu selain hukuman hudud dan qishash, Islam menyerahkan pada kondisi masa dan tempat. Dalam hal ini masing-masing daerah boleh menentukan sanksi hukuman yang sesuai.Aturan lainnya mengenai urusan muamalat, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Untuk urusan ini Islam memberikan keleluasaan kepada non-muslim. Dalam kondisi ini Islam tidak mengharuskan mereka melarang apa yang halal bagi agama mereka meskipun haram menurut Islam.

Kemudian mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan pribadi, seperti pernikahan, talak, wasiat, warisan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini warga non-muslim tidak diharuskan mengikuti syariah Islam. Pemberlakuan syariah Islam bagi non-muslim dalam masalah hudud dan muamalat merupakan hal yang diakui oleh seluruh undang-undang dunia modern. Meskipun bagi minoritas non-muslim mempunyai hukum sendiri, kecuali dalam masalah-masalah yang terkait dengan hukum keluarga.

Thomas Arnold dalam bukunya Ad-Da'wah ila Al-Islam mengemukakan, bahwa tujuan dikenakan jizyah kepad kaum Nasrani bukanlah sebagai bentuk sanksi atas penolakan mereka untuk masuk Islam, melainkan mereka melaksanakan pembayaran jizyah ini bersama warga non-muslim di bawah pemerintahan Islam yang diberi kebebasan memeluk agama mereka tetapi tidak masuk dalam jajaran militer. Mereka membayar jizyah sebagai ganti jaminan perlindungan yang diberikan kaum muslimin.

Hak Politik Wanita

Perselisihan paham mengenai hak politik bagi wanita telah ada sejak lama. Terdapat anggapan bahwa hak politik berarti memberikan kewenangan membuat undang-undang kepada para wakil rakyat di parlemen. Padahal jika dicermati, nash-nash syariah, baik laki-laki maupun perempuan tidak dibenarkan membuat undang-undang kecuali dalam masalah-masalah yang tidak diatur oleh syariah.

Di kawasan negara-negara Arab terjadi perdebatan sengit mengenai hak wanita untuk ambil bagian dalam pergulatan politik yang diwakili dalam hak pemilihan dan hak duduk di parlemen. Sebagian aktifis wanita beranggapan bahwa hak untuk terlibat dalam politik adalah kunci yang akan dapat membukakan bagi kaum wanita semua kehormatan dan kemuliaan. Oleh sebab itu diadakan secara khusus berbagai konferensi dan pertemuan guna membicarakan masalah hak politik bagi kaum wanita.

Para ulama klasik dan modern berbeda pendapat mengenai hak-hak politik bagi wanita. Perbedaan pendapat ini kembali pada konsep mereka masing-masing mengenai sifat pekerjaan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa wanita tidak dibenarkan menduduki jabatan menteri. Sebab Imam atau khalifah harus meminta pendapat dari para menterinya pada saat-saat tertentu.

Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi Qadli (hakim) menurut syara. Sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat (olah pikir).Sementara di kalangan ulama modern ada yang berpandangan bahwa wanita mempunyai hak-hak politik sepenuhnya selain dari pimpinan negara. Pendapat ini dianut oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha, DR Yusuf al-Qaradlawi, Syekh Muhammad Shalthout, dan DR Muhammad Yusuf Musa.

Alasan lainnya, Islam tidak mencabut hak wanita dan tidak melarangnya mengutarakan aspirasi dan pendapatnya, melainkan memberinya kebebasan penuh seperti halnya kaum pria. Sementara kaidah fikih menegaskan bahwa pada dasarnya yang ada dalam adat istiadat itu boleh secara hukum selama tidak ada nash yang mengharamkan. dia/berbagai sumber/kem

Selasa, 07 April 2009

Revolusi Kesadaran Itu Sudah Menggelinding (II)

Oleh Ahmad Syafii Maarif


Jika gelombang kesadaran ini semakin membesar, ada harapan bahwa konflik-konflik internal di dunia Islam akan semakin berkurang. Debat-debat teologi bercampur politik yang berketiak ular tentu akan digantikan oleh dialog dan diskursus yang membangun harapan, demi menciptakan masa depan yang lebih adil dan bermartabat. Bagi saya hidup di buritan peradaban atas nama agama adalah sebuah pengkhianatan terselubung terhadap pesan abadi Alquran.

Mengapa anak-anak muda umat ini bersikap kritikal terhadap Barat? Karena sebagian besar mereka merasa bahwa Barat telah mengkhianti janji-janjinya. Mereka marah karena dunia luar memberikan dukungan kepada regim-regim korup-otokratik Muslim meskipun berjanji untik mendorong demokrasi pasca 9/11.

Generasi pasca 9/11 ini juga lebih jauh dibentuk oleh perang di Afghanistan, Irak, Lebanon, dan Gaza, di mana Washington punya peran langsung atau tidak langsung. Sekalipun generasi ini punya sedikit harapan kepada Obama, mereka cukup menyadari bahwa “Obama akan punya jendela sempit untuk bertindak…karena Amerika begitu sering gagal di masa lalu. Memang tidak mudah bagi Amerika untuk secara dramatis mengubah citra dirinya yang dinilai pongah selama ini.

Dalam pada itu revolusi kultural juga sedang berjalan di Saudi Arabia. Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang berusia 85 tahun itu telah mulai menggulirkannya, sekalipun sangat lamban. Raja sepuh ini menurut Newsweek masih sangat sehat. Bila bersalaman dengannya, tangannya terasa kekar ibarat dahan kayu. Posisi perempuan menurut UU Saudi paling banter adalah sebagai warga negara kelas dua. Pangangkatan Nora al-Fayez, seorang perempuan, sebagai deputi menteri pendidikan, adalah salah satu simbol dari revolusi istana itu. Posisi ini adalah yang tertinggi diberikan kepada perempuan dalam sejarah kerajaan itu. Al-Fayez kini bergerak untuk memberikan pendidikan setara antara laki-laki dan perempuan di tengah-tengah posisi kaum hawa itu sampai hari ini masih diharamkan menyopiri mobil.

Ada beberapa faktor pemicu mengapa Abdullah mulai berfikir revolusioner. Pertama, peristiwa berdarah di sekitar Ka'bah tahun 1979. Kekayaan yang melimpah telah mendorong kelompok radikal melakukan perlawanan terhadap politik kemapanan. Pemberontakan Ka'bah berhasil ditindas dengan korban yang berjatuhan. Tidak saja itu, distribusi kekayaan yang tidak merata di kalangan keluarga kerajaan juga telah menimbulkan intrik, sesuatu yang berlaku di mana-mana dalam sistem politik yang tertutup.

Jauh sebelum itu telah pula terjadi pemakzulan Raja Saud bin Abdul Aziz oleh saudara seayahnya Faisal bin Abdul Aziz tahun 1964 yang kemudian menggantikannya. Nama Faisal melambung tinggi saat memberlakukan embargo minyak terhadap Barat sebagai protes keras terhadap sikap pemihakan Barat, khususnya Amerika, pada Israel dalam perang tahun 1973. Embargo ini cukup efektif, dunia industri kelabakan karena kekurangan suplai BBM. Amat disayangkan Faisal kemudian dibunuh oleh kemenakannya tahun 1982 yang kemudian digantikan Raja Fahd. Fahd kemudian mengangkat Abdullah sebagai putera mahkota. Ketika Fahd mengalami stroke tahun 1995, Abdullah diangkat sebagai pemangku raja dan pada tahun 2005 resmi menjadi raja.

Faktor pemicu kedua adalah Tragedi 9/11 yang kabarnya melibatkan sejumlah warga Saudi. Abdullah menilai kaum teroris sebagai pengkhianat terhadap segala sesuatu yang selama ini menjadi keyakinan raja. Lalu kerajaan melakukan upaya agresif untuk menangkap atau membunuh kelompok al-Qaedah di wilayah Saudi antara tahun 2003-2006. Pertanyaan yang tersisa adalah: apakah revolusi ini akan berlanjut saat Abdullah suatu hari dipanggil Tuhan?

Akhirnya, ada lagi revolusi lain berupa pembongkaran terhadap khazanah hadis yang dilancarkan di Turki dengan melibatkan 80 tim pakar di bawah naungan Masjid Kocatepe Ankara. Tim ini telah bekerja selama tiga tahun. Akhir tahun ini diharapkan akan terbit enam jilid buku hasil temuan mereka. Akan ada ribuan hadis yang akan tersisih karena dinilai bercanggah dengan Alquran.

Salah satu hadis yang tersisih itu, menurut Ismail Hakki Unal dari Divinity School, Universitas Ankara, yang juga sebagai anggota komisi hadis adalah tradisi yang mengatakan bahwa kaum perempuan secara agama dan akal tidak sempurna dan pikirannya serba kurang. Menurut Ismail, tradisi ini tidak sesuai dengan ruh Alquran dan akhlak nabi. Hadis lain yang tersisih, kata Ismail, yang mengatakan bahwa perempuan harus taat kepada suaminya jika ingin masuk surga. Ismail menegaskan: ''Kami berfikir kalimat-kalimat ini dilontarkan kaum lelaki yang berusaha memaksakan kekuasaannya atas kaum perempuan.''

Komentar saya adalah: orang boleh terperanjat dan marah oleh kerja komisi hadis Turki ini, tetapi semuanya dilakukan secara bertanggung jawab oleh para ahli di bidangnya. Saya tidak punya kecemasan apa-apa selama Alquran tetap dijadikan rujukan tertinggi. Yang terpenting bagi kita adalah hasil kerja komisi itu harus sampai ke Indonesia untuk dinilai dan dipelajari. Jika seorang Imam al-Bukhari atau Muslim punya otoritas pribadi untuk menyeleksi hadis, semestinya sebuah komisi dengan peralatan yang lebih canggih tentu lebih berhak, bukan?n

Minggu, 05 April 2009

Agama sebagai Topeng Politik



  • Oleh Kahar Mudakir

MENJELANG detik-detik pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2009, kita dihadapkan pada dua fenomena yang kontradiktif. Di satu sisi, kita dianjurkan mengingat ucapan Jusuf Kalla kepada para ulama atau kiai dan ustaz-ustaz supaya jangan terlibat dalam masalah politik. Bahkan Menteri Agama Maftuh Basyuni gencar melarang para elite politik menggunakan ayat-ayat Alquran dalam berkampanye.

Intinya, persoalan politik jangan dicampuradukkan dengan masalah agama. Namun di sisi lain, kita justru mendapat imbauan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar masyarakat tidak menjadi golongan putih (golput). Bahkan ada salah satu MUI daerah yang mengeluarkan pernyataan hukum memilih pemimpin itu wajib. Tidak hanya itu. Para elite politik juga berlomba-lomba bersilaturahim kepada para kiai di berbagai pondok pesantren. Mengapa bisa terjadi dualisme cara pandang tersebut? Bagaimana sebenarnya hubungan antara agama dengan politik? Ke manakah garis politik bangsa ini harus diarahkan?

Ada tiga paradigma lama mengenai hubungan agama dengan politik. Pertama, agama dan politik adalah dua hal yang berbeda wilayah. Agama merupakan wilayah pribadi yang bersifat illahiyah, sedangkan politik adalah masalah yang bersifat duniawiyah. Kedua, agama dan politik tidak bisa dipisahkan, sebab agama meliputi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Ketiga, agama dan politik bukan dua hal yang perlu dipertentangkan, sebab agama adalah seperangkat nilai-nilai yang bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi kehidupan manusia dalam segala aspek.

Pada era reformasi dan demokratisasi saat ini, pemisahan antara agama dan politik sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Paradigma ini hanyalah propaganda yang diembuskan oleh mufti kaum imperialis Belanda Snouck Hurgronje di Indonesia. Dialah yang berusaha melakukan privatisasi agama (Islam) agar hanya menjadi ”agama masjid”. (BJ Bolland, 1985).

Anehnya, pola pikir tersebut melekat begitu kuat di sebagian besar elite politik Indonesia saat ini. Mereka berpendapat politik itu tidak berhubungan dengan agama. Karena itu, para ulama, kiai, ustaz-ustaz tidak perlu terjun atau memasuki ranah politik.

Privatisasi agama tersebut bukan saja merupakan bentuk pengingkaran terhadap hakikat manusia sebagai ”Zoon Politicon”, tetapi juga pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri. Larangan penggunaan ayat-ayat Alquran untuk berkampanye juga sama sekali tidak memiliki pijakan yang jelas. Paradigma tersebut justru nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Jika setiap tindakan politik tidak berhubungan dengan nilai-nilai agama, maka kekuasaan pun dapat diperjuangkan dengan segala cara. Karena itu, korupsi, manipulasi dan segala bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang bukanlah perbuatan dosa.

Pemisahan agama dengan politik hanya akan membawa bangsa Indonesia kepada nihilisme, kering dari tatanan nilai dan moralitas, serta tercerabut dari senyawa asli sejarah pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Paradigma kedua yang tidak memisahkan antara agama dan politik juga bertolak belakang dengan senyawa akhir sejarah pendirian NKRI. Persoalan ini bahkan pernah menjadi perdebatan sengit berbagai kelompok dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hasil akhir dari sidang-sidang PPKI telah memberi arah politik bangsa ini dengan amat jelas.

Pertama, Indonesia lahir bukan sebagai negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Kedua, negara Indonesia mengakui asas keagamaan dan ingin bersikap positif terhadap agama pada umumnya dengan berbagai bentuk perwujudannya. Senyawa akhir inilah yang mendasari formulasi Pembukaan UUD 45, Pasal 6, dan pasal 29 UD 45 yang kini telah diamandemen.

Berpijak di senyawa akhir tersebut, penggunaan paradigma ketiga bagi bangsa Indonesia juga nampak kurang tepat. Dalam paradigma ketiga ini, agama dan politik bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan, tetapi juga tidak boleh dicampuradukan. Paradigma semacam ini justru menambah kerancuan secara aplikatif. Di satu sisi, kita mengakui agama dengan segala pengamalan, tetapi untuk hal-hal tertentu seperti masalah politik tidak diizinkan.

Kerancuan tersebut menjadi celah apologis yang hanya melahirkan topeng-topeng politik. Jika di dunia Barat adigium ”Agama adalah Candu Kehidupan”, muncul akibat penetrasi dogma agama secara terang-terangan, maka kemunculan adigium ”Politik itu Kotor” di Indonesia adalah akibat pemanfaatan agama secara sembunyi-sembunyi untuk kepentingan politik.

Paradigma Baru

Ketika tiga paradigma hubungan agama dengan politik tidak ada yang tepat, maka perlu dicari format baru hubungan agama dengan politik dalam arus reformasi dan demokrasi Indonesia modern. Formulasi yang tepat antara agama dengan politik bagi bangsa Indonesia saat ini adalah sintesa dari paradigma kedua dan ketiga.

Paradigma baru ini menempatkan agama di celah sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang berdimensi transendental dan menjiwai sila kedua sampai ke lima Pancasila. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa itulah secara inklusif terdapat ruang interaksi dan integrasi nilai-nilai adiluhung agama yang tak terhingga untuk diambil apinya yang bersifat temporal. Jadi dalam konfigurasi ini, agama harus ditempatkan di ruang yang terbuka.

Di situlah umat beragama dituntut berperan menyajikan api agama secara kritis dan pluralis dengan membuang jauh-jauh ”truth claim” dan ego kelompok maupun golongan. Dengan demikian, nilai-nilai aduluhung agama dapat menyinari segala penjuru kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik tanpa harus memisahkan keduanya dan apalagi hanya menjadikan sebagai topeng politik.

Agama memang bukan pengganti politik,... tetapi agama dapat memperluas horizon dan visi manusia, dan menciptakan konteks transcendental untuk memecahkan persoalan yang terkait dari kondisi manusia sekarang yang sedang frustrasi baik secara individual maupun sosial (William McInner, 1990).
Jika paradigma baru tersebut dapat diimplementasikan secara cerdas, maka garis demokrasi politik yang sedang kita bangun akan memiliki pijakan nilai-nilai yang jelas dan tidak terombang-ambing tanpa arah.(35)

–– Kahar Mudakir, dosen Filsafat Barat Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang