Minggu, 05 April 2009

Agama sebagai Topeng Politik



  • Oleh Kahar Mudakir

MENJELANG detik-detik pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2009, kita dihadapkan pada dua fenomena yang kontradiktif. Di satu sisi, kita dianjurkan mengingat ucapan Jusuf Kalla kepada para ulama atau kiai dan ustaz-ustaz supaya jangan terlibat dalam masalah politik. Bahkan Menteri Agama Maftuh Basyuni gencar melarang para elite politik menggunakan ayat-ayat Alquran dalam berkampanye.

Intinya, persoalan politik jangan dicampuradukkan dengan masalah agama. Namun di sisi lain, kita justru mendapat imbauan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar masyarakat tidak menjadi golongan putih (golput). Bahkan ada salah satu MUI daerah yang mengeluarkan pernyataan hukum memilih pemimpin itu wajib. Tidak hanya itu. Para elite politik juga berlomba-lomba bersilaturahim kepada para kiai di berbagai pondok pesantren. Mengapa bisa terjadi dualisme cara pandang tersebut? Bagaimana sebenarnya hubungan antara agama dengan politik? Ke manakah garis politik bangsa ini harus diarahkan?

Ada tiga paradigma lama mengenai hubungan agama dengan politik. Pertama, agama dan politik adalah dua hal yang berbeda wilayah. Agama merupakan wilayah pribadi yang bersifat illahiyah, sedangkan politik adalah masalah yang bersifat duniawiyah. Kedua, agama dan politik tidak bisa dipisahkan, sebab agama meliputi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Ketiga, agama dan politik bukan dua hal yang perlu dipertentangkan, sebab agama adalah seperangkat nilai-nilai yang bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi kehidupan manusia dalam segala aspek.

Pada era reformasi dan demokratisasi saat ini, pemisahan antara agama dan politik sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Paradigma ini hanyalah propaganda yang diembuskan oleh mufti kaum imperialis Belanda Snouck Hurgronje di Indonesia. Dialah yang berusaha melakukan privatisasi agama (Islam) agar hanya menjadi ”agama masjid”. (BJ Bolland, 1985).

Anehnya, pola pikir tersebut melekat begitu kuat di sebagian besar elite politik Indonesia saat ini. Mereka berpendapat politik itu tidak berhubungan dengan agama. Karena itu, para ulama, kiai, ustaz-ustaz tidak perlu terjun atau memasuki ranah politik.

Privatisasi agama tersebut bukan saja merupakan bentuk pengingkaran terhadap hakikat manusia sebagai ”Zoon Politicon”, tetapi juga pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri. Larangan penggunaan ayat-ayat Alquran untuk berkampanye juga sama sekali tidak memiliki pijakan yang jelas. Paradigma tersebut justru nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Jika setiap tindakan politik tidak berhubungan dengan nilai-nilai agama, maka kekuasaan pun dapat diperjuangkan dengan segala cara. Karena itu, korupsi, manipulasi dan segala bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang bukanlah perbuatan dosa.

Pemisahan agama dengan politik hanya akan membawa bangsa Indonesia kepada nihilisme, kering dari tatanan nilai dan moralitas, serta tercerabut dari senyawa asli sejarah pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Paradigma kedua yang tidak memisahkan antara agama dan politik juga bertolak belakang dengan senyawa akhir sejarah pendirian NKRI. Persoalan ini bahkan pernah menjadi perdebatan sengit berbagai kelompok dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hasil akhir dari sidang-sidang PPKI telah memberi arah politik bangsa ini dengan amat jelas.

Pertama, Indonesia lahir bukan sebagai negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Kedua, negara Indonesia mengakui asas keagamaan dan ingin bersikap positif terhadap agama pada umumnya dengan berbagai bentuk perwujudannya. Senyawa akhir inilah yang mendasari formulasi Pembukaan UUD 45, Pasal 6, dan pasal 29 UD 45 yang kini telah diamandemen.

Berpijak di senyawa akhir tersebut, penggunaan paradigma ketiga bagi bangsa Indonesia juga nampak kurang tepat. Dalam paradigma ketiga ini, agama dan politik bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan, tetapi juga tidak boleh dicampuradukan. Paradigma semacam ini justru menambah kerancuan secara aplikatif. Di satu sisi, kita mengakui agama dengan segala pengamalan, tetapi untuk hal-hal tertentu seperti masalah politik tidak diizinkan.

Kerancuan tersebut menjadi celah apologis yang hanya melahirkan topeng-topeng politik. Jika di dunia Barat adigium ”Agama adalah Candu Kehidupan”, muncul akibat penetrasi dogma agama secara terang-terangan, maka kemunculan adigium ”Politik itu Kotor” di Indonesia adalah akibat pemanfaatan agama secara sembunyi-sembunyi untuk kepentingan politik.

Paradigma Baru

Ketika tiga paradigma hubungan agama dengan politik tidak ada yang tepat, maka perlu dicari format baru hubungan agama dengan politik dalam arus reformasi dan demokrasi Indonesia modern. Formulasi yang tepat antara agama dengan politik bagi bangsa Indonesia saat ini adalah sintesa dari paradigma kedua dan ketiga.

Paradigma baru ini menempatkan agama di celah sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang berdimensi transendental dan menjiwai sila kedua sampai ke lima Pancasila. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa itulah secara inklusif terdapat ruang interaksi dan integrasi nilai-nilai adiluhung agama yang tak terhingga untuk diambil apinya yang bersifat temporal. Jadi dalam konfigurasi ini, agama harus ditempatkan di ruang yang terbuka.

Di situlah umat beragama dituntut berperan menyajikan api agama secara kritis dan pluralis dengan membuang jauh-jauh ”truth claim” dan ego kelompok maupun golongan. Dengan demikian, nilai-nilai aduluhung agama dapat menyinari segala penjuru kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik tanpa harus memisahkan keduanya dan apalagi hanya menjadikan sebagai topeng politik.

Agama memang bukan pengganti politik,... tetapi agama dapat memperluas horizon dan visi manusia, dan menciptakan konteks transcendental untuk memecahkan persoalan yang terkait dari kondisi manusia sekarang yang sedang frustrasi baik secara individual maupun sosial (William McInner, 1990).
Jika paradigma baru tersebut dapat diimplementasikan secara cerdas, maka garis demokrasi politik yang sedang kita bangun akan memiliki pijakan nilai-nilai yang jelas dan tidak terombang-ambing tanpa arah.(35)

–– Kahar Mudakir, dosen Filsafat Barat Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar: