Oleh Azyumardi Azra
Kemerosotan perolehan suara parpol-parpol berasaskan Islam pada Pemilu Legislatif 9 April lalu menjadi bahan diskusi yang hangat, baik di kalangan elite kepemimpinan Islam maupun para pengamat dalam dan luar negeri. Bagi mereka, realitas itu masih sulit dipahami; karena bertolak belakang dengan gejala meningkatnya kehidupan keislaman di negeri ini. Parpol-parpol Islam ternyata gagal melakukan kapitalisasi peningkatan keislaman itu ke dalam kancah politik.
Diskusi tentang realitas politik yang tidak menggembirakan itu mengundang pembicaraan kembali tentang apa yang disebut sebagai 'Islam politik' pada satu pihak dan 'Islam kultural' pada pihak lain. Pembedaan kedua kelompok ini tentu saja tidaklah kedap air; bahkan keduanya dapat dikatakan saling melengkapi dalam usaha memajukan agenda-agenda keislaman dan keumatan.
Persoalannya adalah; sepanjang perkembangan politik demokrasi pasca-Soeharto yang telah berlangsung satu dasawarsa dengan tiga pemilu, Islam politik yang diwakili parpol-parpol Islam terus gagal meraup suara secara signifikan. Akibatnya, parpol-parpol Islam ini hanya dapat menjadi bagian dari koalisi yang dipimpin parpol-parpol lain yang tidak berbasiskan Islam--sebaliknya berdasarkan Pancasila; mereka tidak menjadi lokomotif koalisi-koalisi politik tersebut.
Pada pihak lain, ormas-ormas Islam politik yang bukan merupakan parpol, tetapi juga memiliki agenda politik, tidak kelihatan kiprahnya dalam bulan-bulan politik 2009 ini. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), misalnya, yang mengusung perjuangan penciptaan kembali kekhalifahan (khilafah) dan penegakan syariah Islam, khususnya hudud, secara jelas absen dalam aktivisme dan isu politik. Tidak begitu jelas alasan terjadinya gejala semacam ini pada HTI.
Di tengah realitas dan gejala kegagalan Islam politik itu, orang kembali ingat pada Islam kultural, yang biasanya diwakili ormas-ormas keagamaan Islam, seperti Muhammadiyah, NU, al-Washliyah, Perti, Persis, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Wathan, Darud-Dakwah wal-Irsyad, al-Khairat, dan Hidayatullah. Semua ormas ini, sejak berdirinya menetapkan diri sebagai jam'iyyah dakwah, pendidikan dan pelayanan sosial. Memang dalam periode tertentu, khususnya di masa Orde Lama, sebagian ormas Islam ini pernah terlibat langsung dalam politik kepartaian, tetapi dalam waktu tidak terlalu lama, mereka kembali kepada khittah-nya sebagai ormas keagamaan.
Namun, pada awal-awal masa pasca-Soeharto sampai Pemilu 2004, beberapa ormas Islam ini terseret ke dalam politik kepartaian. Ormas-ormas Islam ini menjadi basis bagi parpol-parpol Islam tertentu; dan bahkan kepemimpinan puncaknya terlibat dalam politik praktis, menjadi cawapres misalnya. Namun, mereka juga gagal dalam kancah politik pilpres tersebut.
Agaknya semua perkembangan seperti inilah yang membuat ormas-ormas Islam secara sengaja atau tidak, tanpa deklarasi, kembali ke khittah semula yang bergerak terutama dalam dakwah, pendidikan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan ekonomi. Pada saat yang sama, ormas-ormas Islam ini juga meneguhkan kembali perannya sebagai organisasi masyarakat madani (civil society) yang independen dari negara (dan juga politik kekuasaan), membiayai dan mengatur diri sendiri ciri-ciri pokok bagi kelompok dan organisasi apa pun untuk dapat disebut sebagai civil society. Sebagai masyarakat madani, ormas-ormas nonpolitik ini memainkan peran penting sebagai penengah dan jembatan di antara masyarakat pada satu pihak dengan negara pada pihak lain.
Dengan kembalinya ormas-ormas ini ke khittah-nya aslinya, mereka bisa lebih berkonsentrasi pada bidang-bidang yang selama ini disebut sebagai Islam kultural--pembinaan umat dalam bidang dakwah, pendidikan, pelayanan sosial, ekonomi, dan banyak lagi. Memang, bergerak dalam bidang-bidang ini tidaklah menarik liputan media massa; ini adalah pekerjaan pengabdian yang lebih berdasarkan keikhlasan.
Hasil dari perkembangan ini adalah bahwa sejak usainya riuh rendah Pemilu 2004 dan kini gegap gempita dan ketegangan Pemilu 2009, keterlibatan ormas-ormas Islam ini beserta tokoh-tokohnya dapat dikatakan minimal. Kini, tidak ada pimpinan dan tokoh nasional, tokoh ormas-ormas Islam, yang menjadi capres atau setidaknya cawapres seperti kita lihat pada Pemilu 2004. Dengan begitu, ormas-ormas Islam dapat melakukan 'penjarakan politik' (political disengagement) dengan kekuatan-kekuatan politik kepartaian dan kekuasaan yang manipulatif dan abusif.
Dalam konteks itu, perkembangan ormas-ormas dan masyarakat madani Islam ini merupakan 'berkah terselubung' bagi dinamika gerakan Islam lebih lanjut di negara ini. Banyak kalangan di kawasan Dunia Muslim lain melihat ini sebagai sebuah tradisi yang unik bagi Islam Indonesia. Dan, menurut mereka, inilah sebuah distingsi dan kekayaan Islam Indonesia yang tidak bisa ditemukan di tempat mana pun di Dunia Islam lainnya.
Kamis, 11 Juni 2009
Islam: Politik dan Kultural
Minggu, 07 Juni 2009
Nasib Lembaga Amil Zakat di Indonesia
Oleh: Almisar Hamid
(Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni, pemerintah berencana akan merevisi UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Rencana ini, menurut Azis Setiawan, peneliti The Indonesia Economic Intelligence (Republika 21/3/2009), paling tidak membawa tiga wacana penting. Pertama, memasukkan ancaman hukuman bagi wajib zakat (muzaki) yang tidak menunaikan kewajibannya. Kedua, zakat bisa mengurangi besaran pajak yang akan merevisi ketentuan sebelumnya, di mana zakat hanya sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP). Ketiga, Badan Amil Zakat (BAZ) diusulkan menjadi satu-satunya lembaga pengelola zakat di Indonesia, dari tingkat nasional sampai desa/kelurahan.Terkait wacana ketiga, jika hal itu mulus, bagaimana keberadaan lembaga-lembaga amil zakat (LAZ) yang didirikan oleh masyarakat dan jumlahnya menurut Forum Zakat mencapai 500 lembaga ( Republika , 5/2/2007).
Penting diketahui, berdasarkan UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga pengelola zakat terdiri atas Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, baik di tingkat nasional maupun provinsi hingga kecamatan. Sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ), adalah institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah, untuk melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan agama (Lihat Juklak Pembinaan Lembaga Pengelola Zakat, Depag RI, 2003).
Sejak keluarnya UU Pengelolaan Zakat, terdapat 18 LAZ nasional yang mendapat pengukuhan Menteri Agama. LAZ itu, yakni (1) Dompet Dhuafa, (2) Yayasan Amanah Takaful, (3) Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), (4) Yayasan Baitul Maal Muamalat, (5) Yayasan Dana Sosial Al Falah, (6) Yayasan Baitul Maal Hidayatullah, (7) LAZ Persatuan Islam (PERSIS), (8) Yayasan Baitul Maal Ummat Islam (BAMUIS) PT BNI (persero) tbk, (9) LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, (10) LAZ Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (11) LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia, (12) LAZIS Muhammadiyah, (13) LAZ Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), (14) LAZ Yayasan Dopet Sosial Ummul Quro (DSUQ), (15) LAZ Baituzzakah Pertamina (BAZMA), (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid (DPUDT), (17) LAZ Nahdlatul Ulama (NU), dan (18) LAZ Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI).
Melihat tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga amil zakat, kita patut bergembira. Sebab, dengan adanya LAZ diharapkan tercapainya pendayagunaan zakat di masyarakat.Sekadar diketahui, berdasarkan potensi zakat yang dihitung oleh Eri Sudewo (aktivis lembaga zakat), jika 90 juta orang penduduk Muslim tergolong kaya dari 180 juta yang ada, potensi zakat umat Islam adalah antara Rp 7 triliun - Rp 19 triliun.Nah, jika umat Islam yang tergolong kaya itu dapat menyalurkan ZIS secara rutin melalui lembaga-lembaga zakat nasional yang ada, dapat dibayangkan besarnya kontribusi modal sosial umat Islam untuk pembangunan atau pengentasan kemiskinan.
Namun, di lain pihak, muncul pertanyaan, bagaimana profesionalisme pengelolaan LAZ tersebut? Di antaranya, sudahkah menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi? Sudahkah peduli dengan peningkatan SDM pengelola?Jamil Azzaini, manajer Kubik Leadership ( Republika 5/2/2007), menilai bahwa banyak di antara SDM pengelola zakat yang belum memiliki kualitas optimal. Untuk mencapai kualitas diperlukan tiga hal dasar, yaitu berkompeten ( kafaah ), amanah, dan memiliki etos kerja tinggi ( himmah ).
Sekalipun demikian, beberapa LAZ tampaknya mendekati tiga hal dasar tersebut, seperti Dompet Dhuafa (DD), Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Rumah Zakat Indonesia (RZI), dan Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid (DPUDT).Di samping mendekati tiga dasar tersebut, LAZ ini memang dikelola secara profesional, terorganisasi, serta memiliki visi dan misi yang jelas.Dompet Dhuafa (DD) misalnya, mempunyai visi: ''Bertekad menumbuhkembangkan jiwa dan kemandirian masyarakat yang bertumpu pada sumber daya lokal melalui sistem yang berkeadilan.''
Sedangkan misinya: (1) Membangun diri menjadi lembaga yang berfungsi sebagai lokomotif gerakan pemberdayaan masyarakat. (2) Menumbuhkembangkan jaringan lembaga pemberdayaan masyarakat. (3) Menumbuhkembangkan dan mendayagunakan aset masyarakat yang berbasis kekuatan sendiri. (4) Mengadvokasi paradigma ekonomi berkeadilan.
Bagaimana dengan PKPU? Visinya adalah menjadi lembaga terpercaya dalam membangun kemandirian. Sedangkan misi kemanusiaannya, yakni (1) Mendayagunakan program rescue , rehabilitasi, dan pemberdayaan untuk mengembangkan kemandirian. (2) Mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri. (3) Memberikan pelayanan informasi, edukasi, dan advokasi kepada masyarakat penerima manfaat ( beneficiaries ).
Adapun Rumah Zakat Indonesia (RZI) memiliki visi: Menjadi lembaga amil zakat taraf internasional yang unggul dan terpercaya. Sedangkan misinya: (1) Membangun kemandirian masyarakat melalui pemberdayaan secara produktif. (2) Menyempurnakan kualitas pelayanan masyarakat melalui keunggulan insani.Memahami visi dan misi yang diusung LAZ di atas, tentunya termasuk visi dan misi LAZ lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu--menunjukkan bahwa LAZ milik masyarakat ini sangat peduli dengan persoalan kemiskinan yang dialami bangsa ini.Untuk menanggulangi kemiskinan, tidak cukup mengandalkan modal finansial dan modal manusia. Tetapi, perlu diperkuat dengan modal sosial. Melalui kekuatan modal sosial ini, diharapkan dapat meringankan beban pembangunan.
Fukuyama (1995; 1999) dalam Edi Suharto (2008) mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat norma atau nilai informal yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kelompok, yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Kunci dari modal sosial adalah trust atau kepercayaan. Dengan trust , lanjut Fukuyama, orang-orang bisa bekerja sama dengan baik. Karena, ada kesediaan di antara mereka untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Trust bagaikan energi yang membuat kelompok masyarakat atau organisasi, dapat bertahan. Trust yang rendah mengakibatkan banyak energi terbuang karena dipergunakan untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan.
Berdasarkan definisi di atas, sesungguhnya keberadaan LAZ adalah mengelola trust atau kepercayaan. Melihat kecenderungan makin banyaknya umat Islam menyalurkan ZIS melalui LAZ milik masyarakat ini, menunjukkan makin tingginya kepercayaan umat Islam terhadap lembaga-lembaga tersebut. Hingga saat ini, belum terdengar adanya krisis kepercayaan dalam pengelolaannya.
Nah, jika LAZ milik masyarakat ini dibubarkan atau dibatasi fungsi dan perannya, seperti hanya menjadi unit pengumpul zakat, dapatkah Badan Amil Zakat (BAZ) bentukan pemerintah nantinya menggantikan fungsi dan peran LAZ milik masyarakat. Akankah BAZ tersebut dapat dipercaya oleh muzaki atau masyarakat? Mungkinkah LAZ milik masyarakat ini nantinya dilarang menjalankan fungsi dan perannya, termasuk LAZ milik Muhammadiyah dan NU, sementara mereka dipercaya oleh jamaahnya masing-masing.