Selasa, 07 April 2009

Revolusi Kesadaran Itu Sudah Menggelinding (II)

Oleh Ahmad Syafii Maarif


Jika gelombang kesadaran ini semakin membesar, ada harapan bahwa konflik-konflik internal di dunia Islam akan semakin berkurang. Debat-debat teologi bercampur politik yang berketiak ular tentu akan digantikan oleh dialog dan diskursus yang membangun harapan, demi menciptakan masa depan yang lebih adil dan bermartabat. Bagi saya hidup di buritan peradaban atas nama agama adalah sebuah pengkhianatan terselubung terhadap pesan abadi Alquran.

Mengapa anak-anak muda umat ini bersikap kritikal terhadap Barat? Karena sebagian besar mereka merasa bahwa Barat telah mengkhianti janji-janjinya. Mereka marah karena dunia luar memberikan dukungan kepada regim-regim korup-otokratik Muslim meskipun berjanji untik mendorong demokrasi pasca 9/11.

Generasi pasca 9/11 ini juga lebih jauh dibentuk oleh perang di Afghanistan, Irak, Lebanon, dan Gaza, di mana Washington punya peran langsung atau tidak langsung. Sekalipun generasi ini punya sedikit harapan kepada Obama, mereka cukup menyadari bahwa “Obama akan punya jendela sempit untuk bertindak…karena Amerika begitu sering gagal di masa lalu. Memang tidak mudah bagi Amerika untuk secara dramatis mengubah citra dirinya yang dinilai pongah selama ini.

Dalam pada itu revolusi kultural juga sedang berjalan di Saudi Arabia. Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang berusia 85 tahun itu telah mulai menggulirkannya, sekalipun sangat lamban. Raja sepuh ini menurut Newsweek masih sangat sehat. Bila bersalaman dengannya, tangannya terasa kekar ibarat dahan kayu. Posisi perempuan menurut UU Saudi paling banter adalah sebagai warga negara kelas dua. Pangangkatan Nora al-Fayez, seorang perempuan, sebagai deputi menteri pendidikan, adalah salah satu simbol dari revolusi istana itu. Posisi ini adalah yang tertinggi diberikan kepada perempuan dalam sejarah kerajaan itu. Al-Fayez kini bergerak untuk memberikan pendidikan setara antara laki-laki dan perempuan di tengah-tengah posisi kaum hawa itu sampai hari ini masih diharamkan menyopiri mobil.

Ada beberapa faktor pemicu mengapa Abdullah mulai berfikir revolusioner. Pertama, peristiwa berdarah di sekitar Ka'bah tahun 1979. Kekayaan yang melimpah telah mendorong kelompok radikal melakukan perlawanan terhadap politik kemapanan. Pemberontakan Ka'bah berhasil ditindas dengan korban yang berjatuhan. Tidak saja itu, distribusi kekayaan yang tidak merata di kalangan keluarga kerajaan juga telah menimbulkan intrik, sesuatu yang berlaku di mana-mana dalam sistem politik yang tertutup.

Jauh sebelum itu telah pula terjadi pemakzulan Raja Saud bin Abdul Aziz oleh saudara seayahnya Faisal bin Abdul Aziz tahun 1964 yang kemudian menggantikannya. Nama Faisal melambung tinggi saat memberlakukan embargo minyak terhadap Barat sebagai protes keras terhadap sikap pemihakan Barat, khususnya Amerika, pada Israel dalam perang tahun 1973. Embargo ini cukup efektif, dunia industri kelabakan karena kekurangan suplai BBM. Amat disayangkan Faisal kemudian dibunuh oleh kemenakannya tahun 1982 yang kemudian digantikan Raja Fahd. Fahd kemudian mengangkat Abdullah sebagai putera mahkota. Ketika Fahd mengalami stroke tahun 1995, Abdullah diangkat sebagai pemangku raja dan pada tahun 2005 resmi menjadi raja.

Faktor pemicu kedua adalah Tragedi 9/11 yang kabarnya melibatkan sejumlah warga Saudi. Abdullah menilai kaum teroris sebagai pengkhianat terhadap segala sesuatu yang selama ini menjadi keyakinan raja. Lalu kerajaan melakukan upaya agresif untuk menangkap atau membunuh kelompok al-Qaedah di wilayah Saudi antara tahun 2003-2006. Pertanyaan yang tersisa adalah: apakah revolusi ini akan berlanjut saat Abdullah suatu hari dipanggil Tuhan?

Akhirnya, ada lagi revolusi lain berupa pembongkaran terhadap khazanah hadis yang dilancarkan di Turki dengan melibatkan 80 tim pakar di bawah naungan Masjid Kocatepe Ankara. Tim ini telah bekerja selama tiga tahun. Akhir tahun ini diharapkan akan terbit enam jilid buku hasil temuan mereka. Akan ada ribuan hadis yang akan tersisih karena dinilai bercanggah dengan Alquran.

Salah satu hadis yang tersisih itu, menurut Ismail Hakki Unal dari Divinity School, Universitas Ankara, yang juga sebagai anggota komisi hadis adalah tradisi yang mengatakan bahwa kaum perempuan secara agama dan akal tidak sempurna dan pikirannya serba kurang. Menurut Ismail, tradisi ini tidak sesuai dengan ruh Alquran dan akhlak nabi. Hadis lain yang tersisih, kata Ismail, yang mengatakan bahwa perempuan harus taat kepada suaminya jika ingin masuk surga. Ismail menegaskan: ''Kami berfikir kalimat-kalimat ini dilontarkan kaum lelaki yang berusaha memaksakan kekuasaannya atas kaum perempuan.''

Komentar saya adalah: orang boleh terperanjat dan marah oleh kerja komisi hadis Turki ini, tetapi semuanya dilakukan secara bertanggung jawab oleh para ahli di bidangnya. Saya tidak punya kecemasan apa-apa selama Alquran tetap dijadikan rujukan tertinggi. Yang terpenting bagi kita adalah hasil kerja komisi itu harus sampai ke Indonesia untuk dinilai dan dipelajari. Jika seorang Imam al-Bukhari atau Muslim punya otoritas pribadi untuk menyeleksi hadis, semestinya sebuah komisi dengan peralatan yang lebih canggih tentu lebih berhak, bukan?n

Tidak ada komentar: